BAB I
Pendahuluan
I.
1 Latar belakang
Keberadaan
demokrasi dan birokrasi dalam suatu negara merupakan sebuah keniscayaan.
Hubungan maupun peranan antara keduanya sangat dekat dan runut. Secara
sederhana hubungan antara birokrasi dan demokrasi bisa digambarkan sebagai
berikut: Sistem politik dengan alur input-proses-output merupakan ranah
demokrasi sebagai legislatif. Setelah melalui proses politik dihasilkanlah
sebuah kebijakan, kemudian birokrasi sebagai lembaga eksekutif bertugas
menjalankan kebijakan tersebut.
Dari uraian
diatas dapat dilihat bahwa terdapat pemisahan tegas antara birokrasi dan
demokrasi. Demokrasi sebagai pembuat kebijakan dan birokrasi sebagai pelaksana
kebijakan tersebut.
Meskipun
terdapat pemisahan tegas, kenyataan di lapangan memperlihatkan lain. Terjadi
kekaburan fungsi dan peran antara birokrasi dan demokrasi. Dalam Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma Eva Etzioni membahas mengenai dikotomi birokrasi demokrasi. Eva Etzioni
(1983: 85-98) menawarkan tiga tesis mengenai hubungan antara kekuasaan
birokrasi dan dilema demokrasi. Tesis pertama mengatakan bahwa bureaucracy
generates a dilemma for democracy. Dalam tulisan tersebut Etzioni meyakini
bahwa demokrasi akan efektif jika birokrasi dibuat kuat dan independen, tetapi
dia mengingatkan bahwa kebutuhan tersebut akan berakibat birokrasi terlepas
dari kontrol para politikus jika tidak didahului oleh reform yang memadai dan
serius. Tesis kedua Etzioni tidak kalah penting untuk, yakni democracy
generates a dilema for bureaucracy. Etzioni menyatakan bahwa dalam demokrasi,
birokrasi diikat oleh dua hal. Pertama, dikendalikan oleh eksekutif meskipun
dia harus bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukannya sendiri. Kedua,
dia harus menjalankan kebijakan yang diambil para politikus meskipun dia harus
berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Tesis ketiga yakni
“These dielmmas exacerbate strains and power struggles on the political scene”.
Reformasi administrasi harus mengimbangi besarnya kekuatan birokrasi.
Lebih
lanjut dapat dijelaskan pada hubungan pemerintah dan DPR dalam proses pembuatan
sebuah kebijakan. Birokrasi diartikan sebagai pemerintah, demokrasi diartikan
sebagai parlemen yang mewakili rakyat yaitu DPR. DPR bersama presiden sebagai lembaga yang
berwenang membuat undang-undang. Kemudian pemerintah dengan jajaran kementerian
dan departemennya menjalankan setiap kebijakan (UU) yang dihasilkan oleh DPR.
Namun
pentingnya tugas dan fungsi DPR ini tidak diimbangi dengan sumber daya yang
memadai, terutama sumber daya manusia. Masing-masing orang yang duduk di DPR
tidak bisa dipastikan sebagai orang yang berkompeten pada bidang-bidang yang
diwakilinya. Latar belakang ‘orang partai’ mewarnai bursa kursi yang ada di
DPR. Kurangnya keahlian dan pengetahuan akan keadaan lapangan menyebabkan
perumusan sebuah kebijakan terkesan lamban dan ‘asal jadi’.
Materi
(draft) undang-undang itu sendiri seringkali diserahkan secara penuh kepada
departemen terkait. Hal seperti ini akan mengakibatkan birokrasi yang terlalu
mendominasi. Baik pembuatan kebijakan ataupun pelaksanaanya menjadi
tanggungjawab satu lembaga saja yaitu pemerintah-birokrasi. Birokrasi yang
sangat kuat akan mengakibatkan birokrasi tidak terkontrol oleh demokrasi.
Walaupun demokrasi itu sendiri akan efektif jika birokrasi kuat dan independen.
[1]
Kondisi seperti ini akan menyebabkan ambiguitas birokrasi demokrasi dan dapat
mengakibatkan ketegangan antara keduanya.
Mitra kerja
DPR memanglah pemerintah, tetapi kondisi dimana wakil rakyat tidak diisi oleh
orang-orang yang kompeten harus segera ditindaklanjuti.
I.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan kebijakan
undang-undang pelayanan publik ?
2. Bagaimana
proses pembuatan kebijakan undang-undang
pelayanan publik ditinjau dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku ?
3. Bagaimana peran birokrasi, dalam hal ini
kementerian pemberdayaan aparatur negara, dalam proses pembuatan kebijakan ?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui proses pembuatan kebijakan
2. Mengetahui
proses pembuatan undang-undang pelayanan publik ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Mengetahui peran birokrasi dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik
4. Sebagai prasayarat kelulusan mata kuliah
BAB II
Kerangka Teori
II.1.
Batasan Mengenai Birokrasi
Teori Birokrasi menurut
Weber
Weber sendiri tidak pernah mendefinisikan birokasi. Yang
dilakukan Weber ialah melakukan konseptualisasi sejarah dan menyajikan
teori-teori umum dalam bidang sosiologi. Diantaranya yang paling menonjol ialah
teori mengenai birokrasi sehingga apabila kita membahas birokrasi, maka kita
tidak lepas dari teori Weber mengenai birokrasi.
Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis
ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang
dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi patrimonial
merupakan tipe birokrasi yang tergantung pada pejabat-pejabat tidak bebas dari
pada orang-orang yang diangkat berdasarkan kontrak. Jelas sekali bahwa instrik
dalam pengertian birokrasi patrimoni ialah adanya sekelompok pejabat.
