Jumat, 25 Oktober 2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

KAJIAN LITERATUR

A.      Konsep/Teori yang Relevan dengan Berbagai Masalah Kesejahteraan Sosial
        Ilmu pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kesejahteraan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari individu yang bermasalah sosial berarti mereka belum dapat dikatakan sejahtera dalam bidang kesejahteraan sosialnya. Berkaitan dengan masalah-masalah di bidang kesejahteraan sosial, maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian pekerjaan sosial, masalah sosial, dan juga tentang kesejahteraan sosial.
Pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang mempunyai bidang garapan tersendiri. Berbeda dan lain halnya dengan profesi lain seperti psikolog, dokter, dan sosiolog. Ada beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli, yaitu :
a           Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional untuk membantu seseorang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka. Pekerjaan sosial juga dapat dikatakan sebagai institusi sosial, profesi pelayanan manusia serta seni praktek yang ilmiah dan teknis (Max Siporin dalam Dwi Heru Sukoco, 1995)
b           Pekerjaan sosial menekankan pada interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya yang mempengaruhi kemampuan orang untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya, meringankan stress, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilainya (Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Achlis, 1986)
c           Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan pribadi dan sosial (Walter  A. Friedlander dalam Syarif Muhidin, 1982)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) seseorang melalui pemecahan/intervensi masalah yang dihadapinya.
Masalah atau problema adalah perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang diharapkan) dengan das sein (yang nyata, yang terjadi). Dengan kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal dan real (Abu Huraerah, 2008), menurut Horton dan Leslie dalam Suharto (2000) ”masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang yang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan aksi sosial secara kolektif.”

Parillo yang dikutip Edi Suharto (2005) dalam ”Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,” empat komponen dalam memahami pengertian masalah sosial, yaitu :
a.         Masalah itu bertahan untuk suatu periode tertentu.
b.         Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental, baik pada individu maupun masyarakat.
c.         Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.
d.        Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.
Lebih lanjut dijelaskan tentang karakteristik dari masalah sosial antara lain :
a.       Masalah adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan ; suatu masalah sosial baru dikatakan masalah, apabila kondisi yang dirasakan tidak sesuai harapan masyarakat.
b.      Kondisi sosial yang dinilai tidak menyenangkan ; penilaian masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial, sementara ukuran baik buruk sangat tergantung pada nilai atau norma yang dianut masyarakat.
c.       Masalah sosial adalah perilaku atau keadaan kompleks yang akibatnya berpengaruh pada membahayakan kesejahteraan orang banyak (umum) serta dapat mengganggu kestabilan masyarakat, norma, adat istiadat, norma dan kepercayaan masyarakat.
d.      Kondisi yang menuntut pemecahan. Bagaimana pun beratnya suatu masalah sosial, pasti membutuhkan pemecahan secara kolektif sesuai dengan kebutuhan permasalahan, atau pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif.
Masalah sosial merupakan gejala-gejala sosial yang tidak diinginkan akibat ketidakberfungsian dari unsur-unsur masyarakat yang menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah masyarakat dan problema sosial adalah dua macam persoalan dalam masalah sosial. Timbulnya masalah sosial adalah dari kekurangan dalam diri manusia kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis dan kebudayaan. Sehingga setiap masyarakat mempunyai norma yang berhubungan dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, mental serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial.
Ada beberapa definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli, yaitu :
a.         Menurut Walter A. Friedlander, 1961 dalam Pengantar Kesejahteraan Sosial oleh Drs. Syarif Muhidin, Msc. “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.”
b.         Menurut Dwi Heru Sukoco, 1995 dari buku Introduction to Social Work Practice oleh Max Siporin. “Kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi sosial yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup.”
c.         Kesejahteraan sosial adalah sebuah sistem yang meliputi program dan pelayanan yang membantu orang agar dapat memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sangat mendasar untuk memelihara masyarakat (Zastrow, 2000).
d.        Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat (Suharto, 2005).
Setelah membaca beberapa definisi tentang kesejahteraan sosial di atas di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan  sosial adalah suatu tindakan yang mengarah kepada kondisi sosial masyarakat yang menjamin kehidupan masyarakat dalam lingkungan untuk hidup dengan rasa nyaman, aman, dan tentram untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pembangunan pun merupakan suatu konsep yang relevan dengan pemecahan permasalahan sosial. Pembangunan juga harus memperhatikan berbagai aspek-aspek sosial dan ekonomi penduduk, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2003) dalam Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial :
Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan.

Pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat sebaik-baiknya dalam upaya menciptakan suatu kondisi tata kehidupan sosial yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga memungkinkan setiap warga masyarakat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya secara layak bagi individu, keluarga maupun masyarakat.
Arah pembangunan kesejahteraan sosial adalah seperti yang tertuang di bawah ini :
a.       Pencegahan, mencakup kegiatan mencegah timbul, meluas serta kambuhnya permasalahan baik dalam kehidupan perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
b.      Rehabilitasi, merupakan proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk memungkinkan para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
c.       Pengembangan, merupakan upaya pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosial para PMKS melalui penggalian dan pendayagunaan potensi dirinya.
d.      Penunjang, merupakan fungsi pendorong dan pendukung yang turut menentukan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan kesejahteraan sosial  dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS), yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam menjalani fungsi sosialnya, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan sosial.
Tujuan Pembangunan Kesejahteraan Sosial (PKS) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup:
a.         Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
b.         Peningkatan keberdayaan melalui penepatan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
c.         Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

B.       Indikator  Masalah Kesejahteraan Sosial
Menurut PUSDATIN Depsos RI tahun 2008 merujuk pada Buku Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Tahun 2008. Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial.
Menurut Kementerian Sosial saat ini terdapat 22 jenis Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yaitu  sebagai berikut:
1.         Anak Balita Telantar
Anak berusia 0-4 tahun yang karena sebab tertentu, orangtuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-duanya meninggal, anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Indikator :
a.         Anak (laki – laki/perempuan) usia 0 – 4 tahun.
b.        Tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya atau balita yang tidak pernah mendapat ASI/susu pengganti atau balita yang tidak mendapat makanan bergizi (4 sehat 5 sempurna) 2x dalam satu minggu atau balita yang tidak mempunyai sandang yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
c.         Yatim piatu atau tidak dipelihara, ditinggalkan oleh orangtuanya pada orang lain, di tempat umum, rumah sakit, dsb.
d.        Apabila sakit tidak mempunyai akses kesehatan modern (dibawa ke Puskesmas dan lain–lain).
2.    Anak Telantar
Anak yang berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orang tuanya/wali  pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Indikator :
a.         Anak (Laki-laki/perempuan) usia 5 – 18 tahun.
b.        Anak yatim, piatu, yatim piatu.
c.         Tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
d.        Anak yang lahir karena tindak perkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan.
3.         Anak Nakal
Anak yang berusia 5-18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain, akan mengganggu ketertiban umum, akan tetapi (karena usia) belum dapat dituntut secara hukum.
Indikator :
a.    Anak (laki – laki/perempuan) usia 8 sampai kurang dari 18 tahun dan belum menikah.
b.    Melakukan perbuatan (secara berulang) yang menyimpang atau   melanggar  norma masyarakat seperti :
1)        Sering bolos sekolah.
2)        Sering bohong, ingkar/menipu.
3)        Sering mencuri di lingkungan keluarga.
4)        Sering merusak barang/peralatan/sarana umum.
5)        Sering mengganggu orang lain, memancing keributan atau perkelahian.
6)        Sering meminta uang/barang dengan paksa.
7)        Perokok dan peminum.
8)        Melakukan perkelahian massal (tawuran)
9)        Melakukan tindak kriminal seperti perjudian, penodongan, perampokan, penjarahan, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan pelacuran (membayar/dibayar).

