Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan,
Secara konseptual pemberdayaan (empowerment),
berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan
atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep
mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk
membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan
dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan
dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan
sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat diubah. Dengan pemahaman
kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian
memiliki konsep yang bermakna. Sebagaiman pendapat Edi Suharto, Pemberdayaan
sangat tergantung pada dua hal :
a.
Bahwa
kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak
mungkin terjadi dengan cara apapun.
b.
Bahwa
kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang
tidak statis, melainkan dinamis.[1][27]
Pemberdayaan
menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga
mereka memiliki kekuatan atau kemampuan, seperti memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki
kebebasan, dalam arti bukan saja bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan,
bebas dari kemiskinan. Tujuan pertama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan
masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidak berdayaan, baik
karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karna
kondisi eksternal (misalnya ditindas dari struktur social yang tidak adil).
Untuk mengetahui focus dan tujuan
pemberdayaan secara oprasional, maka perlu diketahui berbagai indikator
keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga
ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat
dikosentrasikan pada aspek-aspek apasaja dari sasaran perubahan (misalnya
pemberdayaan keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Menurut Kieffer,
Pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kopetensi kerakyatan,
kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Suharto, Parsons et.al.
Juga Mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada:
a. Sebuah
proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian
berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
b. Sebuah
keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu
mengendalikan diri orang lain.
c. Pemberdayaan
yang dihasilkan dari sebuah gerakan social, yang dimulai dari pendidikan dan
politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari
orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-
struktur yang masih menekan.[2][28]
Adapun strategi pemberdayaan
menurut; Parsons et.al. Meyatakan bahwa “proses pemberdayaan umumnya dilakukan
secara kolektif.”[3][29] Menurutnya
tidak ada literature yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam
relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan masyarakat dalam setting
pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan
rasa percaya diri dan kemampuan diri masyarakat, hal ini bukanlah strategi
utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan social
dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi
pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya
strategi inipun tetap berkaitan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan masyarakat
dengan sumber atau system lain dari luar dirinya. Dalam kontek pekerjaan
social, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga arus atau matra pemberdayaan
(empowerment setting):
a. Aras
Mikro.
Pemberdayaan
dilakukan terhadap masyarakat secara individu melalui bimbingan, konsling,
stress management, krisis intervention, Tujuan utamanya adalah membimbing atau
melatih masyarakat dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan.
b. Aras
Mezzo.
Pemberdayaan
dilakukan terhadap kelompok masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan
menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan,
dinamika kelompok, biasa digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap masyarakat agar memiliki
kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
c. Aras
Makro.
Pendekatan
ini disebut juga sebagai strategi system besar (large-system strategi), karna
sasaran perubahan diharapkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumusan
kebijakan, perencanaan social, kampanye, aksi social, perorganisasian
masyarakat.[4][30]
0 comments:
Posting Komentar