“
Problematika Nikah Sirri dan Akibat
Hukumnya bagi Perempuan”.
RINGKASAN
DAN SUMMARY
Pernikahan sirri, yang secara agama dianggap sah, pada
kenyataannya justru memunculkan banyak sekali permasalahan yang berimbas pada
kerugian di pihak perempuan. Nikah siri sering diambil sebagai jalan pintas pasangan
untuk bisa melegalkan hubungannya, meski tindakan tersebut pada dasarnya adalah
pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974
tentang pencatatan perkawinan. Peneliti berusaha mengungkap faktor-faktor apa
saja yang melatarbelakangi seseorang melakukan pernikahan siri, disamping
problem-problem dan dampak nya yang berimbas pada perempuan.
Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan memperoleh pemahaman yang
mendalam dibalik fenomena yang terjadi seputar pernikahan sirri dan
problematikanya. Analisis data menggunakan SWOT gender analisis.
Dengan meneliti tiga
orang responden yang tinggal di wilayah D.I.Yogyakarta, dan beberapa kasus
pembanding, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa yang melatarbelakangi
dilakukannya pernikahan siri secara kasus per kasus memang berbeda, namun
secara umum pernikahan siri dilakukan karena alasan ingin memperoleh keabsahan
secara agama, sehingga tercipta ketenangan batin, minimal terhindar dari
perbuatan maksiat.. Dengan menggunakan wawancara mendalam, peneliti berhasil
mengungkap problem-problem yang dialami para responden dalam pernikahan
sirinya. Problem mendasar yang dirasakan oleh para perempuan pelaku nikah siri
justru problem psihis dan tekanan batin sebagai akibat dari ketidakpastian
hukum tentang status pernikahannya. Beban psikhis tersebut juga terjadi karena
stereotipe masyarakat terhadap perempuan pelaku nikah siri yang dianggap
sebagai isteri simpanan, hamil di luar nikah, selingkuhan dan sebagainya.
Melihat lebih banyak
kelemahan dan ancaman yang terjadi dalam pernikahan sirri, maka kelebihan yang
ada tidak akan bisa mengatasi problem yang dihadapi kecuali memanfaatkan
peluang yang ada yaitu itsbat nikah. Berbagai kemadlaratan yang muncul
dalam pernikahan sirri, nampaknya juga perlu dikaji lebih serius lagi tentang
keabsahan nikah sirri yang selama ini dijadikan jalan pintas untuk menghalalkan
hubungan suami isteri.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir
batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang
kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara hukum. Al Qur’an, secara
normatif banyak menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang
bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan
status perkawinan, Al Qur’an juga menyebut dalam surat An-Nisa (4): 21, bahwa perkawinan sebagai mitsaqan galidhan, yakni
sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya
sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul.
Salah satu kerangka awal untuk
mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah dengan mencatatkannya
kepada instansi yang berwenang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang
beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen,
Katholik, Hindu maupun Budha. Sebagaimana tertuang dalam UU no. 22 tahun 1946
j.o. UU No 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk ( penjelasan pasal
1) juga dalam UU No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2, yang
diperkuat dengan Inpres RI no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal
5 dan 6.
Dalam hukum Islam, hukum perkawinan
merupakan salah satu aspek yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di
seluruh dunia dibanding dengan hukum-hukum muamalah yang lain ( Anderson,1994 :
46). Perkawinan adalah mitsaqan ghalidan,
atau ikatan yang kokoh, yang dianggap sah bila telah memenuhi syarat dan
rukun pernikahan. Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa
hal-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon isteri, wali
nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i,
Hanafi dan Hanbali ( Yunus, 1996 : 18). Adapun syarat-sahnya nikah, menurut
Wahbah Zuhaili adalah antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, sighat ijab
qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan
calon suami isteri, tidak sedang ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk
menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai tidak sedang menderita
penyakit kronis, adanya wali ( Zuhaili, 1989 : 62).
Melihat
kriteria rukun maupun persyaratan nikah di atas, tidak ada penyebutan tentang
pencatatan. Keberadaan saksi dianggap telah memperkuat keabsahan suatu
perkawinan. Pihak-pihak terkait tidak bisa mengadakan pengingkaran akan akad
yang sudah terjadi. Bisa jadi ini didasarkan pada pernikahan masa Rasulullah
sendiri tidak ada yang dicatatkan. Dalam kitab fikh klasikpun tidak ada
pembahasan tentang pencatatan pernikahan.
Di sisi
lain, pada dasarnya Al Qur’an menganjurkan mencatatkan tentang sesuatu yang
berhubungan dengan akad. Namun oleh mayoritas fuqaha hal tersebut hanya
dianggap sebagai anjuran, bukan kewajiban. Hal itu untuk menjaga agar
masing-masing pihak tidak lupa dengan apa yang sudah diakadkan. Pernikahan pada masa Rasul, tidak ada
ketentuan pencatatan karena belum banyak kasus yang berkembang seputar problem
pernikahan seperti halnya saat ini. Perkembangan zaman saat ini menuntut suatu
penyelesaian yang tegas secara hukum dari berbagai problematika pernikahan.
Oleh karenanya, keberadaan dua orang saksi dianggap belum cukup. Karena
mobilitas manusia yang semakin tinggi dan menuntut adanya bukti autentik.
Meskipun secara hukum Islam tidak termasuk dalam syarat dan rukun nikah,
pencatatan pernikahan merupakan bagian yang wajib guna menghindari kesulitan di
masa yang akan datang. Dalam Bab II pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebut tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tatacaranya.
Hal tersebut diperjelas dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 5 (1) yang
menyebutkan, ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat”. Begitu juga dalam pasal 6 (2) ditegaskan
bahwa ”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum”.
Dalam
kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya mengacu kepada
Undang-undang. Beberapa proses perkawinan mengacu kepada lembaga keagamaan
masing-masing. Fakta ini harus diakui karena pengakuan Negara terhadap
pluralisme hukum tidak bisa diabaikan. Konsekuensinya, pilihan hukum dalam
bidang keluarga cenderung diserahkan sebagai kewenangan pribadi. Sebagai
contoh, kasus nikah siri adalah pilihan hukum yang didasarkan kepada konteks
agama, yang penekanan esensinya tidak sekedar hubungan hukum saja, tapi lebih
kepada faktor konsekuensi pengamalan ibadah kepada Allah SWT.
Fenomena
yang terjadi, Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam
hal anjuran pemerintah, ulil amri,
yang dalam hal ini mencakup urusan duniawi. Sementara beberapa kalangan
masyarakat muslim, lebih memandang bahwa keabsahan dari sisi agama, lebih penting
karena mengandung unsur ukhrawi yang
lebih menentramkan, sementara sisi duniawi tadi adalah unsur pelengkap yang
bisa dilakukan setelah unsur utama terpenuhi. Dalam hal ini unsur duniawi, yaitu nikah dengan dicatatkan adalah langkah kedua
setelah ketenangan batin didapatkan.
Dari
sinilah kemudian kasus nikah siri atau nikah dibawah tangan merebak menjadi fenomena tersendiri. Nikah
sirri adalah suatu pernikahan, meski
telah memenuhi syarat rukun nikah, tetapi karena alasan tertentu, tidak
dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Secara hukum Islam, pernikahan tersebut
dianggap sah oleh beberapa kalangan karena telah memenuhi kriteria keabsahan
pernikahan yaitu adanya ijab, qabul, dua orang mempelai, wali dan dua orang
saksi. Nikah sirri masih sering dijadikan sebagai alternatif mengantisipasi
pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan non muhrim yang secara psikologis, moril maupun materiil
belum mempunyai kesiapan untuk menikah secara formal.
Banyaknya
kalangan yang menganggapnya sah, memunculkan imej bagi masyarakat bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan, akibatnya,
perjalanan mengarungi bahtera rumah tanggapun dijalani dengan tanpa
mempertimbangkan aspek hukum formal yang berlaku. Pada kenyataannya justru menimbulkan berbagai permasalahan dan
konflik rumah tangga yang berimbas kepada persoalan hukum yang sangat merugikan
kaum perempuan..
Pernikahan
adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau tindakan yang muncul akibat
pernikahan adalah tindakan hukum yang
mendapat perlindungan secara hukum. Bila perkawinan tidak dicatatkan secara
hukum, maka hal- hal yang berhubungan dengan akibat pernikahan tidak bisa
diselesaikan secara hukum. Sebagai contoh, hak isteri untuk mendapatkan nafkah
lahir dan batin, akte kelahiran anak tidak bisa diurus, hak pengasuhan anak,
hak pendidikan anak, hak waris isteri, hak perwalian bagi anak perempuan yang
akan menikah dan masih banyak problem-problem lain.
Problem-problem
tersebut hanya akan membawa dampak negatif bagi kaum perempuan sebagai pihak
yang dinikahi, sementara pihak laki-laki tidak terbebani tanggungjawab formal.
Bahkan bila pihak laki-laki melakukan pengingkaran telah terjadinya pernikahan,
dia tidak akan mendapat sanksi apapun secara hukum, karena memang tidak ada
bukti autentik bahwa pernikahan telah terjadi. Hal ini tentu akan membuka ruang
yang lebar terjadinya kekerasan terhadap isteri.
Kekerasan terhadap isteri
berasal dari banyak faktor yang pada dasarnya mengarah kepada dominasi konsep
partriarkhi dalam masyarakat. Konsep tersebut diterjemahkan sebagai sebuah
sistem dominasi laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial,
politik dan ekonomi. Kenyataannya adalah bahwa budaya patriarkhi mengejawantah
dalam bentuk-bentuk historis jenis apapun. Apakah itu dalam sistem feodal,
kapitalis maupun sosialis ( Arivia,2003 : 16).
