Tampilkan postingan dengan label PAJAK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAJAK. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Januari 2016

MEMAHAMI PAJAK BENDAHARA GAMPONG



  
Dana desa yang bergulir ke kas desa tentu harus ada pengelolanya dan perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa harus mampu memahami fungsinya dan ada fungsi pajak disitu, yaitu sebagai wajib pungut. Apa bedanya Wajib Pajak & Wajib Pungut, kalau disingkat toh sama-sama WP. Secara sederhana Wajib Pungut itu mempunyai kewajiban memungut pajak dan ada peraturan khusus yang menunjuk bahwa Wajib Pajak itu mempunyai kewajiban memungut, contoh lain wajib pungut seperti bendahara SKPD, APBN, BUMN. Kalau Wajib Pajak biasa ya hanya setor pajak atau dipotong pajak, misal seperti saya sebagai PNS, kalau ada penghasilan atas usaha ya saya setor 1% sementara atas gaji yg saya terima dipotong PPh 21 oleh bendahara.
Cara Daftar NPWP Bendahara Desa
Sebelum melakukan penyetoran pajak atas dana desa, perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa tentunya harus sudah mempunyai NPWP pribadi sendiri. Jika belum punya maka silahkan ke KPP terdekat dengan membawa fotokopi KTP dan mendaftar NPWP pribadi. Jika sudah mempunyai NPWP pribadi maka syarat untuk daftar NPWP bendahara desa adalah:
1.    fotokopi surat penunjukan sebagai Bendahara; dan
2.    fotokopi Kartu Tanda Penduduk.
Dan isilah formulir pendaftaran NPWP bendahara, jika masih ada kesulitan mintalah bantuan petugas helpdesk.
Jenis-Jenis Pajak terkait Penggunaan Dana Desa
Sama seperti kewajiban bendahara dinas pada umumnya, jenis pajak yang harus dipungut antara lain.
PPh Pasal 21
Pajak yang dipotong atas pembayaran berupa gaji, upah, honorarium, dan pembayaran lain yang diterima oleh Orang Pribadi. Termasuk jika penghasilan orang yang menjadi bendahara desa sudah melebihi PTKP maka dia dalam kapasitas sebagai bendahara desa memotong PPh 21-nya atas penghasilan sendiri.
PPh Pasal 22
Pajak yang dipungut dari Pengusaha/Toko atas pembayaran atas pembelian barang dengan nilai pembelian diatas Rp. 2.000.000,- tidak terpecah-pecah. Tarifnya adalah 1,5% jika rekanan ber-NPWP, jika belum punya NPWP dipungut 3% atau 100% lebih tinggi.
PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima rekanan atas sewa (tidak termasuk sewa tanah dan atau bangunan), serta imbalan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan dan jasa lain. Tarifnya untuk penghasilan atas jasa adalah 2%jika rekanan ber-NPWP, jika belum punya NPWP dipungut 4% atau 100% lebih tinggi.
PPh Pasal 4 ayat (2)
Pajak yang dipotong atas pembayaran :
·         Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (Tarif 5%)
·         Persewaan tanah dan atau bangunan (tarif 10%)
·         Jasa Konstruksi (perencana, pelaksana, pengawas konstruksi)

Kegiatan
Kualifikasi
Tidak Mempunyai Kualifikasi
Kecil
Menengah/Besar
Pelaksana
2%
3%
4%
Perencana/Pengawas
4%
6%
Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi ditentukan oleh LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pemungutan atas pembelian Barang/ Jasa Kena Pajak yang jumlahnya diatas Rp. 1.000.000,- tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Ingat sangat dianjurkan agar rekanan bendahara desa harus sudah PKP dan sudah mempunyai nomor seri faktur pajak. Kenapa harus PKP? karena hanya PKP yang bisa menerbitkan faktur pajak. Jika ngeyel menggunakan rekanan non PKP maka PPN tetap dipungut bendahara tetapi untuk pertanggungjawaban administrasinya kurang lengkap karena tidak ada faktur pajak, dan ini kadang yang jadi temuan inspektorat terkait.
