Kamis, 28 Februari 2013

Konsep/Teori yang Relevan dengan Berbagai Masalah Kesejahteraan Sosial



Konsep/Teori yang Relevan dengan Berbagai Masalah Kesejahteraan Sosial
        Ilmu pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kesejahteraan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari individu yang bermasalah sosial berarti mereka belum dapat dikatakan sejahtera dalam bidang kesejahteraan sosialnya. Berkaitan dengan masalah-masalah di bidang kesejahteraan sosial, maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian pekerjaan sosial, masalah sosial, dan juga tentang kesejahteraan sosial.
Pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang mempunyai bidang garapan tersendiri. Berbeda dan lain halnya dengan profesi lain seperti psikolog, dokter, dan sosiolog. Ada beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli, yaitu :
a           Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional untuk membantu seseorang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka. Pekerjaan sosial juga dapat dikatakan sebagai institusi sosial, profesi pelayanan manusia serta seni praktek yang ilmiah dan teknis (Max Siporin dalam Dwi Heru Sukoco, 1995)
b           Pekerjaan sosial menekankan pada interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya yang mempengaruhi kemampuan orang untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya, meringankan stress, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilainya (Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Achlis, 1986)
c           Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan pribadi dan sosial (Walter  A. Friedlander dalam Syarif Muhidin, 1982)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial (social functioning) seseorang melalui pemecahan/intervensi masalah yang dihadapinya.
Masalah atau problema adalah perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang diharapkan) dengan das sein (yang nyata, yang terjadi). Dengan kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal dan real (Abu Huraerah, 2008), menurut Horton dan Leslie dalam Suharto (2000) ”masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang yang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan aksi sosial secara kolektif.”

Parillo yang dikutip Edi Suharto (2005) dalam ”Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,” empat komponen dalam memahami pengertian masalah sosial, yaitu :
a.         Masalah itu bertahan untuk suatu periode tertentu.
b.         Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental, baik pada individu maupun masyarakat.
c.         Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.
d.        Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.
Lebih lanjut dijelaskan tentang karakteristik dari masalah sosial antara lain :
a.       Masalah adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan ; suatu masalah sosial baru dikatakan masalah, apabila kondisi yang dirasakan tidak sesuai harapan masyarakat.
b.      Kondisi sosial yang dinilai tidak menyenangkan ; penilaian masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial, sementara ukuran baik buruk sangat tergantung pada nilai atau norma yang dianut masyarakat.
c.       Masalah sosial adalah perilaku atau keadaan kompleks yang akibatnya berpengaruh pada membahayakan kesejahteraan orang banyak (umum) serta dapat mengganggu kestabilan masyarakat, norma, adat istiadat, norma dan kepercayaan masyarakat.
d.      Kondisi yang menuntut pemecahan. Bagaimana pun beratnya suatu masalah sosial, pasti membutuhkan pemecahan secara kolektif sesuai dengan kebutuhan permasalahan, atau pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif.
Masalah sosial merupakan gejala-gejala sosial yang tidak diinginkan akibat ketidakberfungsian dari unsur-unsur masyarakat yang menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah masyarakat dan problema sosial adalah dua macam persoalan dalam masalah sosial. Timbulnya masalah sosial adalah dari kekurangan dalam diri manusia kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis dan kebudayaan. Sehingga setiap masyarakat mempunyai norma yang berhubungan dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, mental serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial.
Ada beberapa definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli, yaitu :
a.         Menurut Walter A. Friedlander, 1961 dalam Pengantar Kesejahteraan Sosial oleh Drs. Syarif Muhidin, Msc. “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.”
b.         Menurut Dwi Heru Sukoco, 1995 dari buku Introduction to Social Work Practice oleh Max Siporin. “Kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi sosial yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup.”
c.         Kesejahteraan sosial adalah sebuah sistem yang meliputi program dan pelayanan yang membantu orang agar dapat memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sangat mendasar untuk memelihara masyarakat (Zastrow, 2000).
d.        Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat (Suharto, 2005).
Setelah membaca beberapa definisi tentang kesejahteraan sosial di atas di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan  sosial adalah suatu tindakan yang mengarah kepada kondisi sosial masyarakat yang menjamin kehidupan masyarakat dalam lingkungan untuk hidup dengan rasa nyaman, aman, dan tentram untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pembangunan pun merupakan suatu konsep yang relevan dengan pemecahan permasalahan sosial. Pembangunan juga harus memperhatikan berbagai aspek-aspek sosial dan ekonomi penduduk, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2003) dalam Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial :
Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan.

Pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat sebaik-baiknya dalam upaya menciptakan suatu kondisi tata kehidupan sosial yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga memungkinkan setiap warga masyarakat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya secara layak bagi individu, keluarga maupun masyarakat.
Arah pembangunan kesejahteraan sosial adalah seperti yang tertuang di bawah ini :
a.       Pencegahan, mencakup kegiatan mencegah timbul, meluas serta kambuhnya permasalahan baik dalam kehidupan perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
b.      Rehabilitasi, merupakan proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk memungkinkan para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
c.       Pengembangan, merupakan upaya pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosial para PMKS melalui penggalian dan pendayagunaan potensi dirinya.
d.      Penunjang, merupakan fungsi pendorong dan pendukung yang turut menentukan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan kesejahteraan sosial  dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS), yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam menjalani fungsi sosialnya, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan sosial.
Tujuan Pembangunan Kesejahteraan Sosial (PKS) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup:
a.         Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
b.         Peningkatan keberdayaan melalui penepatan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
c.         Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.

Pemberdayaan Masyarakat



Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan, Secara konseptual pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat diubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Sebagaiman pendapat Edi Suharto, Pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal :
a.    Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.
b.    Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.[1][27]
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan, seperti memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan. Tujuan pertama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidak berdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karna kondisi eksternal (misalnya ditindas dari struktur social yang tidak adil).
Untuk mengetahui focus dan tujuan pemberdayaan secara oprasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikosentrasikan pada aspek-aspek apasaja dari sasaran perubahan (misalnya pemberdayaan keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Menurut Kieffer, Pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kopetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Suharto, Parsons et.al. Juga Mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada:

a.    Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
b.    Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri orang lain.
c.    Pemberdayaan yang dihasilkan dari sebuah gerakan social, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur- struktur yang masih menekan.[2][28]

Adapun strategi pemberdayaan menurut; Parsons et.al. Meyatakan bahwa “proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif.”[3][29] Menurutnya tidak ada literature yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan masyarakat dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri masyarakat, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan social dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi inipun tetap berkaitan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan masyarakat dengan sumber atau system lain dari luar dirinya. Dalam kontek pekerjaan social, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga arus atau matra pemberdayaan (empowerment setting):

a.    Aras Mikro.
Pemberdayaan dilakukan terhadap masyarakat secara individu melalui bimbingan, konsling, stress management, krisis intervention, Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih masyarakat dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan.
b.    Aras Mezzo.
Pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasa digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap masyarakat agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
c.    Aras Makro.
Pendekatan ini disebut juga sebagai strategi system besar (large-system strategi), karna sasaran perubahan diharapkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan social, kampanye, aksi social, perorganisasian masyarakat.[4][30]


[1][27] Ibid
[2][28] Ibid
[3][29] Ibid
[4][30] Ibid

Kemiskinan

Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. SMERU, misalnya menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri:

1.    Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (papan, sandang, pangan).
2.    Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3.    Ketiadaan jaminan masa depan (karna tiada investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4.    Kerentanana terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal.
5.    Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
6.    Ketida kterlibatan dalam kegiatan social masyarakat.
7.    Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharia yang berkesinambungan.
8.    Ketidakmampuan untuk berusaha karna cacat fisik maupun mental.
9.    Ketidak mampuan dan ketidak beruntungan social (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).[1][24]


Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat juga digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Adapun dimensi kemiskinan menurut Edi Suharto; menyangkut beberapa aspek-aspek sebagai berikut:



1.    Aspek ekonomi
Secara ekonomi, kemiskinan dapat di difinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat di gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
2.    Aspek Politik
Kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertiaan ini mencakup tatanan system politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar terhadap pertanyaan ini, yaitu:
a.    Bagaimana orang dapat memampaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat,
b.   Bagaimana orang turut ambil bagian dalam dalam pembuatan keputusan penggunaan sumber dana yang tersedia,
c.    Bagaiman kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan kemasyarakatan.
3.    Aspek social-psikologis
Kemiskinan secara social-psikologis menunjukkan pada kekurangan jaringan dan struktur social yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.[2][25]

Paradigma kemiskinan. Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak ummat manusia ada. Hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan. Strategi penangulangan kemiskinan masih harus terus menerus dikembangkan. Bila dipetakan, literatur mengenai kebijakan sosial dan pekerjaan sosial menurut Edi Suharto, menunjukkan dua pradigma seperti tabel berikut:[3][26]

PRADIGMA
Neo-Liberal
Demokrasi-Sosial
Landasan Teoritis
Individual
Struktural
Konsep dan indicator kemiskinan
Kemiskinan Absolut
Kemiskinan Relatif
Penyebab Kemiskinan
Kelemahan dan pilihan-pilihan individu; lemahnya pengaturan pendapatan; lemahnya kepribadiaan (malas, pasrah, bodoh).
Ketimpangan struktur ekonomi dan politik; ketidak adilan sosial
Strategi penanggulangan kemiskinan
§  Penyaluran pendapatan terhadap orang miskin secara selektif.
§  Member pelatihan keterampilan pengelolaan keuangan melalui inisiatif masyarakat dan LSM.
§  Penyaluran pendapatan secara universal
§  Perubahan fundamental dalam pola-pola pendistribusian pendapatan melalui Negara dan kebijakan social.



[1][24] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan social dan Pekerjaan Sosial, Cet .3, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2009), hal. 132
[2][25] Ibid
[3][26] Ibid