Meski sudah banyak diketahui bahwa pada
prinsipnya nikah sirri merugikan kaum perempuan, namun sampai saat ini fenomena
tersebut masih sering dijumpai. Praktik nikah siri tersebut tidak hanya terjadi
di lingkungan masyarakat yang awam hukum, berpendidikan rendah, atau golongan
ekonomi menengah ke bawah saja, tetapi juga banyak terjadi di lingkungan
nasyarakat terpelajar yang memahami hukum, ataupun di lingkungan masyarakat
golongan menengah ke atas yang secara ekonomi bisa dikatakan sangat mapan.
Tidak jarang ditemui di kalangan masyarakat umum, mahasiswa, artis, ulama
bahkan para pejabat.
Muncul beberapa dugaan tentang alasan mengapa
nikah siri dengan segala resikonya masih juga dijadikan sebagai alternatif. Di kalangan
masyarakat yang awam hukum dan masyarakat ekonomi lemah, bisa dimungkinkan
karena keterbatasan dana sehingga dengan prosedur yang praktis tanpa dipungut
biaya, pernikahan bisa dilaksanakan. Bila dilihat dari aspek agama, ada kemungkinan
karena khawatir melakukan dosa dan terjebak dalam perbuatan maksiat, maka
pernikahan dengan prosedur yang cepat dan dianggap sah telah memberikan
ketenangan batin tersendiri.
Berdasar dari pemaparan di
atas, penelitian ini menjadi penting mengingat masih banyak perempuan yang
merasa “nyaman” berstatus sebagai isteri dari proses pernikahan sirri. Di sinilah sensitifitas gender belum
tersentuh, bahkan dari kaum perempuan sendiri. Dengan menggunakan analisis
gender dan pendekatan fenomenologi hukum, peneliti berusaha mengungkap faktor
yang mendasari dilangsungkannya nikah sirri beserta problem hukum yang
menyertainya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan
hal – hal sebagai berikut :
1.
Faktor – faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya
nikah sirri ?
2.
Problem apa saja yang menyertai nikah sirri ?
3.
Bagaimana dampak hukum dari pernikahan sirri bagi perempuan
?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tidak
banyak buku atau penelitian yang secara spesifik membahas tentang pernikahan
sirri. Beberapa tulisan seputar pernikahan sirri banyak memandang aspek
komparasi antara perspektif hukum Islam dengan perspektif hukum positif. Abdul
Halim dalam tulisannya yang berjudul “Nikah Bawah Tangan dalam Perspektif
Fuqaha dan UU no. 1 tahun 1974”, menggali persoalan nikah siri dalam perspektif
hukum Islam dan perspektif hukum nasional ( Halim,2003:23). Kajian ini berujung kepada berbagai pendapat fuqaha
seputar boleh dan tidaknya nikah siri dilihat dari berbagai aspek dan akibatnya.
Sedang secara hukum nasional, berdasarkan UU no.1 tahun 1974, sudah ada
kejelasan bahwa nikah siri tetap dipandang tidak sah karena tidak mempunyai
kepastian hukum. Tulisan Abdul Halim ini cukup memberi penjelasan, bahwa
meskipun ditinjau dari perspektif Islam nikah siri relatif dianggap sah, tapi
berdasarkan dalil-dalil ushuliyyun serta kaidah-kaidah fiqhiyah, kalangan
fuqoha mengklasifikasi boleh dan tidaknya pernikahan siri dilangsungkan,
tergantung dari aspek lengkap dan tidaknya syarat dan rukun nikah, maupun dari
aspek manfaat dan madharatnya. Analisa terhadap UU No. 1 tahun 1974 dalam
tulisan tersebut tidak sedetail analisanya dalam perspektif fikh.
Berbeda
dengan apa yang ditulis oleh Mohammad Hasan Bisyri, meski ada juga analisa
seputar perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif dalam menentukan status nikah siri, Hasan
Bisri lebih mengedepankan analisis hukum positif dibanding konteks fikh.
Disamping menganalisis tentang status hukum nikah siri dan problematika yang
dimunculkan, dia juga memberikan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang muncul sebagai akibat dari nikah siri (Bisri,2004:34).
Titik Rohanah Hidayati meneliti kasus
pernikahan siri secara lapangan, dengan menggunakan teknik purposive sampling sebagai penentuan sampelnya (Hidayati,2002:10).
Sebagai fenomena unik, pernikahan siri yang marak terjadi di kalangan mahasiswa
STAIN Jember dijadikan sebagai objek penelitian melalui analisis gender.
Mahasiswa STAIN yang dianggap telah memahami syariat Islam dan Undang-undang
Perkawinan Indonesia bahkan mengetahui dampak
hukum dari praktek nikah siri, tetap melakukan pernikahan siri sebagai
alternatif hukum. Didapat suatu kesimpulan bahwa kegagalan pernikahan siri
sangat merugikan pihak mahasiswa perempuan, sementara mahasiswa laki-laki tidak
menganggap adanya kerugian yang fatal terhadap kasus kegagalan nikah siri.
Menurut Titik, nampaknya masih ada bias gender dalam memahami fenomena nikah
siri tersebut.
Lebih rinci lagi Nurun Najwah menulis dalam
“Benarkah Nikah Siri dibolehkan?”, melihat implikasi nikah siri bagi dua belah
pihak yang berelasi. Secara spesifik penelitiannya difokuskan pada bagaimana
menginterpretasi ulang teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan para fuqoha
dalam hal kebolehan nikah siri. Teks keagamaan yang menjadi pokok bahasan Nurun
adalah studi hadis, baik otentisitas, pemaknaan maupun korelasi antara ide
moral dengan realitas sosial. Pemahaman fikh yang mengekspresikan hubungan
suami isteri adalah pola hubungan struktural, yang secara realitis pihak
perempuan banyak dirugikan dari berbagai sisi, baik sisi ekonomi, sosial,
moral, hukum maupun psikologis. Ketika terjadi keretakan dan perselisihan di
kemudian hari, perempuanlah yang menanggung beban moral, fisik maupun psikhis
lebih berat, karena yang bersangkutan tidak memiliki bukti formal sebagai
seorang isteri ( Najwah,2004:256).
Sedangkan Jawahir Thontowi mengupas
secara singkat, padat dan cukup signifikan untuk ditelaah kembali seputar
masalah nikah siri. Salah satu yang ia pertanyakan adalah bagaimana seseorang
patuh terhadap ajaran Islam, namun dalam waktu yang bersamaan dia melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan yang tercantum dalam Undang-undang. Bagaimana
dengan konsep Islam sebagai ad-dien yang
sempurna, dimana pemenuhan janji kepada Allah mestinya juga sejajar dengan
pemenuhan janji terhadap sesama
manusia (Thontowi, 2002: 57). Segala hal
yang dilakukan secara illegal, meski beberapa kalangan menganggapnya sah,
sebenarnya hanya bisa dijadikan sandaran hanya ketika menghadapi kondisi khusus dan dalam situasi
tertentu. Adapun penyelesaian hukum yang berhubungan dengan hal tersebut tidak
selalu dapat dilakukan melalui prosedur yang tepat dan benar. Imbas dari pernikahan
illegal tersebut adalah kaum perempuan yang berdiri tanpa status hukum dan
tidak ada perlindungan hukum terhadapnya.
Sudah menjadi catatan sejarah, bahwa dari dulu
kaum perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang tersubordinasi. Hal ini
terjadi karena berbagai mitos yang memojokkan perempuan selalu dipertahankan,
hingga menjadi semacam dogma yang mengakar pada masyarakat setempat. Salah satu
mitos tersebut adalah cerita tentang penciptaan perempuan dan keluarnya Adam
dari surga ke bumi. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, oleh karena itu fungsi
diciptakannya adalah untuk melengkapi hasrat Adam, dan Hawalah penyebab
jatuhnya Adam dari surga ke bumi. Perempuan dianggap sebagai sumber godaan
syetan, penyebab terjadinya tindakan pelecehan seksual, berbahaya dan membutuhkan
control dari laki-laki (Kiddie,1991:3). Mitos-mitos tersebut akan semakin kuat
bila faktor agama turut berperan di dalamnya, hingga eksistensi mitos sendiri
akan terhapus dan justru terlegitimasi dengan unsur teologis.
Tidak hanya bagi kaum laki-laki, kaum perempuan
sendiri merasa yakin dengan menempatkan diri pada posisi itu, dan beranggapan
bahwa hal tersebut datangnya dari Tuhan. Sehingga batas-batas antara laki-laki
dan perempuan semakin jelas baik dalam pandangan kosmos maupun secara struktur
sosial. Kondisi semacam ini dalam
perkembangannya semakin dikuatkan oleh penafsiran-penafsiran yang keliru
terhadap teks-teks keagamaan, akibatnya, secara sosiologis memunculkan perilaku
kekerasan terhadap perempuan.
Alqur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui
bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama ( Assad,1980:933).
Keduanya diciptakan dari satu nafs
(living entity), dimana yang satu
tidak memiliki keunggulan atas yang lain. Bahkan Alquran tidak menjelaskan
secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sehingga kedudukan
dan statusnya lebih rendah ( Fakih,2001: 130). Atas dasar itu, prinsip Alquran
terhadap kaum laki-laki dan perempuan
adalah sama, dimana hak isteri diakui dan sederajat dengan hak laki-laki.