Contoh Kasus:
Belanja Barang
Pembelian Barang untuk Sarana dan Prasarana Desa senilai Rp 3.500.000,- 
a.    Jika atas nilai tersebut belum termasuk PPN, maka PPh 22=52.000 (3.500.000×1.5%), PPN=350.000 (3.500.000×10%). Kuitansi yang dibayarkan adalah 3.850.000
b.    Jika atas nilai tersebut sudah termasuk PPN, maka cari dulu nilai barang tanpa PPN yaitu 11/10×3.500.000=3.181.818. Sehingga PPh 22=47.727 & PPN=318.181
Pembayaran Atas Jasa
Bapak Rudi selaku bendahara Desa Sitardas menggunakan jasa penebangan hutan kepada rekanan yang tidak memiliki NPWP dengan nilai penyerahan Rp. 10.000.000,- Atas transaksi tersebut bendahara wajib memotong PPh 23 sebesar 4% (bukan 2%), karena rekanan tidak memiliki NPWP  dengan perhitungan sbb:
·         PPh 23 (4% x 10.000.000) = Rp.400.000
·         Wajib Pungut PPN (karena > Rp 1juta tapi tidak ada faktur karena juga belum PKP)
PPN = 10% x Rp 10.000.000 = Rp 1.000.000
Pembayaran Atas Jasa Pelaksana Konstruksi Fisik
Desa Sitardas melakukan tender pekerjaan konstruksi fisik (peningkatan kualitas jalan) yang dilakukan oleh CV. Bahtera (NPWP 02.554.013.3-104.000). Kontraktor tsb memiliki kualifikasi grade kecil dengan nilai paket pekerjaan sebesar Rp.200.000.000 dan PPN sebesar Rp.20.000.000. Maka pajak yang harus dipotong oleh Bendahara Desa atas paket pekerjaan fisik tersebut adalah:
Total tagihan dari rekanan (CV. Bahtera )   : Rp.220.000.000 (Nilai kontrak 200jt + PPN 20jt)
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong: 2% x 200.000.000 = 4.000.000
Total PPh dan PPN = Rp 20.000.000 + Rp 4.000.000 = Rp 24.000.000
Dibayar kepada rekanan CV. Andalan =(220 juta – 24 juta) = Rp 196.000.000

Selasa, 29 Desember 2015

Perpajakan bagi Aparatur Desa

Pemahaman tentang pajak harus lebih ditingkatkan seiring dengan perkembangan transaksi ekonomi yang terjadi di berbagai daerah di seluruh penjuru wilayah tanah air. Transaksi ekonomi selalu dapat dikaitkan memiliki aspek pengenaan pajak baik yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun dilakukan oleh perangkat instansi pemerintah yang dana nya bersumber dari APBN/APBD. Tak kalah pentingnya bahwa di desa-desa pelosok seperti di Wilayah Kabupaten Malinau pada tahun 2013 ini mendapatkan dana bantuan dari Pemerintah Kabupaten dengan jumlah yang lumayan besar dibandingkan desa-desa yang ada di pulau jawa. Adanya belanja barang dan jasa dari perangkat desa, menggiatkan sektor ekonomi di pedesaan dan meningkatkan omzet para pelaku usaha, otomatis meningkatkan jumlah wajib pajak dan penerimaan pajak.
Seperti diketahui bahwa pihak yang berperan dalam melaksanakan fungsi perbendaharaan dan fungsi pemungutan pajak dalam pengeloaan APBN/APBD adalah Bendahara satuan kerjanya. Demikian pula di Desa, Bendahara Desa lah yang melaksanakan pengeluaran anggaran yang dana nya bersumber dari APBD memiliki kewajiban memungut/memotong, menyetor dan melaporkan pajak pusat yang diantaranya meliputi Pajak Penghasilan (PPh) terdiri dari PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2), juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Diketahui bahwa sebelum tahun 2013, ternyata banyak sekali aparatur desa yang belum memahami peraturan perpajakan, demikian pula dengan para pelaku usaha yang menjadi rekanan.
Di wilayah Kabupaten Malinau terdapat pola pembangunan desa yang dikenal dengan nama program Gerdema (Gerakan Desa Membangun), dimana dana pembangunan desa nya bersumber dari APBD kabupaten Malinau. Dalam program Gerdema ini ditujukan untuk membangun desa (dengan alokasi dana sebesar Rp 1,2 miliar setiap desa) meliputi pembangunan infrastruktur, SDM, pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan dan pertanian. Dalam menjalankan program ini, masyarakat dan aparatur pemerintah desa memiliki peranan penting dalam mengelola keuangan dari dana bantuan tersebut.