Karakteristik Birokrasi
Weberian
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak
rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan
Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak
mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber
kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah
birokrasi. Maka dari itu, terkenal
sekali Weber dalam konsepnya mengenai birokrasi yang ideal (ideal thypus) bagi
sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu struktur yang akan menjadi
contoh semua sifat utama dari suatu tata administrasi yang diperhitungkan untuk memenuhi sebaik mungkin fungsi-fungsi
struktur semacam itu dalam suatu organisasi. Karakteristik
structural tersebut ialah:
1. Aturan-aturan yang disahkan, regulasi,
dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam
pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah
dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.
2. Spesialisasi peran anggota organisasi
memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas
pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang
rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat
ditingkatkan.
3. Hierarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran
kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara
individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota
organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
4. Pekerjaan personil berkualitas
didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk
melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus
mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang
berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi
perusahaan.
5. Mampu tukar personil dalam peran
organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat
diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan
pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota
organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
6. impersonality dan profesionalisme dalam
hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke
dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus
berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan
sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas
organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota
organisasi individu.
7. Uraian tugas yang terperinci harus
diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan
tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang
keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
8. Rasionalitas dan predictability dalam
aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan
stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan
dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan
Weber
juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, dimana pemimpin mempraktekan
kontrol atas bawahan. Sistem birokrasi menekankan pada aspek “dispilin”. Sebab
itu,Weber juga memasukan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Dikatakan legal karena tunduk pada aturan-aturan
tertulis dan dapat disimak oleh siapapun juga. Rasional, karena dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan
sebab-akibatnya. Weber memandang birokrasi rasional sebagai suatu unsur utama
didalam rasionalisasi modern, yang baginya merupakan proses sosial yang
terpenting diantara semua proses sosial. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan
atas setiap kekuasaan yang ada dalam birokrasi, yang melputi:
1.
Kolegialitas, ialah suatu prinsip
pelibatan orang lain dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini Weber mengakui
bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun,
prinsip ini dapat diterapkan untuk mencegah korupsi kekuasaan.
2.
Pemisahan kekuasaan. Berasti
pembagian tanggung jwab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih.
Misalnya saja, untuk menyepakati naggaran negara, perlu keputusan bersama
antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah
stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
3.
Administrasi Amatir, dibutuhkan
tatkala pemerintah tidak mempu membayar untuk mengerjakan tugas birokrasi. Misalnya, KPU “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap
TPS, maka ibu-ibu rumah tangga dapat diberi kesempatan untuk membantu
menghitung dan diberi honor.
4.
Demokrasi langsung. Hal ini
berguna dalam mebuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya,
Gubernur Bank Indoneia, meskipun prerogative diangkat oleh Presiden, tetapi
terlebih dahulu harus ada fit and proper test oleh DPR guna ada rasa tanggunga
jawab kepada rakyat.
5.
Representasi. Representasi
didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya.
Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi
kineja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa
anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang
mengenai birokrasi sangat dipengarui oleh pandangan-pandangan Max Weber. Dengan
modifikasi dan penolakan atas pandangan Weber, anaisis birokrasi mereka
lakukan.
Dalam
pembahasan makalah ini akan digunakan batasan birokrasi yaitu berdasarkan sisi pelaksana Birokrasi sektor
publik juga berdasarkan dalam arti sempit yaitu birokrasi
eksekutif
II. 2. Teori demokrasi
Cara pandang tentang demokrasi dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan sejalan dengan semakin kompleksnya hubungan antar warga. Kata
demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “demos” dan “kratein”.
Definisi yang paling singkat tentang demokrasi adalah apa yang diucapkan
oleh Abraham Lincoln diGettysburg, Pensylvania, Arnerika Serikat tahun 1863
yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Hingga saai ini,
definisi ini terus digunakan dan berujung kepada dua pola makna, yaitu konsep
bentuk negara (pemerintahan) dan konsep sistem nilai dari penyelenggaraan
negara atau pemerintahan.[2]
Demokrasi dianggap sebagai suatu nilai yang tidak bisa dilepaskan dari
bentuk Negara ( pemerintahan). Nilai- nilai dalam demokrasi harus dapat
dikedepankan, agar Negara dapat berjalan efektif. Pada dasarnya sasaran dari
demokrasi adalah kepentingan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dapat
terjamin dalam kehidupan Negara.
Menurut Juan J linz,
ada beberapa kriteria demokrasi atau nilai-nilai yang ada dalam demokrasi, yaitu
1. Kebebasan hukum untuk merumuskan
dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai, bebas
berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap
orang, diwujudkan dengan adanya kebebasan mendirikan partai-partai politik
sebagai penyalur aspirasi rakyat.
2. Persaingan yang bebas dan anti
kekerasan di antara para pemimpin dengan kebebasan periodik bagi mereka untuk
memegang pemerintahan, diwujudkan dengan menyelenggarakan pemilu yang bebas dan
jujur pada jangka waktu tertentu.
3. Dimasukkannya seluruh jabatan
politik yang efektif di dalam proses demokratis; dan hak untuk berperan serta
bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan politik mereka.
Menurut linz, nilai-nilai demokrasi diatas dapat
dicapai atau suatu Negara dapat menuju suatu kondisi demokrasi dengan syarat kekuatan-kekuatan
pemerintah dan non-pemerintah sama-sama tunduk pada undang-undang dan terbiasa
dengan upaya pemecahan konflik di dalam batas-batas undang-undang, prosedur,
dan institusi tertentu yang ditetapkan melalui proses yang demokratis.[3]
Selain nilai-nilai diatas demokrasi juga diartikan sebagai adanya
kontrol yang efekti oleh warga Negara terhadap kebijakan pemerintah. Menurut
David Held ada tujuh prinsip utama penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi
yaitu:
1. Masyarakat harus
memerintah dalam arti semua harus terlibat dalam membuat undang-undang,
memutuskan kebijaksanaan umum dan melaksanakan hukum.