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus nikah sirri,
masih banyak kaum perempuan yang beranggapan bahwa nikah sirri adalah suatu
bentuk tanggung jawab moral kaum laki-laki yang bersedia melewati tahapan
hubungan yang lebih serius. Untuk sesaat memang bisa dibenarkan, namun secara
faktual proses pernikahan tersebut sangat tidak adil gender mengingat kaum
perempuan akan menuai banyak permasalahan di kemudian harinya. Sebaliknya,
pihak laki-laki tidak menanggung beban , bahkan ketika dia lalai akan
kewajibannya sebagai seorang suami ( secara sirri), tidak ada tuntutan hukum.
Meninjau kembali keabsahan nikah sirri secara syar’i, akan berbenturan
dengan maqashid asy-syariah atau tujuan diberlakukan hukum syariah yang
meliputi : 1). Menjaga jiwa (Hifdz an-nafs), 2). Menjaga agama (Hifdz
ad-din), 3). Menjaga keturunan (Hifdz an-nasl), 4).Menjaga akal (Hifdz
al-aql) dan 5).Menjaga harta (Hifdz
al-mal) (Khallaf,1994:313-316). Ketika pernikahan dilakukan secara siri tanpa
dicatatkan kepada pihak yang berwenang, secara agama, bila telah memenuhi rukun
syarat pernikahan adalah sah. Dengan latar belakang khawatir terjadinya zina
atau perbuatan lain yang melanggar syariat, maka pernikahan tersebut dikategorikan ke dalam tujuan hifdz ad-din
dan hifdzu an-nasl. Yang perlu dikaji lagi adalah bahwa tujuan
tersebut hanya bisa terwujud sesaat setelah pernikahan berlangsung. Namun
dampak hukum dari perkawinan dan akibat-akibat lain yang sering muncul dalam
perkawinan akan muncul dalam rentang waktu panjang. Sementara maqashid al-syari’ah
tidak ditujukan untuk ketenangan sesaat, tetapi antisipasi jangka panjang lebih
diperhitungkan.
Beberapa penelitian dan statement di atas, memberi inspirasi bagi
peneliti untuk meneliti lebih dalam fenomena nikah sirri yang berperspektif
perempuan. Selama ini nikah sirri relatif masih dianggap sebagai alternatif
terbaik dalam penyelesaian problem prosedur pernikahan. Dengan memilih
pernikahan sirri, tanpa disadari, atau justru dengan penuh kesadaran perempuan
mengikhlaskan diri untuk menghadapi permasalahan hukum yang lebih rumit lagi di
kemudian hari.
BAB III.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap faktor- faktor apa saja yang mendorong seseorang melakukan nikah sirri.
Secara hukum formal diketahui bahwa nikah sirri adalah proses perkawinan yang
illegal, namun masih banyak dijumpai fenomena nikah sirri yang terjadi dari
berbagai kalangan. Nikah sirri sendiri pada dasarnya adalah suatu problem
hukum, yang akibat hukumnya akan sangat berdampak pada perempuan yang dinikahi.
Berdasar dari penelitian yang
berperspektif perempuan, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membuka
ruang fikir perempuan, bahwa dalam negara hukum seperti di Indonesia, nikah sirri bukanlah alternatif terbaik untuk mengatasi
problem prosedur perkawinan.
BAB IV.
METODE PENELITIAN
4. 1
Jenis Penelitian
Jenis penelitian
ini adalah qualitative
research,
yakni penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak cukup hanya didapat
dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari
kuantifikasi atau pengukuran, tetapi dengan menunjukkan pada penelitian tentang
kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi,
pergerakan-pergerakan sosial, atau hubungan kekerabatan ( Strauss,1997:11).
Melihat sifat penelitian ini maka metode yang akan digunakan adalah metode
kualitatif. Fokus dari jenis penelitian kualitatif, adalah ingin memperoleh
pemahaman yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil direkam kaitannya
dengan problemátika diseputar nikah sirri.
Untuk memahami secara lebih
dalam dan menyeluruh, jelas tidak cukup dengan hanya melihat adanya hubungan
sebab akibat dari beberapa variabel yang diajukan, melainkan harus digali makna
dan pemahaman yang lebih dalam terhadap pandangan hidup dan karakter para
pelaku nikah sirri sehingga akan diperoleh pemahaman yang lebih dalam terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini (Varma,1982:101).
Adapun yang menjadi landasan teoritis
pendekatan kualitatif adalah fenomenologi dan interaksionisme simbolik. Lazimnya
dalam sebuah penelitian kualitatif; mengarah kepada pemahaman keadaan-keadaan
atau individu-individu secara utuh tidak diredusir (disederhanakan) kepada
variabel yang telah ditata (dalam bentuk hipotesa). Konsep dan teori yang
terbangun niscaya berangkat dari temuan-temuan lapangan itu sendiri dan
berdasar pada gambaran masyarakat atau individu secara personal menurut mereka
sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan,1992:45). Dengan pendekatan fenomenologi akan ditemukan
fakta atau penyebab terjadinya pernikahan sirri melalui pemahaman makna
terhadap para pelaku nikah sirri dalam situasi tertentu. Sedang Interaksi simbolis memberi ruang pada proses interpretasi dari
hasil data lapangan yang diperoleh (Handayani, 2006:56).
Tegasnya, penelitian ini lebih bersifat
induktif, yakni berawal dari hal-hal yang bersifat khusus berdasar pada
temuan-temuan di lapangan menuju kesimpulan umum. Analisis induktif membuat
hubungan peneliti dengan responden
menjadi eksplisit, sehingga dapat memperhitungkan nilai secara eksplisit
sebagai bagian dari struktur analitik. Teori mendasar ini dikenal sebagai grounded theory (Handayani,2006: 57).
4.2 Pelaksanaan Penelitian
Waktu
Pelaksanaan Penelitian ini dimulai tanggal 1 Juni s/d 30 Nopember tahun 2008,
sedangkan tempat pelaksanaan di Propinsi D.I. Yogyakarta.
4.3 Subjek Penelitian
Yang
menjadi subjek dalam penelitian ini adalah
masyarakat di Propinsi D.I.Yogyakarta yang melakukan atau yang pernah
melakukan nikah sirri.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mengumpulkan data lapangan,
agar didapatkan keterangan lebih jelas, detil, dan rinci maka peneliti
menggunakan teknik-teknik sebagai berikut:
1.
Indepth interview, atau wawancara langsung dan mendalam terhadap
pihak-pihak yang kompeten, termasuk meletakkan setiap individu dalam kerangka
yang menyeluruh (holistic setting),
tidak diisolasi dalam variabel-variabel tertentu. Adapun informannya adalah:
a.
Para pelaku nikah sirri. Sebagai “nara
sumber” mereka adalah pelaku utama dan merupakan individu atau kelompok
strategis paling kompeten memberi keterangan dalam penelitian ini sehingga
informasi dapat dieksplorasi secara lebih mendalam.
b.
Masyarakat. Mereka merupakan
subsistem paling vital dalam mendekonstruksi atau bahkan boleh jadi
melestarikan sistem model nikah sirri tersebut. Masyarakatlah yang secara
langsung sebagai pihak yang paling merasakan dampak dari keputusan tindakan
nikah sirri sehingga dapat dijadikan alat ukur untuk menimbang perubahan-perubahan
yang terjadi dan kemungkinan-kemungkinannya.
c. Tokoh agama, akademisi,
profesional dan peneliti. Hal ini tentu saja dapat dijadikan sebagai pengontrol
sekaligus pembanding terhadap informasi yang datang dari sumber data primer
atau utama, sehingga dapat diobyektifikasi dan dikomparasi.
Secara
metodologis, penelitian ini menggunakan model sampel bola salju (snowball sampling), yakni penelitian ini
diakhiri jika dalam penggalian data sudah tidak diperoleh temuan-temuan yang
sejalan dengan data yang dibutuhkan.
2. Observation
Research, yaitu
pengamatan langsung terhadap lokasi penelitian dengan mencermati
fenomena-fenomena yang mengemuka. Di sini, peneliti harus berinteraksi sosial
yang intensif antara peneliti dengan yang diteliti. Dari observasi ini
diharapkan temuan lapangan dapat diidentifikasi.
3. Dokumentary
research; yakni
inventarisasi dan menelaah data dokumen yang dimungkinkan dapat memberi
informasi, penjelasan, dan rujukan terhadap topik penelitian ini. Dokumen ini
bisa bersifat pribadi maupun dokumen yang ada di instansi atau lembaga yang
memiliki relevansi dengan konteks penelitian ini.
Adapun cara menguji validitas
datanya sebagai berikut:
a. Melakukan pendekatan diri dengan informan
diharapkan dapat mengurangi subyektifitas informasi yang diberikan.
b. Melakukan diskusi dengan peneliti lainnya
perihal penelitian sejenis.
Setelah data dikumpulkan, langkah selanjutnya
adalah melakukan proses pemilihan yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan atau transkrip rekaman di lapangan agar dapat ditentukan data mana
yang bisa memberikan inforrmasi berharga terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya adalah penyajian data, yakni mengumpulkan informasi yang
tersusun agar dapat dipilah secara tegas dan jelas. Sedangkan langkah terakhir
adalah verifikasi atau pembuktian penarikan kesimpulan, yaitu pencarian arti,
pola-pola, penjelasan, sebab-akibat dan lain-lain.
4.5 Teknik Analisis
Data
Teknik
Analisis data penelitian ini menggunakan SWOT gender analisis. Analisis SWOT adalah analisis yang
mengidentifikasi faktor
internal yaitu kekuatan dan kelemahan, juga faktor eksternal berupa peluang dan
ancaman ( Hoy, 1991 :259). Dalam kasus nikah sirri,
bisa terungkap bahwa kelemahan-kelemahan yang ada akan menjadi ancaman yang serius terutama bagi kaum perempuan.
Sedang kekuatan bisa dikatakan hanya bersifat sementara kecuali jika
memanfaatkan peluang yang ada.