Tentunya diantara tanggung jawab pemanfaatan/pengeluaran dana untuk pembangunan desa, aparatur desa memiliki tanggung jawab juga untuk mengamankan penerimaan negara melalui pemungutan/pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Potensi perpajakan yang terkait dengan alokasi dana desa ini sangat bervariasi, tergantung dari jenis transaksi yang merupakan obyek pajak, atau transaksi atas pengadaan barang/jasa yang dapat dikenakan pajak.
Bayangkan saja apabila dalam hitungan kasar umpamanya setiap desa di wilayah Kab. Malinau potensi pajaknya kurang lebih Rp 100 juta per desa per tahun, maka jika dikalikan dengan jumlah seluruh desa yang ada di wilayah kabupaten Malinau sebanyak 109 desa, akan diperoleh angka potensi pajak yang dipungut oleh bendaharawan desa ini cukup signifikan.
Memang masih disadari bahwa banyak desa yang melaksanakan pembangunan fisik/konstruksi masih menggunakan sistem swakelola, sehingga ada saja terdapat pembelian material-material yang merupakan non-BKP, sedangkan pembayaran tenaga kerja nya menggunakan cara upah harian maupun borongan. Hal demikian merepotkan mereka dalam menghitung PPh 21 maupun mengidentifikasi jenis barang yang merupakan obyek PPN atau bukan. Namun di beberapa wilayah sudah melibatkan kontraktor sebagai penyedia jasa konstruksi, sehingga potensi PPN maupun PPh Jasa konstruksi nya dapat dihitung dengan mudah dan pasti.
Berdasarkan hal-hal diatas dipandang perlu bagi aparatur desa bahkan masyarakat desa mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang perpajakan. Sehubungan dengan alokasi dana desa, kepatuhan pemungutan pajak harus dilaksanakan secara melekat terhadap Bendahara Desa dengan pengawasan oleh Kepala Desa nya masing-masing. Bendahara desa diwajibkan mempunyai NPWP sebagai sarana untuk melaksanakan ketentuan perpajakan.
Bahwa dalam rangka memberikan pemahaman perpajakan secara teknis terhadap aparat desa dimaksud, maka di Kab. Malinau telah terjadi kerja sama antara Bagian Keuangan Setkab Malinau dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Malinau, untuk mengadakan bimbingan teknis (Bimtek) perpajakan yang terkait dengan aspek pengelolaan dana desa, yaitu Bimtek PPh dan PPN. Pelaksanaan nya akan direncanakan secara bertahap sesuai jadwal yang ditentukan, sebisa mungkin meliputi semua aparatur desa.
Kegiatan Bimtek Perpajakan tahap awal telah dilaksanakan sebanyak 4 kali. Setiap kali kegiatan bimtek dilakukan selama sehari penuh mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WITA. Pelaksanaan kegiatan difokuskan  di Kantor Kecamatan, dengan mengundang semua aparat desa, terutama Kepala Desa dan Bendahara nya, termasuk juga Tim Satgas pendamping yang bertugas mengawasi pelaksanaan anggaran masing-masing desa. Selama ini telah dilakukan bimtek perpajakan di berbagai lokasi sebanyak 4 Wilayah Kecamatan, yang meliputi Kecamatan Malinau Kota (tgl 16 September 2013), Kec. Malinau Utara (tgl 17 September 2013), Kecamatan Malinau Barat (tgl 25 September 2013) dan Kecamatan Mentarang (tgl 26 September 2013).
Jadi total peserta yang hadir adalah berasal dari Tim Bagian Keuangan Pemkab Malinau, staf kecamatan, para Kepala Desa, Bendahara Desa dan staf desa, serta Tim Satgas Gerdema. Acara bertempat di Aula setiap kecamatan dan dibuka oleh Asisten III Setkab Malinau, Drs. Hendris Damus, M.Si. Dalam pengarahannya, Hendris mengatakan tentang penting nya pajak sebagai sumber pembiayaan negara yang manfaatnya juga akan dapat dirasakan bagi seluruh masyarakat, terutama desa-desa yang mendapat bantuan dana yang berasal dari APBD kabupaten, yang tentunya dana tersebut sebagian berasal dari APBN.