2. Masyarakat secara
perseorangan harus terlibat dalam pembuatan keputusan yang penting dalam arti
memutuskan hukum-hukum publik dan masalah-masalah kebijaksanaan umum.
3.Para
penguasa berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakanya kepada
masyarakat.
4. Para
penguasa harus bertanggung jawab kepada perwakilan dari masyarakat.
5. Para
penguasa harus dipilih oleh masyarakat.
6. Para
penguasa dipilih melalui representatif/perwakilan dari masyarakat.
7. Para
penguasa harus bertindak sesuai dengan kepentingan masyarakat.[4]
Oleh karena itu, dalam suatu Negara hukum
yang demokratis, penyelenggaraan pemerintahan harus senantiasa berprinsip
kepada tujuh prinsip diatas. Salah satunya adalah harus terciptanya kebebasan
berpartisipasi yang luas bagi masyarakat dalam hal politik,dimana didengarnya
aspirasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan yang dilakukan oleh penguasa.
Tesis Dilema Kekuasaan Birokrasi dalam
Demokrasi
(Eva Etzioni)
(Eva Etzioni)
• Tesis pertama
mengatakan bahwa “Bureaucracy generates a dilemma for democracy”.
Demokrasi akan
efektif jika birokrasi dibuat kuat dan independen, tetapi dia mengingatkan
bahwa kebutuhan tersebut akan berakibat birokrasi terlepas dari kontrol para
politisi jika tidak didahului oleh reform yang memadai dan serius.
Birokrasi dapat
memiliki kehendak sendiri di tengah gencarnya demokratisasi yang dilakukan oleh
sebuah negara bangsa. “Bureaucracy also poses a threat to democracy in
that it has increasingly gained the potential to exempt itself from the control
of elected politicians and to infringe on their domain.”
•
Tesis kedua Etzioni tidak kalah penting perlu
dicermati terkait dengan penyelsaian tesis pertama yakni, “Democracy
generates a dilemma for bureaucracy”.
Etzioni
menyatakan bahwa dalam demokrasi, birokrasi diikat oleh dua hal: pertama,
dikendalikan oleh eksekutif meskipun dia harus bertanggungjawab terhadap
hal-hal yang dilakukannya sendiri; kedua, dia harus menjalankan kebijakan yang
diambil para politisi meskipun dia harus berpartisipasi dalam proses perumusan
kebijakan tersebut.
Intinya
birokrasi adalah alat yang diharapkan harus mampu menempatkan diri dengan baik
dan berkualitas sesuai kebijakan yang diambil para politisi. “The dilemma of bureaucracy in a
democracy, as expressed in the ambiguities and contradictions built into
bureaucracy’s role definition.”
•
Tesis ketiga Etzioni menjadi pembuka pentingnya reformasi administrasi
yakni “These dilemmas exacerbate strains and power struggles on the
political scene.”
Etzioni
meyakini bahwa demokrasi akan efektif jika birokrasi dibuat kuat dan
independen, tetapi dia mengingatkan bahwa kebutuhan tersebut akan berakibat
birokrasi terlepas dari kontrol para politisi jika tidak didahului oleh reform
yang memadai dan serius.
Birokrasi dapat
memiliki kehendak sendiri di tengah gencarnya demokratisasi yang dilakukan oleh
sebuah negara bangsa. [5]
II.3. Kebijakan publik
Penyelenggaran pemerintahan yang
mana dalam hal ini dilakukan oleh birokrasi eksekutif senantiasa dilakukan
melalui kebijakan publik. Proses pembuatan kebijakan publik dalam Negara
demokrasi yang konstitusional harus dapat melibatkan masyarakat luas ( public )
sebagai pihak yang sangat dipengaruhi dan menjadi objek kebijakan ini.[6]
Kebijakan publik merupakan suatu
yang kompleks dan dinamis. Suatu kebijakan akan dibuat
oleh pemerintah apabila muncul suatu permasalahan yang harus diselesaikan.
Kebijakan sangat memperngaruhi kehidupan publik.
Definisi mengenai kebijakan
public menurut sejumlah ilmuwan politik sebagai berikut (Winarno, 1989):
1. Carl J. Friedrick : “Public
Policy is a proposed course of action af a person, group, or government within
a given environment providing obstacles and opportunities wich the policy was
proposed to utilized and overcome in a effort to reach a goal or relized an
objective or a purposed”. Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap
pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu
2. Thomas R. Dye : “Public
Policy is whatever governments chose to do or not to do”. Kebijakan publik
adalah apa saja yang dpilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak
dilakukan
3. George C. Edwards III dan Ira
Sharkansky : Kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu berupa sasaran
atau tujuan program-program pemerintah
4. James W. Anderson : “Public Policy is a purposive
course of action, followed by an actor or a set of actors in daling with a
problem or metter of concern”. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Meninjau
pendapat sejumlah pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
merupakan keputusan yang diambil pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu hal berkaitan dengan masalah-masalah public di negaranya
berdasarkan pertimbangan atas dampak yang akan muncul dari pelaksanaan
keputusan tersebut.
Kebijakan
publik tersebut nantinya akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang
dijalankan oleh birokrasi pemerintah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan serta
petunjuk teknis yang berlaku. Kebijakan publik yang ada pada negara modern
menjadikan pelayanan publik sebagai fokus utamanya, yang merupakan segala
bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada
prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak (Wikipedia,
2008).