4.         Anak Jalanan
Anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat – tempat umum.
Indikator :
a.         Anak (laki-laki/perempuan) usia 5 – 18 tahun.
b.        Melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan atau di tempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu, seperti pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pasar dan lain – lain.
c.         Kegiatannya dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum.
5.         Wanita Rawan Sosial Ekonomi
WRSE (Wanita Rawan Sosial Ekonomi) adalah Seorang wanita dewasa belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. (Keputusan Menteri Sosial Nomor. 24/HUK/1996).
Indikator:
a.         Wanita usia 18 - 59 tahun.
b.        Berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum (sesuai kriteria fakir miskin).
c.         Tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat/maksimal pendidikan dasar).
d.        Isteri yang ditinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah.
e.         Sakit sehingga tidak mampu bekerja.
6.         Korban Tindak Kekerasan
Wanita yang terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya.
Indikator :
a.         Wanita usia 18–59 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah.
b.        Tidak diberi nafkah atau tidak boleh mencari nafkah.
c.         Diperlakukan secara keras, kasar dan kejam (dipukul, disiksa) dalam keluarga.
d.        Diancam secara fisik dan psikologis (diteror, ditakut-takuti, disekap) dalam keluarga atau di tempat umum.
e.         Mengalami pelecehan seksual (di kantor, di RT, di tempat umum antara lain diperkosa atau dipaksa menjual diri/dieksploitir).
7.         Lanjut Usia Telantar
Setiap orang berhubung lanjut usia (60 tahun keatas) tidak mempunyai/berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupan sehari-hari. (UU Nomor 13 tahun 1998).Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.
Indikator :
a.         Usia 60 tahun ke atas (laki-laki/perempuan).
b.        Tidak sekolah/tidak tamat/tamat SD.
c.         Makan 2 x  perhari.
d.        Makan-makanan berprotein tinggi  (4 sehat  5 sempurna)
e.         Pakaian yang dimiliki kurang dari 4 stel.
f.         Tempat tidur tidak tetap.
g.        Jika sakit tidak mampu berobat ke fasilitas kesehatan.
h.        Ada atau tidak ada keluarga, sanak saudara atau orang lain yang mau dan mampu mengurusnya.
8.         Penyandang Cacat
Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan   secara   layaknya   yang  terdiri dari ; a. Penyandang cacat fisik, b. Penyandang cacat mental, dan c. Penyandang cacat fisik dan mental (UU Nomor 4 tahun 1997).
a.        Penyandang Cacat Fisik
1)        Penyandang Cacat Tubuh
Seseorang yang menderita kelainan pada tulang dan atau sendi anggota gerak dan tubuh, kelumpuhan pada anggota gerak dan tulang, tidak lengkapnya anggota gerak atas dan bawah, sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
Indikator :
a)         Anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki.
b)        Cacat tulang/persendian.
c)         Cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki.
d)        Lumpuh.
2)      Penyandang Cacat Mata  (Tuna Netra)
Seseorang yang buta kedua matanya atau kurang awas (low vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
Indikator :
a)         Buta total (buta kedua mata).
b)        Masih mempunyai sisa penglihatan atau kurang awas (low vision).
3)        Penyandang Cacat Rungu/Wicara
Seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.


Indikator :
a)         Tidak dapat mendengar atau memahami perkataan yang  disampaikan pada jarak 1 meter tanpa alat bantu dengar.
b)        Tidak dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat dimengerti).
c)         Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
b.        Penyandang Cacat Mental.
Seseorang yang menderita kelainan mental/jiwa sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
Penyandang Cacat Mental terdiri dari  :
1)        Penyandang Cacat Mental Eks Psikotik
a)         Eks Penderita penyakit gila.
b)        Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku.
c)         Sering mengganggu orang lain.
2)        Penyandang Cacat Mental Retardasi
a)         Idiot   : kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 2 tahun, wajahnya terlihat seperti wajah dungu.
b)        Embisil : kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 3-7 tahun.
c)         Debil   : kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 8-12 tahun.
3)        Penyandang Cacat Fisik dan Mental/Ganda
Seseorang yang menderita kelainan fisik dan mental sekaligus atau cacat ganda seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
9.         Tuna Susila
Seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
Indikator :
a.         Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18 – 59 tahun.
b.        Menjajakan diri di tempat umum, di lokasi atau tempat pelacuran (bordil) dan tempat terselubung (warung remang-remang, hotel, mall dan diskotik).



10.  Pengemis
Orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan  belas kasihan orang lain.
Indikator :
a.         Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.
b.        Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.
c.         Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.
d.        Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya.
11.  Gelandangan
Orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
Indikator :
a.         Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.
b.        Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.
c.         Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas dan lain-lain.
12.  Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK)
Seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara normal
Indikator :
a.         Usia 18 tahun sampai usia dewasa.
b.        Telah selesai atau segera keluar dari penjara karena masalah pidana.
c.         Kurang diterima/dijauhi atau diabaikan oleh keluarga dan masyarakat.
13.  Korban Penyalahgunaan NAPZA
Seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras di luar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.

