Data penduduk Indonesia pada
tahun 2005 menunjukkan proporsi penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan
jika dibandingkan di perkotaan tidak lagi berbeda jauh, yakni 113,7 juta jiwa
di perdesaan dan 106,2 juta jiwa di perkotaan (BPS, 2005). Namun, perbandingan
tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah di antara
keduanya menunjukkan kawasan perdesaan masih relatif tertinggal jika
dibandingkan dengan perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan pada tahun
2004 mencapai 24,6 juta jiwa, jauh lebih tinggi daripada di perkotaan, yaitu
11,5 juta jiwa. Sementara itu, jangkauan pelayanan infrastruktur di perdesaan
masih jauh dari memadai. Misalnya, baru sekitar 6,4 persen rumah tangga
perdesaan yang telah dilayani oleh infrastruktur perpipaan air minum, sedangkan
di perkotaan mencapai 32 persen; sementara itu, untuk pelayanan telekomunikasi,
dari total 62.806 desa di Indonesia, sebanyak 43.000 desa masih belum memiliki
fasilitas telekomunikasi.
Data juga menunjukkan masih
relatif rendahnya produktivitas tenaga kerja di perdesaan karena aktivitas
ekonomi perdesaan masih bertumpu pada sektor pertanian (primer). Berdasarkan Susenas 2003,
pangsa tenaga kerja di perdesaan pada sektor pertanian mencapai 67,7 persen.
Padahal secara nasional, meski sektor pertanian menampung 46,3 persen dari 90,8
juta penduduk yang bekerja, sumbangannya dalam pembentukan PDB hanya 15,0
persen. Menguatnya desakan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi
nonpertanian, terutama di Pulau Jawa, tidak hanya merusak sistem irigasi yang
sudah terbangun, tetapi juga semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di
perdesaan dengan meningkatnya rumah tangga petani gurem. Jika hal itu
dibiarkan, sangat sulit untuk menurunkan angka kemiskinan di perdesaan dan
mengendalikan migrasi ke kota-kota besar sehingga pada gilirannya akan
membebani dan memperburuk permasalahan di perkotaan. Oleh karena itu, sangat
mendesak untuk dilakukannya diversifikasi usaha ekonomi di perdesaan ke arah
kegiatan nonpertanian (non-farm
activities), baik berupa industri yang mengolah produk pertanian maupun
berupa jasa-jasa penunjang.
Industrialisasi perdesaan yang berbasis
pertanian, tidak hanya berpotensi mengalihkan surplus tenaga kerja di sektor
pertanian primer yang kurang produktif, tetapi juga mempertahankan nilai tambah
yang dihasilkan tetap berada di perdesaan. Namun, untuk mewujudkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat perdesaan, upaya diversifikasi lapangan pekerjaan ini
secara simultan perlu diiringi dengan peningkatan keberdayaan masyarakat
perdesaan, penyediaan dukungan prasarana
dan sarana sosial ekonomi yang memadai,
peningkatan kapasitas pemerintahan dan kapasitas kelembagaan sosial
ekonomi dalam pembangunan perdesaan di tingkat lokal, dan penguatan keterkaitan
kota dan desa serta sektor pertanian dengan industri dan jasa penunjangnya.
I. Permasalahan yang Dihadapi
Permasalahan yang dihadapi dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dapat dimasukkan ke dalam
beberapa permasalahan utama sebagai berikut (1) masih kurang berkembangnya
kehidupan masyarakat perdesaan karena terbatasnya akses masyarakat perdesaan,
terutama kaum perempuan, ke sumber daya produktif, seperti lahan, permodalan,
infrastruktur, dan teknologi serta akses terhadap pelayanan publik dan pasar;
(2) masih terbatasnya pelayanan prasarana dan sarana permukiman perdesaan,
seperti air minum, sanitasi, persampahan, dan prasarana lingkungan lain; (3)
masih terbatasnya kapasitas kelembagaan pemerintahan di tingkat lokal dan kelembagaan
sosial ekonomi untuk mendukung peningkatan sumber daya pembangunan perdesaan;
dan (4) masih kurangnya keterkaitan antara kegiatan ekonomi perkotaan dan
perdesaan yang mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan ekonomi dan
kesenjangan pelayanan infrastruktur antarwilayah.