Tahap-Tahap
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik
dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
- Agenda Setting è Identifikasi permasalahan, menelaah lebih jauh isu yang ada di masyarakat
Tahap
ini dipengaruhi oleh dua hal yakni persepsi
serta kemampuan diagnosis
stakeholders, semakin tepat persepsi serta semakin tinggi kemampuan
mendiagnosis para pengambil keputusan, maka akan semakin efektif solusi yang
dapat dihasilkan. Hal yang dapat dilakukan untuk menghasilkan solusi yang lebih
efektif antara lain[7] :
o
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang digunakan untuk mengevaluasi alternatif
o
Menggunakan bantuan decision
support system (DSS)
o
Menggunakan intuisi sebagai
refleksi dari tacit knowledge mereka
- Skala prioritas è menetapkan prioritas atas masalah-masalah publik (isu) tersebut berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki
- Formulasi kebijakan è merumuskan rekomendasi para stakeholder. Rancangan-rancangan kebijakan yang telah diajukan selanjutnya diseleksi dan diolah menjadi suatu rumusan kebijakan. Proses ini merupakan tahap yang paling menentukan keberhasilan kebijakan karena jika perumusan tersebut kurang tepat dan atau kurang komprehensif, maka kebijakan yang dihasilkan nantinya akan sulit diimplementasikan.
- Legitimasi kebijakan è pengesahan atas rancangan kebijakan yang telah disusun
- Pelaksanaan/implementasi kebijakan è Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2007) menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Tahapan ini sangat lah krusial karena sebaik apa pun kebijakan yang dibuat, jika tidak dilaksanakan secara maksimal, maka tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut akan sulit tercapai. Kebijakan yang ada hanya sebatas peraturan dalam kertas yang tidak terealisasi.
- Evaluasi kebijakan è pada tahap ini, dilakukan penilaian secara menyeluruh atas kebijakan yang telah dilaksanakan apa kah telah sesuai dengan sasaran yang dituju atau tidak. Evaluasi dilakukan untuk melihat kesenjangan yang ada antara harapan dengan kenyataan, kemudian diupayakan perbaikan atas kekurangan tersebut. Penilaian ini dilakukan oleh pemerintah, konsultan luar, pers, serta masyarakat secara umum.
Menurut
Moore, terdapat 3 klasifikasi
aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan public, yakni:
1. Actor Publik
Actor public mencakup lembaga eksekutif serta lembaga legislative. Pada lembaga
eksekutif, para menteri yang berada di bawah presiden memiliki peran yang
penting berkaitan dengan proposal kebijakan, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) selaku lembaga legislative memiliki fungsi pokok melegitimasi sebuah
rancangan kebijakan yang diajukan lembaga eksekutif.
2. Actor Privat
Elemen yang menjadi actor privat ialah pressure and interest
group ( kelompok penekan dan kelompok kepentingan), seperti halnya asosiasi
ekonomi, himpunan tani, atau bank swasta. Mereka yang ada pada sector ini
terlibat dan terkorelasi dalam upaya memengaruhi proses pembuatan kebijakan
3. Actor masyarakat (civil society)
Actor pada komunitas sipil meliputi banyak pihak baik yang
berupa asosiasi maupun masyarakat secara umum, contohnya LSM, RT, RW.
Aspek-aspek yang
memengaruhi birokrasi Indonesia
dalam proses pembuatan kebijakan (policy making):
1.
Pengaruh kebijakan lama
Adanya
kecenderungan pada para birokrat untuk melihat kebijakan yang lama dan
mengambil point-point pada kebijakan lama tersebut.
2. Pengaruh
sifat personal para birokrat
Tiap
individu memiliki sifat yang berbeda-beda, demikian hal nya dengan para
birokrat sebagai pelaku aktivitas birokrasi. Mereka memiliki watak yang berbeda
satu sama lain dan watak tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi cara bertindak mereka
3. Pengaruh
kelompok luar
Adanya
pengaruh dari kelompok-kelompok di luar birokrasi seperti halnya elite politik
dalam Negara tersebut hingga badan keuangan dunia yang turut memengaruhi input
dari kebijakan yang hendak dibuat.
4. Pengalaman
masa lalu
Hal-hal yang terjadi dalam birokrasi turut menjadi
bahan pertimbangan stakeholders dalam mengambil suatu keputusan sehingga
pengalaman buruk yang pernah dialami jangan sampai terulang kembali.
Berdasarkan Teori George C. Edwards III (1980), pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh empat variable yakni :
1. Komunikasi
Keefektifan pelaksanaan
suatu kebijakan sangat lah ditentukan oleh komunikasi yang terjadi antara
aparat pemerintah dengan masyarakat yang menjadi sasarannya, apa kah
penyampaian informasi mengenai tujuan serta dampak pelaksanaan kebijakan
tersebut berjalan dengan baik atau tidak. Media massa selaku penyampai informasi, turut
berpengaruh terhadap aspek ini. Media massa
yang netral dan berimbang akan mampu menyampaikan isi kebijakan tersebut dengan
jelas dan konsisten.
2. Sumber daya
Selain komunikasi,
sumber daya juga sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan, baik
dari segi sumber daya finansialnya, maupun sumber daya manusianya. Diperlukan
sumber daya-sumber daya yang berkualitas dan dalam jumlah yang memadai untuk
menjalankan kebijakan tersebut.
3. Disposisi
Disposisi merupakan
watak atau karakteristik yang dimiliki oleh sesorang, dalam hal ini para
pelaksana kebijakan. Suatu kebijakan dapat berjalan efektif jika pelaksananya
memiliki watak yang baik; bertanggung jawab, disiplin, jujur , dan mengutamakan
kepentingan rakyat sehingga mereka dapat menjalankan amanat tersebut dengan
sebaik-baiknya.
4. Struktur
birokrasi
Dalam dimensi struktur
terdapat tiga aspek yang berpengaruh yaitu aspek kompleksitas , formalitas
serta sentralitas. Birokrasi sebagai organisasi pencipta sekaligus pelaksana
kebijakan harus lah memiliki struktur yang jelas dan diupayakan sesederhana
mungkin. Struktur birokrasi yang kompleks, memiliki banyak cabang secara
vertical dan horizontal akan membuat penerapan kebijakan tersebut berlangsung
lama dan berbelit-belit (kurang efisien), selain itu struktur yang panjang juga
dapat memperlemah pengawasan dari pusat kepada unit pelaksana di bagian bawah.