Teknik Analisis Gender SWOT
dalam kasus Nikah Sirri:
Faktor
Internal
Faktor eksternal
|
Kekuatan:
·
Sah secara
agama
·
Terhindar dari pergaulan bebas dan dosa
·
Ketenangan
batin yang sifatnya sementara
|
Kelemahan :
·
Pelanggaran
terhadap hukum positif
·
Tidak ada perlindungan hukum terutama bagi isteri.
·
Benturan dengan
opini public
·
Sulit bersosialisasi karena dianggap tinggal serumah
tanpa ikatan yang sah
·
Merugikan anak karena secara hukum keberadaan anak
tidak diakui oleh negara.
·
Memunculkan berbagai konflik internal yang lain dalam
keluarga.
|
Peluang :
·
Walimatul Ursy
·
Isbat nikah
|
·
Walimatul ursy
(tanpa itsbat) – jelas dimata agama dan masyarakat.
·
Isbat nikah
(tanpa walimatul `ursy) – jelas
dimata agama dan hukum negara.
·
Walimatul ursy
dan itsbat nikah – jelas dimata agama, hukum dan publik.
|
·
Walimatul `ursy --- meminimalisir imej negatif masyarakat, namun masih ada kendala
hukum.
·
Isbat nikah (tanpa walimatul ursy) -- sudah mendapat kepastian hukum, tinggal
meluruskan opini publik
·
Walimatul ursy dan itsbat nikah -- kepastian hukum dan kejelasan dimata
masyarakat.
|
Ancaman :
·
Status isteri
yang tidak tercatat secara hukum memunculkan peluang untuk terjadi kekerasan
dalam rumah tangga.
·
Isteri tidak
mendapat perlindungan hukum bila terjadi pelanggaran dari suami tentang
hak-hak isteri ( nafkah lahir/batin, hak waris, dan sebagainya)
·
Anak kandung
tidak mendapatkan hak-haknya ( akta kelahiran, hak waris, hak pendidikan, hak
perwalian untuk anak perempuan yang hendak menikah, dan sebagainya).
·
Anggapan
negatif dari masyarakat ( hamil sebelum nikah, poligami, orang tua tidak
setuju, menghindar dari konflik tertentu, belum siap secara moril dan materiil,
dan sebagainya)
·
Adanya kemungkinan pihak pasangan akan memalsukan
dokumen – dokumen untuk kelancaran administrasi.
|
Kekuatan ini bisa dikatakan bersifat sementara.
Bila tidak mengambil peluang yang ada sebagai alternatif yang harus ditempuh,
maka ancaman-ancaman yang teridentifikasi disini akan memunculkan aspek
kekerasan dalam rumah tangga yang sekaligus mengganggu keharmonisan rumah
tangga.
|
Kelemahan dari nikah sirri memunculkan berbagai
ancaman yang berakibat sangat merugikan kaum perempuan bahkan anak-anak yang
dilahirkannya. Kelemahan dan ancaman inilah sesungguhnya problem yang harus
segera dicarikan solusi terbaik.
|
Tabel diatas menjelaskan bahwa ada
kondisi yang sangat tidak seimbang antara kekuatan (Strength ) dengan ancaman
( Threat ) yang akan muncul. Pada prinsipnya kekuatan hanya satu yaitu sah secara
agama. Keabsahan itu secara internal akan
membawa ketenangan batin bagi diri pasangan. Akan tetapi bila melihat sisi kelemahan
( Weekness )nya, ketenangan tersebut
hanya bersifat sementara, karena selanjutnya akan terkubur oleh
permasalahan-permasalahan dan benturan-benturan dari berbagai pihak. Kelemahan
yang paling nyata adalah benturan dengan hukum positif. Dalam arti,
perkawinan yang dilakukan merupakan bentuk pelanggaran UU Perkawinan yaitu UU
No.1 tahun 1974 pasal 2, yang sudah dirinci secara jelas dalam KHI pasal 5-7. Kelemahan-kelemahan
tersebut akan banyak menimbulkan ancaman di kemudian hari.
Perkawinan adalah perbuatan hukum, karena akan memunculkan akibat-akibat hukum
yang lain. Bila perkawinan tersebut tidak sah secara hukum, maka segala hal
yang berhubungan dengan akibat hukum dari perkawinan tidak akan berlaku. Bila pelanggaran
hukum dilakukan oleh suami, isteri dan anak tidak bisa mendapat perlindungan
hukum. Begitu pula bila terjadi perceraian, Isteri tidak bisa menuntut
hak-haknya seperti hak nafkah atau hak waris. Sementara anak tidak bisa
mengurus akta kelahiran, hak pendidikan, hak waris dan sebagainya. Tidak
menutup kemungkinan pihak pasangan akan memalsukan identitas demi memperoleh
hak-haknya secara hukum.
Pernikahan sirri juga memungkinkan timbulnya kekerasan terhadap
perempuan. Karena merasa sudah sah, seorang suami bebas melakukan apa saja
terhadap isterinya, dan bila terjadi kekerasan atau pelanggaran-pelanggaran yang
merugikan isteri, si isteri tidak bisa menuntut, sementara suami mempunyai
kebebasan secara hukum. Bahkan bila suami kemudian menikah lagi secara resmi
dengan perempuan lain, isteri tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu tentu sangat
merugikan pihak perempuan. Ketika perempuan merelakan dirinya dinikahi secara
siri, otomatis dia menyerahkan dirinya hidup tanpa perlindungan hukum,
sedangkan pihak suami hampir tidak mempunyai kerugian apapun.
Selain cacat dimata hukum, pernikahan siri juga cacat secara sosial.
Tidak semua masyarakat bisa memaklumi, karena latar belakang dilangsungkannya
pernikahan siri memunculkan pandangan negatif misal anggapan hidup serumah
tanpa ikatan yang resmi karena perselingkuhan, poligami, tidak disetujui orang
tua, terlanjur hamil dan sebagainya. Meskipun secara riil yang melakukan
pernikahan sirri adalah sepasang laki-laki dan perempuan, namun tak urung
juga opini-opini tersebut ditujukan
kepada kaum perempuan. Anggapan masyarakat tentang isteri kedua, perempuan
simpanan, kehamilan tak diinginkan dan sebagainya adalah stereotip yang
seakan-akan hanya perempuanlah yang bersalah. Oleh karenanya, selama masih ada
jaminan hukum yang bisa memberi perlindungan kepada kaum perempuan, kenapa
tidak dimanfaatkan.
Disamping Stength (kekuatan) ,
Weekness (kelemahan) dan Threat (ancaman) yang peneliti paparkan di atas, ada suatu
peluang ( Opportunity ) yang bisa jadikan solusi untuk mengantisipasi
terjadinya ancaman- ancaman yang muncul. Peluang yang paling tepat adalah Itsbat
nikah atau pengesahan pernikahan. Itsbat nikah tersebut diajukan ke
Pengadilan Agama Kabupaten atau Kota setempat. Dengan itsbat nikah maka status perkawinan menjadi jelas, baik dimata
agama maupun di mata hukum. Kelemahan- kelemahan dan ancaman- ancaman akan
terhapus karena perkawinan sudah mendapat perlindungan hukum. Peluang
berikutnya adalah mengadakan walimah al-ursy, sekedar pemberitahuan
kepada masyarakat sekitar tentang adanya pernikahan yang sah. Dengan ini
anggapan negatif masyarakat bisa diminimalisir, sehingga pasangan tidak akan
mengalami kesulitan lagi dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian
ini dilakukan terhadap pasangan yang melakukan pernikahan siri di beberapa
wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa responden yang ditemui, tidak
semuanya bersedia memberikan informasi. Responden yang bersedia memberikan
informasi, tidak semuanya memberi
keterangan secara lengkap. Penjelasan yang diberikan sangat singkat dan
terkesan tidak ingin orang mengetahui bahwa pernikahannya adalah pernikahan sirri.
Dari beberapa responden hanya ada 3 responden yang peneliti anggap cukup
memberikan data bagi penelitian ini. Untuk
mendukung akurasi data, peneliti juga melakukan wawancara kepada
sejumlah masyarakat, tokoh agama, hakim maupun akademisi. Disamping itu peneliti
juga mengulas sejumlah kasus pembanding.
5.1. Beberapa Contoh Kasus
·
Responden Ati (40)* memilih menikah sirri
bahkan sebagai isteri kedua dengan alasan suami menginginkan keturunan. Selama ini suami tidak mendapatkannya dari
isteri pertama. Meskipun mempunyai latar belakang pendidikan tamat SMA, tetapi
dia mengetahui dan memahami bahwa pernikahan tersebut akan berresiko secara
hukum karena tidak dicatatkan di KUA. Dan demi ketenangan batin supaya tidak
banyak beredar fitnah di masyarakat, maka pada tahun 1999, dengan persetujuan
isteri pertama Ito (50) calon suaminya,
dia menikah dengan syarat rukun pernikahan yang sah secara Islam tanpa
dicatatkan di KUA setempat. Penyebab lain dilangsungkannya pernikahan tersebut
adalah tempat kerja Ito tidak membuka ruang bagi pegawainya untuk memiliki 2
isteri. Sebagai Pegawai Negeri Sipil, ijin untuk melakukan poligami akan sangat
sulit didapatkan secara prosedural, oleh karenanya jalan pintas yang ditempuh adalah
pernikahan siri. Pernikahan sirinya berjalan tanpa banyak
hambatan dari pihak keluarga, kalau toh ada pandangan negatif masyarakat,
menurutnya, hanya di awal-awal pernikahan. Untuk seterusnya dia merasa nyaman
menjalani kondisi tersebut. Tujuan utama dari pernikahannya adalah ingin
memiliki anak. Namun ternyata tuhan berkehendak lain, tahun demi tahun berjalan,
keturunan yang diharapkan tidak juga hadir. Secara jujur dia katakan bahwa
meskipun belum ada keturunan, namun jarang muncul konflik yang serius dalam
rumah tangganya, baik hubungan intern dengan Ito, maupun hubungan dengan isteri
pertama Ito. Konflik mulai muncul ketika posisinya sebagai isteri yang tidak
resmi perlahan-lahan mengusik ketenangan batinnya. Ati sadar bahwa dengan
posisinya, dia tidak akan punya hak apa-apa untuk menuntut dan membela diri
bila kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Keberadaannya sebagai
isteri kedua tidak pernah diberitahukan kepada teman-teman kantor. Ketika ada
undangan-undangan resmi kantor yang berhubungan dengan suami isteri, isteri
pertamanyalah yang selalu dilibatkan. Kondisi tersebut hanya merupakan salah
satu contoh dari sekian peristiwa, yang lama-lama sangat mengganggu posisinya.