Dalam lingkup sektor pertanian
sendiri, masih terbatas upaya-upaya untuk beralih ke komoditas bernilai ekonomi
tinggi, serta belum dioptimalkannya pertanian lahan kering yang relatif lebih
kecil kebutuhan investasi prasarana pendukungnya. Dalam lingkup yang lebih besar, belum
mantapnya alih peran dan tanggung jawab dalam sektor-sektor yang terkait dengan
pembangunan perdesaan seiring dengan desentralisasi mengakibatkan pembangunan
prasarana perdesaan kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Di sisi lain,
terjadinya bencana alam yang bertubi-tubi, seperti halnya di NAD dan Nias,
memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam memperburuk kapasitas infrastruktur
perdesaan yang telah dibangun di banyak wilayah di Indonesia.
II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil
yang Dicapai
Penciptaan lapangan pekerjaan
nonpertanian di perdesaan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat perdesaan. Untuk itu, langkah-langkah kebijakan yang
ditempuh meliputi (1) meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui
penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan serta pengembangan
kemampuan dan kemandirian masyarakat perdesaan dalam pengelolaan pembangunan;
(2) memperkuat keterkaitan kawasan perdesaan dengan perkotaan serta keterkaitan
antarsektor pertanian dengan sektor industri dan jasa berbasis sumber daya
lokal; (3) memperbaiki tingkat pelayanan prasarana permukiman dan ekonomi
perdesaan; (4) meningkatkan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam
mengelola pembangunan perdesaan secara partisipatif; dan (5) mengembangkan dan
memantapkan kelembagaan sosial ekonomi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal
dan peningkatan akses masyarakat perdesaan ke modal usaha. Jika memperhatikan
karakteristik umum permasalahan kesejahteraan rakyat dan kualitas hidup
masyarakat desa, langkah-langkah tersebut dilakukan dengan memperhatikan
kesetaraan gender.
Dalam rangka meningkatkan
keberdayaan masyarakat perdesaan dan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal,
telah dicapai hasil-hasil sebagai berikut (1) penyusunan pedoman untuk
memberdayakan kapasitas masyarakat dan termasuk dalam hal pengarusutamaan
gender; (2) penyusunan pedoman yang diperlukan untuk memperkuat kapasitas
pemerintahan di tingkat lokal, di antaranya mengenai pengelolaan pembangunan
secara partisipatif, pengelolaan anggaran, serta penyusunan produk hukum
wilayah perdesaan; (3) pembimbingan teknis Pengembangan Badan Usaha Milik Desa;
(4) pembimbingan teknis Tata Cara Penegasan dan Penetapan Batas Desa; (5)
pembimbingan teknis Penataan Administrasi Pemerintahan Desa; (6) pembimbingan
teknis Penyusunan Peraturan Desa dan Keputusan Desa; (7) pelaksanaan pelatihan
peningkatan kapasitas pemerintah dan keberdayaan masyarakat desa, di antaranya
mengenai Manajemen Pemerintahan Desa
bagi Kepala Desa dan Perencanaan Pembangunan Partisipatif, terutama bagi kaum
perempuan; (8) pelatihan pendayagunaan Teknologi Tepat Guna (TTG) bagi
instruktur TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD); (9) pelatihan pendayagunaan
Teknologi Tepat Guna (TTG) bagi instruktur Latihan Integrasi Taruna Wreda
(Latsitarda) Nusantara Tahun 2004; (10) pelatihan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi bagi aparatur Pemerintah Daerah; (11) pengevaluasian PP
Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Desa; (12) tersusunnya Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Desa (pengganti PP Nomor 76 Tahun 2001); (13)
tersusunnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kelurahan (pengganti
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 65
Tahun 1999); (14) tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (pengganti Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun
2001) sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan; (15) tersusunnya
Rancangan Pedoman Umum Peningkatan Peran Masyarakat dalam Pendayagunaan Tata
Ruang Kawasan Perdesaan; (16) pemfungsian 16.210 unit Lumbung Pangan Masyarakat
Desa (LPMD) dalam mendukung peningkatan ketahanan pangan masyarakat; (17)
pembangunan prasarana sosial berupa Balai/Kantor Desa (66 unit); (18) pelaksanaan
fasilitasi kepada Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan kinerja
penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan; (19) pelaksanaan pemberian tanah
(redistribusi) kepada para petani sebanyak 1.400 bidang; dan (20) pengembangan
desa-desa percontohan di wilayah pesisir agar masyarakat desa dapat
mendayagunakan sumber daya pesisir secara lestari dalam suatu rencana wilayah
desa yang terpadu.