Dalam kegiatan Bimtek ini, pihak KP2KP Malinau menurunkan Tim Narasumber sebanyak 4 orang dimana pelaksanaannya di lapangan dipimpin langsung oleh Kepala KP2KP Malinau – Ferry A. Triyantoro, S.E., M.Si. didampingi 2 orang staf KP2KP yaitu Earth Jude Pieter Sitinjak dan Rudi Nurhadi, serta bantuan dari 1 orang Account Representative KPP Pratama Tanjung Redeb, Haris Wibowo, S.E., MM. Ada hal yang membanggakan dari kegiatan ini adalah bahwa mereka yang di desa-desa (bahkan termasuk kategori pelosok) sangat menginginkan adanya pengetahuan perpajakan, karena mereka beranggapan bahwa uang pajak yang berasal dari masyarakat telah kembali kepada masyarakat untuk pembangunan desa mereka. Disamping itu juga karena adanya kontrol yang ketat terkait kelengkapan bukti-bukti pemungutan/pembayaran pajak atas setiap pencairan dana desa yang pengawasan dan pengelolaan nya di bawah tanggung jawab Bagian Keuangan Pemkab.
Para peserta mengikuti secara antusias dan tertib pemberian materi tentang tata cara perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak. Dalam empat tahap kegiatan bimtek perpajakan yang sudah berlangsung empat kali di tempat yang berbeda, pada intinya para aparatur desa merespon positif dan menyatakan dukungannya terhadap pemungutan dan pembayaran pajak atas transaksi keuangan sehubungan dengan pengelolaan dana desa, dan siap melaksanakan tertib administrasi perpajakan.
Kedepannya diharapkan aparat desa juga dapat menjadi agen pajak, karena mereka lah yang sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat wajib pajak di desanya, kemudian dapat menularkan pengetahuan perpajakan bagi masyarakat di wilayah nya masing-masing. Mari kita dukung ‘Pajak Masuk Desa’ melalui pemberdayaan aparatur desa. Uang pajak untuk membangun desa.
Sumber : Derektorat Jenderal Pajak

PPN ( Pajak Pertambahan Nilai )

Pada saat anda membeli sebuah produk berupa properti pemerintah mengenakan sejumlah pajak pada kita salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada umumnya bila kita membeli properti tersebut dari developer, biasanya pajak-pajak yang harus kita bayar tersebut telah termasuk dalam harga jual. Besarnya pajak tersebut akan sangat tergantung pada jenis, nilai, luas, dan lokasi properti yang akan kita beli.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, impor Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha,  pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya besarnya adalah 10% dari nilai transaksi. Minimal nilai transaksi yang dipungut PPN adalah di atas Rp. 36 juta. PPN hanya dikenakan satu kali saja pada saat membeli properti, baik dari developer maupun perorangan.  Jika kita membeli dari developer, maka pembayaran dan pelaporan dilakukan melalui developer. Namun demikian jika kita membeli dari perorangan, maka pembayaran dilakukan sendiri setelah transaksi, selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan ke kantor pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
PPN Kegiatan Membangun Sendiri
PPN kegiatan membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan”. 
Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila bangunan yang dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah 200m2 tidak terutang PPN. Perbedaan antara kegiatan membangun sendiri dengan jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan perusahaan kontruksi. Dalam hal ini kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka tetap dianggap sebagai kegiatan membangun sendiri.
Dasar Hukum
Dasar hukum dari pemberlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pasal 16C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan terkait lainnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN apabila:
  1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain,
  2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha. Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau konstruksi yang semata-mata diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain). Bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau konstruksi yang diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada,
  3. Luas bangunan 200 m² atau lebih dan bersifat permanen yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya terdiri dari beton dan/atau kayu tahan lama dan/atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun.
Tarif dan Pengenaan Pajak
Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.
Saat dan Tempat Terutang
Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan lain-lain). Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan
PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal 20 pada bulan dilakukannya penyetoran.