Terkait aspek formalitas, birokrasi harus lah memiliki standard operating
procedurs (SOP) yang jelas dan terarah agar para pelaksana kebijakan dapat
memahami apa yang harus mereka lakukan dan batasan-batasan mana yang menjadi
cakupan yurisdiksinya.
Bab
III
Pembahasan
III.1.
Gambaran umum UU Pelayanan Publik
Setiap Negara berkewajiban melayani setiap warga negara
dan penduduknya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Termasuk Negara Indonesia yang sudah diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Pelayanan public merupakan pelayanan barang atau jasa public yang
menjadi tanggung jawab dan dilakukan oleh instansi pemerintah guna untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan peratutan perundang-undangan.
Membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik
merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan
seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai
upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk
serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas,
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk
memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan
wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tentang Pelayanan Publik).
Untuk itu pemerintah membuat sebuah Rancangan
Undang-Undang Pelayanan Publik yang bertujuan untuk menciptakan pelayanan
publik yang lebih berkualitas. Selama melalui proses 4 tahun, RUU Pelayanan
Publik disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada siding paripusna,23 Juni
2009, dengan melibatkan seluruh anggota Fraksi DPR. Menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, pelayanan Publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pada dasarnya, pembentukan Undang-Undang Pelayanan
Publik bukan untuk kepentingan pemerintah sendiri, tetapi untuk mendorong
pemerintah agar selalu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan
menerima sanksi apabila terjadi pelanggaran. Hal tersebut yang menjadi tujuan
dari pengesahan Undang-Undang ini yakni, guna menciptakan kualiatas pelayanan
masyarakat yang baik dan menyeluruh sehingga apabila terjadi pelanggaran
terkait dengan pelayanan publik ini akan dikenai sanksi, seperti ganti rugi,
sanksi administratife, perdata, bahkan sanksi pidana.
Pelayanan publik dalam Undang-Undang ini meliputi barang
dan jasa serta pelayanan yang bersifat administratif, seperti pendidikan,
pekerjaan, usaha, tempat tinggal, pariwisata dll. Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan
penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan
usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan
negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Dengan diberlakukannya UU ini, penyelenggara
atau pelaksana pelayanan publik yang tidak melaksanakan pelayanan sesuai dengan
standar,dapat dikenai sanksi. Mulai dari ganti rugi, sanksi perdata,
administratif, dan sanksi pidana.UU Pelayanan Publik juga mempertegas dan
memperluas peranan Komisi Ombudsman sehingga tidak saja memberikan rekomendasi,
tetapi juga bisa melakukan ajudifikasi.Dengan demikian, komisi ini dapat
mendorong terciptanya pelayanan yang memuaskan.[8]
III.2.
Proses pembuatan kebijakan UU Pelayanan Publik
Terdapat beberapa tahapan
dalam pembentukan suatu undang-undang pelayanan publik. Ada pun tahapan yang dimaksud tersebut adalah
:
Materi (draft) awal dihasilkan dari rapat dengar
pendapat yang melibatkan beberapa stakeholder seperti:
1. LSM, masyarakat peduli pelayanan publik
2. Mahasiswa
3. Masyarakat umum
Follow up dari draft tersebut adalah rapat kerja
yang melibatkan kementerian pemberdayaan aparatur negara dan komisi II DPR.
Dalam rapat kerja tersebut dibahas kesesuaian bahasa dan kebutuhan masyarakat
tiap pasalnya.
Proses kemunculan Undang-undang Pelayanan Publik
ini menghabiskan waktu sekitar 4 tahun. Lambannya perumusan undang-undang
pelayanan publik disebabkan oleh beberapa hal:
1.
Perubahan materi draft yang berlangsung terus menerus pada pasal-pasal yang
sudah final. Materi undang-undang seringkali diubah dari pihak pemerintah yaitu
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara.
2.
Komposisi anggota DPR yang membahas undang-undang tiap kali rapat kerja selalu
berubah-ubah. Waktu seringkali terserap pada pengulangan penjelasan
pasal-pasal.
3. Hanya
sedikit anggota yang berpartisipasi aktif dalam pembahasan undang-undang pelayanan
publik.
4.
Pembahasan yang normatif mewarnai rapat kerja membahas RUU Pelayanan Publik.
Pembahasan mengenai subtantif isi RUU jarang terjadi. Seringkali pembahasan
hanya mengenai kesesuaian bahasa, ide-ide baru jarang muncul. Pembahasan
benar-benar didasarkan pada draft pemerintah, bukannya hasil pemikiran bersama.
Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan
pasal-pasal baru yang seharusnya dapat dihasilkan setiap kali rapat kerja tidak
muncul sesuai dengan waktunya. Pada akhirnya undang-undang itu sendiri secara
tidak langsung merupakan hasil pemikiran dari pemerintah saja.
Disinilah thesis pertama Eva Etzioni terlihat,
dimana birokrasi memiliki pengaruh yang sangat besar. Pengaruh tersebut
terlihat dari mulai proses pembuatan kebijakan sampai pada materi undang-undang
itu sendiri.
Adapun untuk teknis menuju disahkannya RUU
pelayanan publik mengikuti alur dari tata cara pembuatan undang-undang dalam
Undang-undang no 10 2004.
.
III.3.