Indikator :
a.         Usia 10 tahun sampai usia dewasa.
b.        Pernah menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras, yang dilakukan sekali, lebih sekali atau dalam taraf coba-coba.
c.         Secara medik sudah dinyatakan bebas dari ketergantungan obat oleh dokter yang berwenang.
14.     Keluarga Fakir Miskin
Orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. (PP No. 42 tahun 1981).
Seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
Indikator :
a.         Seorang kepala keluarga usia 18-59 tahun.
b.        Penghasilan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan seperti tercermin dari tingkat pengeluaran perbulan, yaitu Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,- untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan. 
c.         Tingkat pendidikan pada umumnya rendah : tidak tamat SLTP, tidak ada ketrampilan tambahan.
d.        Derajat kesehatan dan gizi rendah.
e.         Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK.
f.         Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya.
g.        Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan  kemasyarakatan.
h.        Akses informasi terbatas (baca koran, radio).
15.     Keluarga Berumah Tidak Layak Huni
Keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial.
a.    Kondisi Rumah :
1)        Luas lantai per kapita kota < 4m2, desa < 10 m2.
2)        Sumber air tidak sehat, akses memperoleh air bersih terbatas.
3)        Tidak mempunyai akses MCK.
4)        Bahan bangunan tidak permanen atau atap/dinding dari bambu, rumbia.
5)        Tidak memiliki pencahayaan matahari dan ventilasi udara.
6)        Tidak memiliki pembagian ruangan.
7)        Lantai dari tanah dan rumah lembab atau pengap.
8)        Letak rumah tidak teratur dan berdempetan.
9)        Kondisi rusak.
b.    Kondisi Lingkungan :
1)        Lingkungan kumuh dan becek.
2)        Saluran pembuangan air tidak memenuhi standar.
3)        Jalan setapak tidak teratur.
c.    Kondisi Keluarga :
1)        Kebanyakan keluarga miskin usia 18-59 tahun, pengeluaran biaya hidup tidak melebihi Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,- untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan.
2)        Kesadaran untuk ikut serta memiliki dan memelihara lingkungan pada umumnya rendah (ikut bersih kampung, ikut kerja bakti, membuang sampah sembarangan di sungai).
16.     Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis
Keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya terutama hubungan antara suami isteri kurang serasi, sehingga tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
Indikator :
a.         Suami atau isteri sering tanpa saling memperhatikan atau anggota keluarga kurang berkomunikasi.
b.        Suami dan isteri sering saling bertengkar, hidup sendiri-sendiri walapun masih dalam ikatan keluarga.
c.         Hubungan dengan tetangga kurang baik, sering bertengkar, tidak mau bergaul/berkomunikasi.
d.        Kebutuhan anak baik jasmani, rohani maupun sosial kurang terpenuhi.
17.     Komunitas Adat Terpencil
Kelompok orang yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik nasional. (SK Mensos No. 60/HUK/1998).
Kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas.
Indikator :
a.    Hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat lokal dan terpencil.
1)        Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.
2)        Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
3)        Pada umumnya secara geografis terpencil dan relatif sulit dijangkau atau terisolasi.

b.    Kehidupan dan penghidupannya masih sangat sederhana
1)        Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistens (hanya  untuk kepentingan sendiri) belum untuk kepentingan pasar.
2)        Peralatan dan teknologi sederhana, misalnya peralatan rumah tangga.
3)        Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi.
4)        Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
5)        Secara sosial budaya terasing dan atau terbelakang.
18.     Korban Bencana Alam
Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana alam atau musibah lainnya yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Termasuk dalam korban bencana adalah :
a.         Korban bencana gempa bumi tektonik letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami, angin kencang, kekeringan dan kebakaran hutan atau lahan.
b.        Korban kebakaran pemukiman, kecelakaan kapal terbang, kereta api dan lain-lain, musibah industri (kecelakaan kerja), kekacauan atau kerusuhan sosial dan kecelakaan perahu.
c.         Orang terlantar dalam perjalanan seperti orang Indonesia yang terlantar di luar negeri, TKI yang terlantar, pelintas batas, orang-orang Indonesia yang masuk negara lain tanpa izin dan harus dipulangkan ke Indonesia.
d.        Korban wabah penyakit.
Indikator :
a.         Kehilangan tempat tinggal sehingga mereka ditampung sementara atau diasramakan di tempat pengungsian atau menumpang dirumah keluarga/kerabat.
b.        Kehilangan sumber mata pencaharian sehingga mengalami hambatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.
c.         Kehilangan kepala atau anggota keluarga yang merupakan sumber pencari nafkah utama untuk anggota keluarga lainnya.
d.        Kehilangan harta benda.
e.         Kondisi mental kurang stabil, emosional atau stress.
19.     Korban Bencana Sosial atau Pengungsi
Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana sosial atau kerusakan yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Indikator :
a.         Korban musibah, kekacauan atau kerusuhan sosial
b.        Korban wabah penyakit
20.     Pekerja Migran Telantar
Seseorang yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut dan potensial mengalami permasalahan sosial.
Indikator :
Orang terlantar dalam perjalanan seperti orang Indonesia yang terlantar di luar negri, TKI yang terlantar, pelintas batas, orang-orang Indonesia yang masuk negara lain tanpa izin dan harus dipulangkan ke Indonesia.
21.     Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
ODHA adalah seseorang yang dengan rekomendasi profesional/petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS).
22.     Keluarga Rentan
Keluarga Rentan adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Adalah keluarga yang masih berkategori tidak bermasalah, namun jika tidak diberdayakan melalui bimbingan sosial akan mengalami masalah tertentu. Keluarga rentan tersebut berada pada batas marginal dan menjadi rentan terhadap masalah sosial lainnya.