Surat Teguran dan Pemeriksaan
Surat Teguran diberikan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri akan tetapi tidak memenuhi kewajibannya. Pemeriksaan pajak dilakukan jika dalam jangka waktu 14 hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri di Kawasan Real Estate
Membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sesudah 31 Desember 1994, tidak dikategorikan sebagai membangun sendiri, tetapi dianggap dibangun oleh Real Estat. Karena pada dasarnya Real Estat tidak boleh menjual tanah. Dengan demikian kegiatan membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sebelum 1 Januari 1995 masih dapat dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam hal ini perlakuan PPN-nya sama dengan kegiatan membangun sendiri bukan di dalam kawasan Real Estat.
Dalam hal perolehan tanah kavling pada kawasan Real Estat terjadi sesudah tanggal 1 Januari 1995, maka:
  • Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling, dianggap dibangun oleh PKP Real Estat,
  • Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga tanah) yang dihitung oleh PKP Real Estat seandainya rumah tersebut dibangun oleh PKP Real Estat,
  • Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling sehubungan dengan pembangunan rumah tersebut, dilaporkan kepada PKP Real Estat setiap bulan dan dianggap sebagai pembayaran termin. Berdasarkan laporan pemilik kavling, PKP Real Estat harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik kavling, kemudian menyetor dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN pada bulan yang bersangkutan,
  • Apabila rumah tersebut telah selesai dibangun, PKP Real Estat harus menentukan nilai bangunan rumah tersebut sesuai dengan patokan harga yang berlaku. Dalam hal nilai bangunan yang dihitung oleh PKP Real Estat lebih besar dari jumlah biaya yang telah dilaporkan oleh pemilik kavling, maka atas selisih tersebut harus dipungut PPN, disetordan dilaporkan oleh PKP Real Estat dalam SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan. Apabila patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil daripada jumlah biaya yang dilaporkan maka DPP yang dipakai adalah jumlah biaya yang dilaporkan oleh pemilik kavling tersebut, dan atas selisih tersebut tidak dapat direstitusi,
  • Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk membangun rumah tersebut tidak dapat dikreditkan.
PPN BM Atas Rumah Mewah, Apartemen, Kondominium, dan Town House
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Hal ini merupakan usaha nyata  untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak dan sekaligus merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif didalam masyarakat.
PPnBM juga hanya dipungut satu kali pada tingkat pabrikan atau pada saat impor barang mewah tersebut.
Dasar Hukum
Peraturan yang mendasari pengenaan PPnBM atas rumah mewah, apartemen, kondominium, dan town house adalah:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 12 tahun 2006,
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah Harga Jual, dimana berdasarkan  Pasal 1 angka 18 UU PPN, Harga Jualdidefinisikan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya dikenakan satu kali, yaitu terhadap penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut. Sepanjang bangunan Unit Komersial untuk Perkantoran dan Perdagangan yang peruntukannya sesuai Surat Keputusan  Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hanya semata-mata untuk kepentingan komersial, seperti cafe, restaurant, sekolah/kursus/pendidikan, showroom, dan tidak untuk hunian atau tempat tinggal, maka atas penyerahannya tidak terutang PPn BM. Namun demikian, apabila bangunan tersebut terbukti dimanfaatkan sebagai hunian dan memenuhi kriteria, maka atas penyerahannya terutang PPn BM.
Objek dan Tarif
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor No. 103/PMK.03/2009 yang memuat Daftar Mewah Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dengan Tarif sebesar 20%, antara lain :
  1. Rumah dan town house dari jenis non strata title, termasuk rumah kantor atau rumah toko, yang luas bangunannya 350 m2 atau lebih ,
  2. Apartemen, kondominimum, town house, dan sejenisnya dari jenis strata title dengan luas bangunan 150 m2.
Saat Terutang
Saat terutangnya PPnBM ialah saat barang tersebut dialihkan atau dijual kepada pihak lain, jadi apabila dipakai sendiri maka belum terutang PPnBM.
Kesimpulan:
  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas:
  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha,
  • Impor Barang Kena Pajak,
  • Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha,
  • Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
  • Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau,
  • Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak,
  1. Besarnya PPN atas properti pada umumnya adalah 10% dari nilai transaksi,
  2. PPN juga dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
  3. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila bangunan yang dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 300 m2 atau lebih dan bersifat permanen.
  4. Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % dari Dasar Pengenaan Pajak.
  5. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM yang hanya dikenakan satu kali yaitu terhadap penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP Yang Tergolong Mewah tersebut. Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah harga jual dengan tarif sebesar 20%.