Tata cara pembuatan Undang-undang sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku
Negara kita adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk Negara kesatuan
dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran serta masyarakat
yang luas, serta proses pembuatan kebijakan harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pula. Setiap proses pembuatan kebijakan maupun
peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan secara lebih khusus dan
rinci mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaan program Legislasi Nasional, serta Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
dan Rancangan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa
tahapan dalam pembentukan suatu undang-undang. Ada pun tahapan yang dimaksud tersebut adalah
:
- Tahap Perencanaan
Tahap
perencanaan merupakan tahap awal dalam pembentukan suatu undang-undang. Dalam
tahap perencanaan ini lazimnya ditandai dengan adanya, penyusunan konsepsi
rancangan undang-undang, atau penyusunan naskah akademik, pengharmonisan
konsepsi, dan sertifikasi konsepsi baik melalui program legislasi nasional,
maupun melalui persetujuan izin prakarsa. Pasal 4 Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan bahwa konsepsi dan materi pengaturan
rancangan undang-undang yang disusun harus selaras dengan falsafah negara
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
undang-undang lain, dan kebijakan yang terkait dengan materi yang akan diatur
dalam rancangan undang-undang tersebut.
Keselarasan
yang demikian ini merupakan inti sari dari pengharmonisan suatu rancangan
undang-undang. Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005
menyebutkan bahwa konsepsi suatu rancangan undang-undang berisikan latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan. Sama halnya dengan konsepsi, naskah
akademik merupakan konsepsi rancangan undang-undang juga, tetapi konsepsi
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pensertifikasian
suatu rancangan undang-undang dalam program legislasi nasional hanya dapat
dilakukan apabila rancangan undang-undang tersebut telah dilengkapi dengan konsepsi
atau naskah akademiknya, sebagai alasan teknis rancangan undang-undang untuk
bisa dimasukan ke dalam program legislasi nasional. Di samping itu terdapat
sejumlah kriteria yang dijadikan syarat bagi suatu rancangan undang-undang
untuk dapat dimasukan ke dalam program legislasi nasional.
Persyaratan
tersebut adalah bahwa rancangan undang-undang yang akan disusun merupakan
perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
perintah dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, perintah dari
undang-undang, terdapat dalam daftar program legislasi nasional tahun
2005-2009, dan urgensi rancangan undang-undang. Selain itu dalam keadaan
tertentu pemrakarsa dapat melakukan penyusunan rancangan undang-undang setelah
memperoleh sertifikasi melalui persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Penyusunan rancangan undang-undang berdasarkan sertifikasi persetujuan izin
prakarsa hanya dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut :
·
1.1. menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang;
·
1.2. meratifikasi konvensi
atau perjanjian internasional;
·
1.3. melaksanakan putusan
Mahkamah Konstitusi;
·
1.4. mengatasi keadaan
luar biasa, keadaan konflik, bencana alam; atau
·
1.5. keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan
undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat dan Menteri.
- Tahap Penyusunan
Penyusunan rancangan undang-undang hanya dapat dilakukan apabila rancangan undang-undang tersebut telah disertifikasi baik melalui program legislasi nasional, maupun melalui persetujuan izin prakarsa oleh Presiden.
Setelah
rancangan undang-undang disertifikasi langkah awal yang harus dilakukan oleh
pemrakarsa adalah mebentuk pantia antardepartemen. Keanggotaan panitia
antardepartemen ini merupakan representasi dari instansi pemerintah yang secara
langsung terkait dengan materi yang akan disusun dalam rancangan undang-undang.
Pemrakarsa
dapat mengundang para ahli baik dari lingkungan akademisi, organisasi profesi,
maupun organisasi sosial kemasyarakatan lainnya untuk turut serta dalam
penyusunan rancangan undang-undang. Keikutsertaan wakil dari departemen yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dimaksudkan
untuk melakukan pengharmonisasian rancangan undang-undang dan
teknik perancangan perundang-undangan. Dalam rangka penyempurnaan rancangan
undang-undang pemrakarsa dapat menyebarluaskan rancangan undang-undang kepada
masyarakat.
Hasil
peyebarluasan rancangan undang-undang kepada masyarakat selanjutnya dijadikan
bahan oleh panitia antardepartemen untuk menyempurnakan materi rancangan
undang-undang yang sedang disusunnya. Pemrakarsa selanjutnya menyampaikan
rancangan undang-undang yang telah disusun oleh panitia antardepartemen kepada
masing-masing menteri atau pimpinan lembaga terkait yang menjadi anggota
panitia antardepartemen untuk memperoleh pertimbangan dan paraf
persetujuan.
Dalam
hal pemrakarsa melihat adanya perbedaan di antara pertimbangan yang disampaikan
oleh menteri/pimpinan lembaga, pemrakarsa bersama dengan Menteri menyelesaikan
perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait yang bersangkutan.
Apabila upaya tersebut tidak membuahkan hasil Menteri melaporkan secara
tertulis permasalahan tersebut kepada Presiden untuk memperoleh
keputusan. Perumusan ulang rancangan undang-undang dilakukan oleh pemrakarsa
bersama-sama Menteri.
RUU
yang sudah tidak memiliki permasalahan lagi baik dari substansi maupun dari
segi teknik oleh pemrakarsa diajukan kepada Presiden untuk
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna dilakukan pembahasannya.
- Tahap Pembahasan
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan dalam duat tingkat pembicaraan.
Pembicaraan tingkat kesatu berisikan
agenda penyampaian keterangan pemerintah atas rancangan undang-undang,
penyampaian pandangan dan pendapat fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap rancangan undang-undang, pembahasan materi rancangan undang-undang
berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM), baik dalam forum panitia khusus
(PANSUS), pantia kerja (PANJA), tim perumus (TIMUS), tim sinkronisasi (TIMSIN),
maupun tim kecil (TMCIL).
Sedangkan pembicaraan tingkat kedua berisi
agenda rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, berupa pengambilan keputusan
atas persetujuan rancangan undang-undang untuk dapat disahkan menjadi
undang-undang oleh Presiden.