Ati mulai mendekati suaminya untuk memikirkan kembali statusnya secara
resmi. Ito juga berusaha mencari
informasi di tempat kerjanya bila kemungkinan ada celah yang bisa ditempuh
untuk menikah secara resmi dengan isteri kedua. Namun yang muncul justru
konflik baru, yaitu atasan mulai mempermasalahkan status isteri keduanya. Bukan
ijin yang didapat, justru keharusan baginya untuk memilih salah satu diantara
dua isterinya, atau berhenti dari pekerjaan. Konflik inilah yang kemudian mulai
memicu ketegangan dalam rumahtangga Ito. Yang pada akhirnya Ito lebih memilih
isteri pertama. Pernikahan siri Ati dan
Ito berakhir lewat perceraian setelah 8 tahun dijalani tanpa membuahkan
keturunan. Perceraian yang terjadi pada keluarga Ati dan Ito, semata-mata hanya
karena menginginkan status hukum yang jelas bagi Ati. Namun ternyata keinginan
tersebut tidak bisa diwujudkan. Ini merupakan suatu indikasi bahwa pernikahan
siri yang pada awalnya tidak bermasalah, secara berangsur akan memunculkan
masalah-masalah hukum yang serius yang berimbas pada perempuan. Ketika satu
pertanyaan dilontarkan kepada Ati tentang kesediaannya kembali untuk menikah
secara siri, dia menjawab dengan tegas, “tidak”, karena senyaman apapun itu
tidak akan bertahan lama, dan secara hukum akan sangat menyulitkan posisi
perempuan dan anak-anaknya.
·
Kasus berikutnya adalah pernikahan siri yang dilakukan oleh
Tini (26) dengan Tono (27). Keduanya
adalah mahasiswa asal Jawa Timur yang pada waktu itu kuliah di salah satu PTN
di Yogyakarta. Keduanya mulai kenal dan dekat sejak 2 tahun sebelum pernikahan
sirri dilangsungkan. Mereka saling mengenal di sebuah pengajian mahasiswa yang
dikelola oleh suatu kelompok tertentu. Khawatir gejolak jiwa mudanya tidak
terkontrol, untuk menghindari perbuatan maksiat, mereka memberanikan diri meminta
kepada masing-masing orang tua untuk menikahkan secara agama tanpa dicatatkan
dulu di KUA. Di samping itu, untuk menikah secara resmi keduanya merasa belum
siap secara mental dan material,
mengingat statusnya yang masih
mahasiswa. Namun baik orang tua Tono maupun Tini tidak menyetujui pernikahan sebelum kuliah
selesai. Niat tersebut kemudian dikonsultasikan kepada ustad pembimbingnya.
Dengan pertimbangan menghindari perbuatan maksiat, pada tahun 2004 ustad tersebut
bersedia menikahkan meski tanpa
sepengetahuan orang tuanya. Problem yang dihadapi oleh
pasangan Tono dan Tini yang paling mendasar justru problem intern dalam
mengendalikan hawa nafsu. Sebelum menikah mereka punya komitmen untuk tidak
akan kumpul dulu sampai menyelesaikan kuliah. Namun yang terjadi justru
sebaliknya, dengan status baru sebagai suami isteri yang sah ( secara agama), keinginan untuk
memenuhi kebutuhan biologis justru semakin tidak terbendung. Konflik dengan
orang tuanya yang merasa ‘disepelekan’ sangat mengganggu batinnya. Asumsi
sebagai anak durhaka dan perasaan berdosa selalu menghantui pikirannya. Selama
perkawinan orang tua tidak pernah mengirim uang sehingga mereka harus berusaha
sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya untuk kuliah. Beruntung
setelah mengetahui kehamilan Tini, orang tua masing-masing mulai menyetujui
pernikahannya. Sampai sekarang pasangan tersebut menetap di Yogyakarta dan sudah
memiliki 1 orang anak yang sah secara hukum, karena pernikahannya sudah
dicatatkan setahun setelah pernikahan sirinya.
·
Kasus ketiga adalah yang dialami oleh Tatik (50 ) yang
tinggal di salah satu wilayah yang cukup terpencil di kabupaten Gunung Kidul. Tatik
menikah dengan Totok (65) 32 tahun yang lalu saat usianya masih 18 tahun.
Sementara waktu itu Totok sudah memiliki seorang isteri dengan 4 orang anak
yang menetap di wilayah kota Yogyakarta. Totok
adalah tetangga satu desa, seorang pegawai yang sukses di kota yang
setiap kali datang menengok kampungnya selalu naik mobil. Untuk ukuran waktu
itu mobil adalah barang mewah yang belum tentu seminggu sekali lewat di
desanya. Tatik yang hanya lulusan SD dan sangat lugu, senang saja ketika sering
diajak Totok jalan-jalan naik mobil. Belakangan
diketahui Tatik hamil dari hasil hubungannya dengan Totok. Meski tahu Totok
sudah beranak isteri, dia merasa yang terpenting baginya adalah menyelamatkan aib
keluarga dan status anak dalam kandungannya. Melalui berbagai macam
kesepakatan, akhirnya pernikahan dilangsungkan secara siri karena posisi Totok
sebagai PNS tidak memungkinkan untuk menikahi dua isteri secara resmi.
Kasus ini paling rumit di banding dua kasus sebelumnya. Kehamilan yang
tidak diinginkan memaksa keduanya untuk menikah. Totok yang Pegawai Negeri
Sipil dan sudah berkeluarga, merasa kesulitan harus menikahi Tatik yang sudah
mengandung anaknya. Satu-satunya cara adalah dengan pernikahan siri, meski
tanpa persetujuan isteri. Yang terjadi setelah pernikahan tersebut adalah
konflik berkepanjangan antara Tatik dengan keluarga isteri pertamanya. Totok yang tetap tinggal bersama isteri pertama, menambah penderitaan
batin Tatik yang tengah mengandung anaknya. Kehadiran Totok yang sebulan sekali
di rumahnya tidak bisa mengobati kepedihan perjalanan hidup yang dialami. Untung saja Tatik adalah adalah seorang wanita
yang ulet, tidak banyak bicara dan tabah menghadapi kondisi. Sampai sekarang Tatik tetap tinggal di desa
bersama anak perempuan hasil pernikahannya dengan Toto. Dengan membuka usaha
kecil-kecilan, Tatik bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus
menunggu pemberian nafkah dari Toto. Rupanya kehadiran
anak tidak mengubah jadwal berkunjung Totok, bahkan yang dirasakan justru
ketegangan, prasangka dan cap negatif yang dituduhkan oleh isteri pertama dan
anak-anaknya. Meski tinggal di tempat yang berbeda dan bahkan cukup jauh ditempuh,
tapi permasalahan-permasalahan intern dalam kedua keluarga tersebut tidak
mereda. Ketegangan tersebut berjalan bertahun-tahun. Sementara Totok yang
sekarang sudah pensiun lebih banyak tinggal dengan isteri pertamanya di
Yogyakarta. Ironisnya, ketika kondisi Totok sering sakit-sakitan
dan anak perempuan Tatik menikah dengan anak keluarga yang cukup terpandang di
Yogyakarta, ketegangan berangsur-angsur
mulai mereda dan silaturrahim terjalin baik sampai sekarang.
·
Contoh kasus lain adalah
pernikahan sirri yang dilakukan oleh pasangan Joko dan Ida.* Joko adalah seorang sarjana yang
sudah bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta. Dan Ida adalah
mahasiswi sebuah PTS di Yogyakarta. Pernikahannya terjadi karena orang tua
mereka sudah menjodohkan sejak kecil. Mereka berdua berasal dari satu kampung
di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Perjodohan ini tidak diketahui oleh
Ida. Dan sebagai mahasiswa di Jogja, Ida menjalin hubungan dekat dengan seorang
pemuda asal luar Jawa. Mengetahui hubungannya dengan pria luar jawa semakin
serius, orang tua Ida mempercepat pernikahan yang sedianya akan dilangsungkan
setelah kuliah Ida selesai. Ida tidak bisa menolak keinginan orang tua, karena
belakangan Ida baru tahu, Jokolah yang ternyata membiayai kuliah Ida selama ini.
Pernikahan dilakukan tanpa dicatatkan di KUA, dengan pertimbangan Ida masih
kuliah di Jogja. Rencananya, setelah Ida menyelesaikan kuliah baru pernikahan
akan diresmikan sekaligus melangsungkan resepsi. Ida juga akan diboyong ke
Jakarta mengikuti Joko. Pernikahan tersebut tentu saja membuat Ida sangat
stress dan tertekan. Meski tinggal berlainan kota, status Ida yang sudah
menikah sangat menghambat pergaulannya dengan teman-teman kuliah, terlebih
dengan mantan pacarnya. Bukan hanya itu, kondisi tersebut ternyata justru sangat
mengganggu kuliah dan aktivitas kampus yang lain. Beban psikis yang dia alami,
berimbas pada kondisi psikhis dan kuliahnya menjadi terbengkalai.