Selanjutnya, dalam rangka
pengembangan ekonomi lokal serta penguatan keterkaitan perdesaan dengan
perkotaan, telah dicapai hasil-hasil sebagai berikut (1) penyusunan Dokumentasi
Data Peraturan Perundangundangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan; (2)
tersusunnya Pedoman Umum Pengelolaan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP)
sebagai Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan; (3) tersusunnya Pedoman Umum
Fasilitasi Penerapan Teknologi Tepat Guna bagi Pengembangan Usaha Mikro dan
Kecil; (4) penyusunan kajian Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat pada Kawasan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Strategis; (5) pelatihan kewirausahaan bagi
masyarakat; (6) pembangunan prasarana perekonomian, yakni jalan desa (835,48
km), jembatan desa (4.466 unit), sarana
air bersih (4.072 unit), sanitasi (670 unit), irigasi desa (6.143 unit), pasar desa
(29.003 unit), listrik desa (308 unit), dermaga desa (26 unit), tempat
pelelangan ikan (6 unit), saluran air (5,6 km); (7) pengembangan 22.229 unit
Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai lembaga keuangan mikro
perdesaan yang melayani keperluan modal usaha bagi masyarakat perdesaan; (8)
pemfungsian 2.121 Pos Pelayanan Teknologi Perdesaan (Posyantekdes) dalam
menyediakan layanan informasi dan perangkat teknologi tepat guna untuk
mendukung pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat perdesaan; (9)
pelaksanaan Persiapan Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) Bidang
Infrastruktur Perdesaan terutama untuk desa-desa tertinggal; dan (10)
pengembangan prasarana dan sarana agropolitan di 59 kawasan.
Di samping itu, secara simultan
juga dicapai hasil-hasil melalui kegiatan-kegiatan pokok peningkatan
infrastruktur perdesaan (diuraikan secara terperinci dalam Bab 33: Percepatan
Pembangunan Infrastruktur), peningkatan kualitas sumber daya manusia di
perdesaan (Bab 27: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas
dan Bab 28: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas);
serta perlindungan dan konservasi sumber daya alam (Bab 32: Perbaikan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup).
Sejauh ini dapat diamati bahwa
telah dilakukan upaya intensif dalam meningkatkan pembangunan perdesaan secara
partisipatif, terutama dengan memperkuat kapasitas masyarakat dan pemerintahan
desa. Hal itu, antara lain, ditandai dengan telah tersusunnya Rancangan
Peraturan Presiden tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Desa (pengganti PP No.76 Tahun 2001). Pencapaian lain yang
layak digarisbawahi adalah peningkatan kemampuan berusaha dan pemantapan
kelembagaan dalam pengembangan ekonomi lokal, antara lain dengan telah
dikembangkannya unit-unit Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP) sebagai
lembaga keuangan mikro perdesaan, dalam rangka meningkatkan akses masyarakat
perdesaan ke modal usaha. Di samping itu, komitmen untuk terus meningkatkan
keterkaitan perdesaan-perkotaan juga dilaksanakan melalui pengembangan
prasarana-sarana di kawasan-kawasan agropolitan.
III. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Mencermati dinamika perkembangan
pembangunan perdesaan sampai sejauh ini, baik berbagai pencapaian maupun
permasalahannya, kebijakan pembangunan perdesaan pada tahun 2006 akan diarahkan
pada (1) penggalakan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan
perdesaan lainnya untuk meningkatkan kontinuitas pasokan, khususnya ke pasar
perkotaan terdekat serta industri pengolahan berbasis sumber daya lokal; (2)
perluasan akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke sumber daya produktif
untuk pengembangan usaha seperti lahan, permodalan, informasi, teknologi dan
inovasi; (3) peningkatan prasarana dan sarana perdesaan serta akses masyarakat
ke pelayanan publik; (4) peningkatan kapasitas masyarakat perdesaan untuk dapat
menangkap peluang pengembangan ekonomi serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial
masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar;
(5) perbaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan pelayanan
pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan risiko kerentanan, baik dengan
mengembangkan kelembagaan pelindungan masyarakat petani maupun dengan
memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat (monopsoni dan oligopsoni); (6)
pengembangan praktik-praktik budi daya pertanian dan usaha nonpertanian yang
mempertahankan daya dukung lingkungan, baik di wilayah daratan maupun di
wilayah pesisir; dan (7) pengembangan kapasitas pemerintahan dalam pembangunan
perdesaan di tingkat lokal.
Dengan arah kebijakan tersebut,
dalam rangka peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan, upaya tindak lanjut
yang diperlukan meliputi (1) penumbuhan lembaga pelayanan penyuluhan dan
peningkatan penyuluhan dan pelatihan keterampilan usaha bagi masyarakat
perdesaan; (2) fasilitasi penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat
di perdesaan berdasarkan identifikasi praktik terbaik (best practices) dan pembelajaran dari program-program pemberdayaan
masyarakat; (3) pemantapan kelembagaan pemerintahan desa dalam pengelolaan
pembangunan perdesaan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik; (4)
peningkatan partisipasi masyarakat perdesaan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pembangunan perdesaan; (5) koordinasi pengembangan
kelembagaan untuk difusi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan ke kawasan
perdesaan; dan (6) peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam
memfasilitasi dan mengoordinasikan peran pemilik kepentingan (stakeholders) dalam pembangunan kawasan
perdesaan.
Sementara itu, untuk
mengembangkan ekonomi lokal, terutama di daerah perdesaan, langkah tindak
lanjut yang diperlukan meliputi (1) peningkatan koordinasi lintas sektor untuk
memantapkan kawasan agropolitan yang sudah ada dan mempromosikan pendekatan
agropolitan ke lokasi baru terutama kawasan-kawasan potensial di luar pulau
Jawa-Bali; (2) peningkatan pengembangan usaha agribisnis yang meliputi mata
rantai subsektor hulu (pasokan masukan), on
farm (budi daya), hilir (pengolahan), dan jasa penunjang; (3) peningkatan
infrastruktur sosial dan ekonomi perdesaan melalui pendekatan pembangunan
berbasis masyarakat lokal (community
based development); (4) pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan
terutama bagi angkatan kerja muda perdesaan; (5) pengembangan jaringan kerja
sama usaha dan kemitraan antara pelaku usaha besar dan usaha mikro/rumah
tangga; (6) peningkatan peran perempuan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif
di perdesaan; (7) peningkatan pelayanan lembaga keuangan, termasuk lembaga
keuangan mikro (LKM), kepada pelaku usaha di perdesaan, antara lain, melalui
fasilitasi informasi tentang pelaku usaha potensial di perdesaan, pelindungan
status badan hukum LKM, kemudahan perizinan dan pembentukan sistem jaringan
antar-LKM serta antara LKM dan bank; dan (8) fasilitasi pengembangan akses
masyarakat dalam pemasaran produk hasil usaha pada skala lokal dan regional.
Upaya peningkatan keberdayaan
masyarakat perdesaan dan pengembangan ekonomi lokal di perdesaan perlu didukung
pula oleh berbagai upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam meningkatkan
infrastruktur perdesaan (dibahas terperinci dalam Bab 33: Percepatan
Pembangunan Infrastruktur), meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
perdesaan (Bab 27: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas
dan Bab 28: Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Lebih Berkualitas)
dan melindungi dan melakukan konservasi sumber daya alam (Bab 32: Perbaikan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup).
0 comments:
Posting Komentar