- Tahap Pengesahan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan rancangan undang-undang kepada Presiden untuk dapat disahkan menjadi undang-undang. Penyampaian rancangan undang-undang oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu tujuh hari, terhitung sejak tanggal dicapainya persetujuan rancangan undang-undang dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya Presiden wajib mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang dengan membubuhi tandan tangannya.
Pengesahan
rancangan undang-undang menjadi undang-undang tersebut dilakukan dalam jangka
waktu tiga puluh hari terhitung sejak disampaikannya Rancangan
undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
Jika
jangka waktu yang telah ditentukan tersebut terlampaui dan ternyata Presiden
belum juga membubuhkan tanda tangannya sebagai indikasi disahkannya rancangan
undang-undang menjadi undang-undang maka rancangan undang-undang tersebut
dianggap sah menjadi undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang
diatur dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
- Tahap Pengundangan
Menteri mengundangkan rancangan undang-undang yang telah disahkan menjadi undang-undang dengan menempatkannya dalam lembaran negara Republik Indonesia. Sedangkan penjelasan undang-undang ditempatkan dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mengetahui kelahiran atau kehadiran suatu undang-undang, sekaligus menandai saat mulai berlakunya undang-undang tersebut beserta kekuatan mengikatnya.
- Tahap Penyebarluasan
Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ada kewajiban bagi pemerintah untuk menyebarluaskan undang-undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui dan memahami maksud yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Penyebarluasan ini dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau media elektronik
Dalam tahap-tahapan diatas tidak
bisa dipungkiri bahwa dapat terjadi masalah-masalah dalam pembuatan
undang-undang tersebut, diantaranya yaitu :
-
Masalah tujuan è
Tujuan pembuatan kebijakan tersebut terkadang
kurang jelas atau bahkan bertentangan satu sama lain.
-
Masalah dalam pemrosesan informasi è Adanya kecenderungan
memfilter informasi yang masuk sehingga
kebijakan yang dihasilkan kurang komprehensif.
-
Pengaruh tekanan dari elite tertentu è Adanya tekanan dari suatu pihak sehingga kebijakan
yang dihasilkan cenderung disesuaikan dengan kepentingan pihak/elite tersebut
-
Masalah dengan maksimalisasi è Adanya
kecenderungan untuk memilih solusi yang cukup memuaskan sejumlah pihak
dibandingkan dengan menghasilkan solusi yang terbaik
III.4. Kesesuaian Proses
Pembentukan UU Pelayanan Publik dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Tercantum dalam Bab I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
(1) Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundangundangan yang
pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
(2) Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden.[9]
Dalam pasal ini terlihat bahwa
tahapan pembuatan kebijakan sama dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam pembentukan UU pelayanan
publik telah dilakukan tahap-tahap seperti yang tercantum dalam UU No. 10
tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
UU Pelayanan publik adalah peraturan
tertulis yang dibentuk oleh Komisi II DPR bekerja sama dengan birokrasi eksekutif
( Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ), lalu selanjutnya disetujui oleh
Presiden.
Dasar hukum yang memperbolehkan
adanya peran birokrasi atau dalam hal ini kementerian terkait dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan tercantum dalam
Bab IV PERENCANAAN PENYUSUNAN
UNDANG-UNDANG
Pasal 16
(1)
Penyusunan Program Legislasi
Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
khusus menangani bidang legislasi.
Dalam hal
ini terlihat, perlu adanya koordinasi yang baik antara DPR dan Pemerintah (
Birokrasi ) dalam proses penyusunan UU, agar tidak tercipta kebijakan (
Undang-undang ) yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Fungsi
DPR sebagai penampung dan penyalur aspirasi publik, seharusnya berinisiatif
terlebih dahulu membuat suatu kebijakan baru. Namun dalam kenyataannya,
birokrasi sebagai aparat pemerintah dan gardu pertama dalam pelayanan publik
kepada masyarakat lebih mengetahui kondisi, keinginan dan kepentingan
masyarakat, sehingga lebih berinisiatif dalam membentuk kebijakan baru guna
segera menyelesaikan masalah terkait penyediaan pelayanan publik. Oleh karena
itu, sangat terlihat jelas begitu pentingnya peran birokrasi dalam pembentukan
suatu kebijakan.
III.5.
Pentingnya Peran Birokrasi dalam
Pembentukan Kebijakan
Dalam
menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan dan amanat rakyat dalam kehidupan
bernegara, birokrasi dalam hal ini pemerintah harus dapat mengakomodasi setiap kepentingan masyarakat.
Hal ini tentu saja memerlukan suatu aturan mengenai apa yang harus pemerintah
lakukan dan yang tidak harus dilakukan, sesuai dengan pendapat dye. Oleh karena
itu, perlu adanya suatu proses pembentukan kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Oleh karena
itu, pentingnya peran birokrasi dalam pembentukan kebijakan, diantaranya :
- Motivator – Birokrat mampu mendorong seluruh komponen masyarakat untuk turut serta dalam pembangunan.
- Modernisator – Birokrat mampu menyeleksi norma-norma yang usang dan norma-norma yang baru.
- Katalisator – Birokrat mampu memberi suri telandan dan contoh yang baik kepada bawahannya.
- Dinamisator – Birokrat mampu menujukkan suatu dinamika yang merupakan peningkatan peran dan daya kerja pemerintah.
- Stabilisator – Birokrat mampu menciptakan suasana stabil dalam pelaksanaan tugas2 karena merupakan syarat mutlak berhasilnya pembangunan nasional.
Peran diatas
dapat dilakukan bila birokrasi secara sungguh-sungguh terlibat dalam pembuatan
kebijakan. Sesungguhnya, Ada
dua mekanisme dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu
Pertama,
anggota lembaga legislative ( dewan ) mengajukan rancangan kebijakan , yang
kemudian akan dibahas di sidang dewan. Metode ini hanya dapat mungkin
dilaksanakan apabila anggota-anggota lembaga legislative ( anggota dewan )
tersebut mempunyai cukup keahlian dan pengalaman untuk menyusun rancangan
kebijakan tersebut.