·
Kasus yang cukup memancing perdebatan adalah kasus pernikahan sirri antara Syekh Pujiono (43)
dengan seorang gadis kecil Lutfiana Ulfa (12). Pernikahan kontroversial antara
seorang pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah Desa Bedono Kecamatan Jambu
Kabupaten Semarang tersebut sempat menghebohkan masyarakat di bulan Oktober-
November 2008. Pernikahan sirri dilakukan, disamping posisi Ulfa sebagai isteri
kedua, usia Ulfa masih jauh dari kriteria batasan usia pernikahan dalam UU
Perkawinan, yakni 16 tahun. Secara Islam, essensi dari perkawinan memang sah,
tapi bila memunculkan polemik berkepanjangan dan meresahkan para orang tua,
kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya, apa keabsahan tersebut sesuai
dengan tujuan ditetapkannya syariat hukum Islam. Pernikahan Sirri sendiri sudah
merupakan pelanggaran UU Perkawinan, ditambah
pelanggaran terhadap batasan usia perkawinan, yang hal itu juga
melanggar UU Perlindungan Anak. Dan kalau seperti yang dikatakan oleh Syekh
Puji bahwa setelah menjadi isterinya Ulfa akan dijadikan manager dalam
perusahaannya, itu juga pelanggaran terhadap UU Perburuhan yang menempatkan
anak dibawah umur sebagai pekerja. Meski setelah ada desakan dari beberapa
pihak pernikahan tersebut pada akhirnya “ditunda”, namun tidak ada sanksi hukum
yang dibebankan kepada Syekh Puji yang secara faktual sudah melanggar UU
Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Dan siapa yang akan bertanggung jawab atas
beban psikhis yang di alami oleh Ulfa sebagai perempuan dan sebagai gadis dibawah
umur ? Syekh Puji, orang tuanya, Komnas Perlindungan Anak, pemerintah atau
masyarakat ?
5.2. Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan
Siri
Melihat kasus-kasus
di atas, masing-masing mempunyai latar-belakang yang secara khusus berbeda,
namun secara umum adalah sama yaitu ingin memperoleh keabsahan. Dalam hal ini yang dipahami oleh masyarakat
adalah pernikahan siri sudah sah secara agama. Bapak Drs.Jeje Zainudin, M.SI,
Ketua Pengadilan Agama Gunungkidul mengatakan bahwa masih banyak yang
berpendapat nikah merupakan urusan pribadi dalam melaksanakan ajaran agama,
jadi tidak perlu melibatkan aparat yang berwenang dalam hal ini Kantor Urusan
Agama ( KUA ). Disamping itu pernikahan sirri juga dianggap sebagai jalan
pintas bagi pasangan yang menginginkan pernikahan namun belum siap atau ada
hal- hal lain yang tidak memungkinkannya terikat secara hukum.
Ati
merasa tidak ada yang salah dengan pernikahan sirrinya, toh dengan
sepengetahuan isteri pertama dan dengan alasan ingin mendapatkan keturunan.
Sebelum menikah Ati sendiri tahu, kalau pernikahannya tidak dicatatkan. Yang
melatarbelakangi pernikahan sirrinya adalah status sebagai isteri kedua dari
seorang Pegawai Negeri, tidak memungkinkan pernikahannya dicatatkan. Sementara
pernikahan Tini lebih didasari konflik batin akibat kekhawatirannya untuk
berbuat maksiat. Meskipun tidak disetujui oleh kedua orang tuanya, sepasang
remaja yang saling mencintai tersebut tetap melangsungkan pernikahan siri. Mereka
berdua masih kuliah dan belum siap menghadapi kehidupan rumah tangga yang
sesungguhnya bila pernikahannya dicatatkan. Sementara Tatik akan merasakan beban
yang lebih berat bila pernikahan tidak dilangsungkan, mengingat bayi yang ada
dalam kandungannya membutuhkan seorang ayah. Sebaliknya, pernikahan Ida justru memicu konflik batin yang membuat kuliah Ida
terbengkalai. Pernikahan tersebut terjadi karena perjodohan. Orang tuanya menikahkan secara siri karena khawatir melihat
hubungan Ida semakin lengket dengan teman kuliahnya. Kasus Syekh Puji lebih
didasari karena pernikahan dibawah umur sehingga sangat tidak memungkinkan bagi
mereka untuk mencatatkan pernikahannya.
Membaca dan mempelajari kasus-kasus diatas, peneliti bisa
mengurai beberapa
permasalahan-permasalahan yang mendorong seseorang memilih nikah siri sebagai
alternatif perkawinannya.
Faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya pernikahan sirri adalah :
l Nikah sirri dilakukan karena
hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak.
Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan
anaknya dengan calon pilihan mereka. Alasan ini bisa dilihat pada kasus Ida. Orang
tuanya sudah menjodohkan dengan Joko tanpa sepengetahuan Ida. Mengetahui Ida
sudah punya pacar, orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak
diambil oleh orang lain.
l Nikah sirri dilakukan karena
adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu atau kedua pihak sebelumnya
pernah menikah secara resmi dan telah mempunya istri atau suami yang resmi,
tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain. Hal ini bisa dilihat pada contoh
kasus Tatik dan Totok. Totok yang sudah berkeluarga, melakukan hubungan
terlarang yang berimbas pada hamilnya Tatik. Pernikahanpun dijalankan tanpa
sepengetahuan isteri pertama.
l Nikah sirri dilakukan
dengan alasan seseorang merasa sudah tidak bahagia dengan pasangannya, sehingga
timbul niatan untuk mencari pasangan lain. Contoh kasus ini terjadi pada Ito.
Terlepas dari bahagia dan tidaknya, pernikahan terasa belum lengkap karena
belum punya anak. Dengan dalih ingin memiliki keturunan, ia menikahi Ati
sebagai isteri keduanya.
l Nikah sirri dilakukan
dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran-kekhawatiran
tersebut dialami oleh pasangan mahasiswa Tono dan Tini. Hubungannya yang
semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan
yang melanggar syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang
mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran
terjadinya zina.
l Nikah sirri dilakukan
karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial. Hal ini
biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina,
mereka masih kuliah, belum punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah
tangga. Status pernikahanpun masih disembunyikan supaya tidak menghambat
pergaulan dan aktivitas dengan teman-teman di kampus.
l Nikah Sirrri sering
ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan
sejumlah alasannnya tersendiri. Seperti contoh-contoh kasus berikut : a) Pujiono
menikahi Ulfa yang masih dibawah umur, sebagai isteri kedua. Yang menjadi kontroversial
adalah usia Ulfa masih 12 tahun. Dengan dalih sah secara Agama, dan berpedoman
kepada pernikahan Rasul dan Aisyah yang masih berumur 9 tahun, pernikahan
tersebut berlangsung bahkan dengan persetujuan orang tua Ulfa dan isteri
pertama Pujiono. Namun karena sorotan dari berbagai kalangan, Pujiono akhirnya
mengembalikan Ulfa kepada orang tuanya. b).
Pernikahan yang pernah terjadi antara Rhoma Irama dengan Angel Lelga yang menurut
beberapa sumber media, Rhoma menikahi Angel karena dia bersedia menjadi
muallaf. Pernikahan tersebut ditutupi
salah satunya karena khawatir popularitas keartisannya akan pudar. Nyatanya,
setelah terekspos media masa, Rhoma Irama justru menceraikan Angel Lelga. c).
Pernikahan Bambang Triatmojo dan Mayangsari. Sebagai orang terkenal di Indonesia,
pernikahan sirri dalam poligami yang dilakukan Bambang tersebut salah satunya bertujuan
menghindari publikasi media. Ketika pers mengulas berita tersebut, yang terjadi
adalah konflik berkepanjangan dengan isteri pertamanya, Halimah, bahkan dengan
anak-anaknya. Disinilah sebenarnya keabsahan nikah sirri harus dipertanyakan
kembali.
l Nikah sirri dilakukan
karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi
pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan
dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang
menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua
permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya,
pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan.
l Nikah sirri dilakukan
hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah
ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus
melewati prosedur yang berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal
ini sangat merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada
penghargaan terhadap lembaga pernikahan baik secara Islam maupun secara hukum.
l Nikah sirri dilakukan
untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit. Biasanya pernikahan
semacam ini dilakukan oleh kalangan pendatang yang tidak mempunyai KTP. Di
Jakarta banyak terjadi di lingkungan pendatang yang hidup di lingkungan kumuh
dan tidak menetap. Disamping alasan biaya, alasan administrasi juga menjadi
kendalanya.
l Nikah sirri dilakukan
karena alasan pernikahan beda agama. Biasanya salah satu pasangan bersedia
menjadi muallaf ( baru meragama
Islam) untuk memperoleh keabsahan pernikahannya.
l Dan masih banyak
faktor-faktor lain yang menurut peneliti, semua alasan tersebut mengarah kepada posisi perkawinan sirri
dipandang sebagai jalan yang lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami
isteri.
5.2 Problem yang
Menyertai Nikah Sirri
Pernikahan
merupakan perbuatan hukum, jadi segala sesuatu yang ditimbulkan akibat
pernikahan adalah sah secara hukum. Mengingat pernikahan sirri cacat secara
hukum, maka tidak ada perlindungan hukum bagi suami, isteri maupun anak.
Problem-problem yang muncul mayoritas adalah problem hukum yang mungkin tidak
pernah dibayangkan ketika seseorang pertamakali memutuskan untuk menikah sirri.
Dalam hal ini isteri adalah pihak yang
paling dirugikan sementara suami hampir tidak mempunyai kerugian apa-apa.
Kasus pernikahan Tatik adalah contoh
nyata, sebagai perempuan dia tidak pernah mendapatkan hak, layaknya seorang
isteri pada umumnya. Sejak diketahui dirinya hamil, masalah demi masalah muncul
tak terbendung. Kehamilannya merupakan
beban batin yang harus di tanggung sendiri tanpa suami disisinya. Sementara
suami lebih banyak menghabiskan waktu dengan isteri pertama dan anak-anaknya. Ia
harus menutup telinga dari gunjingan
masyarakat sekitar. Belum lagi tuduhan negatif dari isteri pertama yang
menganggapnya sebagai perempuan perebut suami orang. Permasalahan menjadi
semakin komplek ketika anak sudah lahir dan beban yang dihadapi semakin berat.
Sebagai isteri yang tidak mendapat perlindungan hukum, Tatik hanya pasrah atas
apa yang dialami. Sebulan sekali suami datang menengok dianggap sudah mewakili bentuk
pertanggungjawaban atas hubungannya. Disamping konflik dengan isteri
pertamanya, posisi Totok sebagai PNS tidak memungkinkannya untuk menikahi Tatik
secara resmi. Imbas dari pernikahan semakin dirasakan ketika Tatik berusaha mempertanyakan
hak nafkah anak, yang menurutnya sangat tidak adil dibanding anak-anaknya
dengan isteri terdahulu. Namun tentu saja
hal itu tidak membuahkan hasil karena posisinya sebagai isteri tidak
tercatat secara resmi. Berbeda dengan pernikahan Ati yang sedari awal sudah
mendapat lampu hijau dari beberapa pihak termasuk isteri pertama. Tidak ada
kendala pada awalnya. Bahkan perjalanan rumahtangganya pun menurutnya,
normal-normal saja. Tapi siapa sangka yang terjadi justru perceraian. Posisi
sebagai isteri kedua dengan pernikahan tidak dicatatkan pada akhirnya tidak membawa ketenangan dalam diri Ati. Ruang kerja
suami juga tidak bisa menerima eksistensinya. Ironis sekali dengan kondisi
ketika melangsungkan pernikahan siri dengan alasan untuk ketenangan batin. Setelah
bercerai, apakah Ati mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang seharusnya ia
dapatkan? Tentu saja tidak. Kalau kondisi menjadi seperti itu, ketenangan batin
yang mana yang sebenarnya dia cari. Begitu juga Tini dan Tono, setelah menikah
justru perasaan bersalah kepada orang tua menjadi problem batin tersendiri. Interaksi
dengan teman-teman di kampusnyapun tidak sebebas dulu. Sama dengan yang
dirasakan Ida, yang meskipun tinggal berlainan kota, tapi statusnya sebagai
seorang isteri sangat mengganggu hubungan dengan teman-temannya, bahkan mengganggu
kondisi psikhisnya. Persoalan yang dihadapi Ida mungkin lebih kepada perjodohan
yang dipaksakan, jadi pernikahan siri yang terjadi adalah hal di luar
keinginannya. Sebaliknya, Tini menyadari bahwa orang tua tidak menyetujui, oleh
karenanya komunikasi dengan orang tua berjalan kurang baik. Termasuk masalah
biaya hidup dan biaya sekolah sekarang harus dia tanggung sendiri berdua dengan
Tono. Statusnya yang mahasiswa dengan nyambi bekerja part time untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, bukan hal yang gampang dilakukan remaja seusianya. Beruntung orang
tua segera merespon kehamilan Tini dan kemudian menikahkannya secara resmi di
KUA setempat.
Pada dasarnya dalam setiap
perkawinan selalu akan muncul problem yang menyertai. Sejauh perkawinan itu sah
secara hukum, maka problem-problem tersebut dapat diatasai secara hukum.
Berbeda dengan pernikahan siri yang bisa dikategorikan sebagai tindakan yang
melanggar hukum. Jadi permaslahan-permasalahan yang muncul, tidak bisa diselesaikan
secara hukum. Sebut saja pernikahan
antara Syekh Puji dengan Ulfa. Dengan dalih sah secara agama, seorang laki-laki
bebas untuk menikahi perempuan manapun yang ia mau, bahkan bila harus
berbenturan dengan hukum positif tempat dimana dia tinggal. Apalagi bila posisi
laki-laki tersebut adalah tokoh agama yang mempunyai banyak santri, calon
isteri yang akan dinikahi merasa terangkat status sosialnya. Namun, bagaimana
dengan lingkungan dan masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan keputusan
tersebut? Bagaimana dengan UU Perkawinan yang sudah diabaikan, ditambah
pengabaian terhadap UU Perlindungan anak, perlindungan terhadap hak kesehatan
reproduksi perempuan dan sebagainya. Seorang anak usia 12 tahun, seharusnya
diberi kesempatan untuk berkembang dan menikmati masa menjelang remaja
sebagaimana anak-anak seusianya. Kesehatan reproduksinya masih belum
memungkinkan untuk diperlakukan sebagaimana perempuan dewasa, yang bila tidak
diperhatikan tentunya rawan terhadap berbagai penyakit yang berhubungan dengan
organ kewanitaan.
Problem-problem di atas hanya
sebagaian kecil dari banyak kasus-kasus pernikahan siri yang lain. Harus diakui
bahwa pernikahan siri rawan sekali terhadap konflik, baik konflik internal
dalam rumah tangga maupun konflik eksternal yang berhubungan dengan hukum dan
masyarakat. Problem-problem tersebut di antaranya adalah :
·
Problem keluarga. Konflik
dalam keluarga ini bisa muncul bila :
a). Pernikahan sirri yang dilakukan tidak atas
persetujuan orang tua atau sebaliknya, paksaan dari orang tua. Seperti kasus
yang dialami oleh Tini dan Tono. Setelah pernikahannya, Tini sangat tertekan
karena perang dingin dengan keluarga besarnya. Komunikasi yang biasa terjalin
dengan lancar, harus terputus karena keputusan untuk menikah meski tanpa
persetujuan orang tua. Perasaan tersebut semakin berlarut-larut karena bukan
hanya ayah ibunya saja yang merasa kecewa atas tindakannya, tetapi juga
saudara-saudara juga keluarga besar dan bahkan keluarga dari pihak Tono. Tini
merasa diasingkan dari keluarga yang dulu begitu menyayanginya. Problem phikhis
ini sangat mengganggu kelancaran studi dan hari depannya kelak. Atau kasus Ida,
setelah dipaksa menikah merasa sangat membenci orang tuanya yang menurutnya sangat
tidak demokratis. Hubungan orang tua dan anak otomatis menjadi terganggu, dan
sebagai imbasnya Ida tidak punya gairah lagi untuk menyelesaikan kuliahnya. b).Perselingkuhan.
Nikah sirri yang terjadi karena perselingkuhan biasanya memunculkan
problem keluarga yang lebih rumit. Problem
dengan isterinya yang sah tentu tidak bisa dianggap sepele. Seperti kasus Tatik
yang harus menanggung konflik berkepanjangan dengan keluarga isteri pertama.
Diperparah dengan penilaian negatif masyarakat tentang dirinya. Kasus Bambang
Triatmojo dan Mayangsari adalah kasus pernikahan siri yang berbuntut panjang.
Bagaimana Mayangsari harus bertahan dari tekanan pihak isteri dan anak-anaknya
yang sah. sementara dia sendiri sebenarnya butuh dukungan, perhatian, dan butuh
kekuatan untuk bisa tetap eksis di tengah-tengah penilaian negatif masyarakat
terhadap dirinya. Ini merupakan gambaran
yang sangat kontras dengan kondisi ketika pernikahan siri pertama kali
dilangsungkan, dengan tujuan menghindari zina, ketenangan batin dan
tujuan-tujuan mulia yang lain.
c)
Poligami.
Pernikahan sirri yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini identik dengan
perselingkuhan dan poligami. Seperti yang terjadi pada Ati, meski tidak ada
masalah dengan isteri pertamanya, namun status dan kedudukannya sebagai isteri
kedua tidak diterima oleh tempat kerja suaminya. Poligami pada keluarga Totok
dan Tatik justru menimbulkan permasalahan keluarga yang imbasnya kerugian pada
pihak perempuan. Masyarakatpun seakan
tidak bisa memahami bahwa perempuan adalah korban dan butuh dilindungi. Yang terjadi
justru sebaliknya, prasangka dan pandangan negatif justru lebih banyak
ditujukan kepada pihak perempuan daripada pihak laki-laki.
d). Beda agama.
Pernikahan sirri sendiri adalah pelanggaran terhadap hukum positif. Bila
dilakukan karena alasan beda agama, misal salah satu ingin menjadi muallaf tapi
belum siap secara kaffah, maka permasalahan yang muncul adalah status anak dan
benturan dengan hukum positif. Bila seseorang menjadi muallaf hanya untuk
melegalkan pernikahan secara Islam saja, maka keabsahan pernikahannya
dipertanyakan. Problem akan muncul pada anak-anak ketika melewati tahap
perkembangan. Bagaimana seorang anak harus memilih agama orang tuanya yang
berbeda. Lebih parah lagi kalau anak tersebut tidak bisa memilih dan akhirnya
tidak memiliki konsep aqidah tidak jelas.