Kedua,
birokrasi lembaga eksekutif mengawali proses rancangan undang-undang, yang
kemudian menyerahkan hasil rancangan tersebut pada Dewan Perwakilan Rakyat (
Lembaga Legislatif ).[10]
Dalam kasus pembentukan
UU pelayanan publik diatas, proses yang digunakan adalah cara yang kedua,
karena kementerian pendayagunaan aparatur Negara dianggap lebih memahami isu-isu
yang berkembang di bidang pelayanan publik, serta lebih memiliki pengetahuan
yang cukup dan keahlian yang tinggi dalam memahami pelayanan publik, sehingga
lebih bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan-peraturan ( undang-undang )
tersebut. Selain itu, kapasitas yang ada di Komisi II DPR belum memadai dan
mencukupi untuk menyusun rancangan undang-undang tersebut sendirian.
Dalam pengambilan keputusan politik yang strategis dan
kebijakan-kebijakan pokok lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, harus dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui
lembaga-lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat, karena peran
legislative sendiri tidak bisa pula diabaikan begitu saja. Peran Legislatif pun
sangat diperlukan agar terbentuk kebijakan publik yang demokratis. Selanjutnya,
pengembangan kebijakan selanjutnya seperti Propenas/Propeda dan APBN(D),
Undang-undang dilakukan bersama
pemerintah, yang harus terjamin keserasiannya baik secara substantif maupun
format perundang-undangannya.
Bab
IV
Penutup
IV.1 Kesimpulan
1. Proses pembuatan kebijakan tidak bisa
terlepas dari birokrasi sebagai pelaksana yang mengetahui persis kondisi
lapangan.
2. Peran birokrasi sangat penting dalam pembuatan
kebijakan karena para birokrat lebih memiliki keahlian dan pengetahuan yang
cukup untuk membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan, dan agar
masalah yang ada dapat terselesaikan.
3. .3 Kebanyakan kebijakan yang dibuat diprakarsai
oleh birokrasi dan selanjutnya dibahas di parlemen, namun terkadang tidak
menutup kemungkinan rancangan kebijakan yang dibuat oleh birokrasi hanya
mengakomodasi kepentingan sendiri, dan terjadi ketidaksinkronan atau perebutan
kepentingan antara legislatif dan birokrasi dalam pembentukan kebijakan
4. Tidak ada pemisahan tegas mengenai fungsi legislatif ( Dewan Perwakilan Rakyat ) sebagai pembuat kebijakan yang harus mengakomodasikan aspirasi masyarakat
dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dan birokrasi sebagai pelaksana, yang menjadi gardu terdepan dalam melayani masyarakat.
IV.2 Saran
Untuk dapat menghasilkan kebijakan yang
demokratis, rasional, dan efektif, serta menghindarkan konflik kepentingan
antara pihak legislative dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Maka perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut
5. Menggiatkan koordinasi antara pihak legislative-demokrasi dan
pihak eksekutif-birokrasi agar dijalankan baik dan tegas.
6. Perebutan kepentingan antara pihak legislatif
dan birokrasi dalam pembentukan kebijakan telah membuat tidak terakomodasinya
kepentingan masyarakat umum dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya suatu mekanisme yang jelas dalam pembentukan
kebijakan yang membagi tugas pihak legislatif dan birokrasi, serta adanya
mekanisma yang jelas dalam meningkatkan partisipasi masyarakat agar terbentuk
kebijakan public yang mengakomodasikan kepentingan public, sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi yang ada.
7. Memperbaiki budaya kelembagaan yang ada dari budaya yang feodal
(ingin dilayani) menjadi budaya melayani yang menjadikan kepentingan rakyat
sebagai orientasi utama. Juga dengan membangun kepemimpinan yang kuat,
meningkatkan transparansi, profesionalitas serta akuntabilitas dalam birokrasi
itu sendiri.
8. Pemberdayaan legislatif, dengan memaksimalkan peran lembaga
perwakilan, maka akan membuka peluang pembahasan yang berlapis (redundancy)
untuk memperluas dan memperdalam proses pengambilan keputusan, serta
meningkatkan keahlian dan pengetahuan para anggota dewan untuk memahami konteks
kebijakan.
Daftar Pustaka
Aisyah, Dara.2003. Hubungan birokrasi dan demokrasi. library.usu.ac.id/download/fisip/admnegara-aisyah.pdf. diakses tanggal 20 November 2009, pukul 14.00 WIB
Etzioni, Eva dan Havley. 1983. Beureaucratic
Power-A Democratic Dilemma. London.
Hamka dan Burhanuddin .2009.Tingkat keterlibatan masyarakat
dalm pembentukan kebijakan.
Maksum, Irfan Ridwan. 2009. Demokrasi: Prinsip-prinsip dan Ruang
lingkup, slide presentasi kelas Birokrasi demokrasi.
Sudirman, dkk. 2005. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan Kebijakan Daerah di daerah
tanjung Jabung barat.www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/descbrief/DescBrief7.pdf,
diakses tanggal 20 November 2009, pukul 15.30 WIB.
UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
http://www.slideshare.net/andiazka/04-teori-organisasi-adm-publik
[6] Hamka dan Burhanuddin .2009.tingkat keterlibatan masyarakat dalam
pembentukan kebijakan, hlm: 1
[7]Birokrasi & Pelayanan Publik.ppt
oleh Wasis Budiarto, lihat
http://www.slideshare.net/andiazka/04-teori-organisasi-adm-publik
[10] Sudirman, dkk. 2005.
Partisipasi masyarakat dalam pembuatan Kebijakan Daerah di daerah tanjung
Jabung barat, hlm 3
0 comments:
Posting Komentar