·
Problem Ekonomi dan Studi
Problem ekonomi ini biasanya menyertai para mahasiswa yang tanpa
sepengetahuan atau tanpa persetujuan orang tua melakukan nikah siri. Mereka
harus mencari biaya sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di
tengah aktivitasnya sebagai mahasiswa, dia harus bisa membagi waktu untuk
kuliah, pekerjaan dan keluarga barunya. Hal ini tentu akan berimbas pada
studinya yang tidak lancar, bahkan terhenti karena pernikahan yang dilakukan
cukup menyertakan problem-problem yang serius. Contohnya pada kasus Tini yang
terpaksa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan Ida yang
stress berat tidak sanggup lagi menyelesaikan studinya.
·
Problem Hukum
·
Nikah sirri adalah pelanggaran
terhadap hukum. Kalau saja pemerintah bisa lebih tegas lagi, maka para pelaku
nikah sirri bisa dikenakan sanksi hukum. Menurut Ketua Pengadilan Agama Gunung
Kidul, sanksi yang tercantum dalam UU No.1 tahun 1974
tentang ketentuan pidana , relatif jarang diterapkan bagi pelanggarnya,
meskipun pidana itu diberlakukan, ternyata hukumannya sangat ringan. Bisa jadi
hukum pidana sulit diterapkan karena harus berbenturan dengan hukum Islam,
meski, bila konteks nikah siri mendatangkan banyak kemadlaratan, secara Islam sendiri
belum tentu sah.
Problem hukum dalam pernikahan sirri terjadi pada pihak perempuan dan
anak. Sebagai isteri yang sah secara agama, istri tidak bisa menuntut hak
nafkah lahir batin, hak waris bila terjadi perceraian, hak pengaduan bila
terjadi kekerasan dalam rumah tangga, atau hak perlindungan hukum bila
ditinggal pergi tanpa pesan. Posisi suami yang tidak tersentuh hukum,
memunculkan ruang yang lebar bagi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri. Kekerasan tersebut banyak dijumpai entah
dalam bentuk kekerasan fisik, psikhis, ekonomi maupun kekarasan seksual.
Problem hukum yang harus dihadapi perempuan akan dibahas pada sub bab
tersendiri setelah ini. Yang jelas pernikahan ini sangat menguntungkan pihak suami, karena a). suami bebas untuk
menikah lagi, karena perkawinannya dianggap tidak pernah ada secara hukum, b).
Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberi nafkah kepada
isteri dan anak-anak, c). Suami tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono
gini, warisan, hak nafkah isteri maupun hak nafkah dan hak pendidikan anak
ketika terjadi perceraian.
·
Problem Sosial dan Psikologis
Hidup serumah tanpa bisa menunjukkkan surat nikah resmi merupakan hal
yang tidak semua orang bisa memaklumi. Masyarakat akan mempertanyakan, mengapa
harus menikah sirri, mengapa harus sembunyi-sembunyi. Dan pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan merebak membawa image negatif bagi perempuan pelaku nikah sirri.
Hamil dulu kah ? Perempuan simpanan kah ? Tidak disetujui orang tua ? Dan
bermacam-macam parasangka lain yang memicu pergunjingan di kalangan masyarakat.
Para perangkat desa sejujurnya juga kesulitan untuk mendata status keluarga
tersebut karena bukti tertulis tidak bisa ditunjukkan. Kondisi ini bisa
menmyebabkan sulit beradaptasi dengan lingkungan, sulit terbuka karena
pernikahannya dilakukan secara tidak normal, dan akhirnya bisa terisolasi dari
lingkungan, yang akan berdampak pada kondisi psikhis terutama prempuan. Baik
itu pernikahan siri yang dilakukan oleh masyarakat awam maupun publik figur. Semua
contoh kasus nikah siri di atas menyisakan problem sosial. Hanya saja kadar
tekanan dari masyaarakat berbeda. Kasus Syekh Puji mungkin yang paling
menghebohkan, karena semua pihak turut tangan. Komnas Perlindungan Anak adalah
yang paling berupaya keras menghalangi pernikahannya. Sayangnya, tidak ada
cendekiawan muslim, alim ulama maupun tokoh agama yang bisa memberi penjelasan
tentang makna nikah sirri yang sesungguhnya. Melihat kondisi tersebut, pada
akhirnya justru melicinkan anggapan masyarakat bahwa pernikahan sirri merupakan
alternatif tercepat untuk melegalkan hubungan suami isteri. Benarkah Islam
demikian ?
·
Problem Agama
Pernikahan sirri dalam poligami yang dilakukan oleh Aa’ Gym, Rhoma Irama
maupun Syekh Puji adalah gambaran nyata, bahwa para ulama maupun publik figur
justru menguatkan anggapan masyarakat bahwa nikah sirri adalah alternatif yang
dilakukan bila seseorang ingin melakukan hubungan suami isteri secara halal
atau untuk berpoligami. Mengingat banyak sekali dampak negatifnya, peran tokoh agama seharusnya adalah memberi
pengertian bahwa pernikahan siri bukan hal yang positif terutama bagi kaum
perempuan. Yang terjadi justru pernikahan sirri dilakukan oleh para pemuka
agama. Disinilah sebenarnya nikah sirri meski sah secara agama, namun menjadi
problem agama tersendiri yang harus segera dicari penyelesaiannya. Nikah sirri
memang sah secara Islam, namun dampak negatifnya jauh lebih banyak daripada
ketenangan batin yang didapat. Fenomena yang terjadi sekarang adalah nikah sirri
ditempuh oleh berbagai kalangan terkesan hanya ingin mencari solusi atas hasrat
seksualnya yang sudah tidak terbendung. Kalau opini negatif masyarakat tentang
nikah sirri sudah terbentuk seperti ini, bukankah ini sama saja dengan opini
negatif terhadap Islam. Disinilah pernikahan sirri yang keabsahannya secara
agama justru mendatangkan madlarat yang lebih besar.
5.3. Dampak Hukum
Nikah Sirri bagi Perempuan
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap
sah, namun perkawinan yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan pengawasan pegawai
pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata
hukum. Dampak dari perkawinan sirri bagi perempuan adalah :
·
Secara hukum. a). Pihak
isteri tidak di anggap sebagai isterinya
yang sah. Akibatnya, suami mempunyai kebebasan secara hukum. Termasuk bila
kemungkinan terjadi pengingkaran atas perkawinannya, atau suami menikah lagi
secara tercatat dengan perempuan lain, sebagai isteri tidak bisa menuntut
apa-apa. b). Pihak isteri tidak bisa memperoleh perlindungan
hukum bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena secara hukum status
suami yang terbebas dari tanggungjawab, maka bukan tidak mungkin jika pernikahan
siri membuka peluang terjadinya kekerasan terhadap isteri. Bila terjadi kekerasan
terhadap isteri, baik kekerasan fisik, psikhis maupun kekerasan seksual, maka
isteri tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum sesuai yang tercantum dalam UU
No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. c). Pihak isteri tidak
berhak memperoleh harta gono gini bila terjadi perpisahan atau perceraian. Kalau
mungkin isteri bisa mendapatkan sebagian harta suami, semata-mata berdasarkan
pemberian suami bukan atas dasar
pembagian yang sesuai dengan hak yang seharusnya ia dapatkan. d). Perempuan tidak
berhak atas hak nafkah dan hak warisan jika suami meninggal dunia. Jika
posisinya sebagai isteri kedua, maka hak waris jatuh ketangan isteri dan
anaknya yang sah. Hal tersebut bisa dipahami, karena secara hukum pernikahan
dianggap tidak pernah terjadi. e). Semua
dampak hukum yang menjadi beban isteri di atas juga berlaku pada anak yang
dilahirkan atas pernikahan siri tersebut. Bagaimana akan menuntut hak nafkah,
hak pendidikan, hak perwalian maupun hak waris jika secara hukum anak tersebut
dianggap tidak pernah ada. Untuk mengurus akta kelahiran dibutuhkan surat
nikah, sementara surat nikah tidak pernah dibuat. Kesulitan-kesulitan anak
tersebut merupakan kesulitan berlipat bagi ibu, karena siapa lagi yang akan mengurus
masalah prosedural anak jika suami meninggal,
pergi tanpa keterangan yang jelas, atau menikah lagi dengan wanita
lain. Status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak tersebut hanya mempunyai
hubungan perdata dengan si Ibu. Bila ada akta kelahiran, statusnya dianggap
sebagai anak ibu, sehingga hanya dicantumkan nama ibu tanpa nama ayah. Anak
juga tidak berhak atas biaya kehidupan, biaya pendidikan dan hak waris dari
ayahnya. f). Dampak yang
mengkhawatirkan adalah bila kemudian pasangan nikah siri berusaha untuk
memalsukan data-data, misalnya akta nikah dan akta kelahiran anak. Hal ini
bukan tidak mungkin terjadi, karena untuk mengurus itsbat baik itsbat nikah
maupun pengakuan anak tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara
tidak bisa diprediksikan bila suatu saat keluarga tersebut membutuhkan dokumen
itu secepatnya untuk kepentingan yang sangat penting. Bila sudah seperti ini,
perlu ada revisi kembali tentang keabsahan nikah siri, supaya tidak terkesan
menghindari perbuatan dosa dengan menambah dosa-dosa yang lain yang lebih
besar.
·
Secara Sosial. a).
Perempuan biasanya akan sulit bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Anggapan tinggal serumah tanpa ikatan yang sah akan berdampak kepada berbagai
macam prasangka negatif dari masyarakat, yang ujung-ujungnya merendahkan
perempuan. Hamil sebelum nikah atau isteri simpanan, atau prasangka-prasangka
lain yang mengarah kepada pelecehan status perempuan. Sementara lelaki
terkadang malah dianggap sebagai penyelamat, jantan karena bisa melakukan
poligami, punya daya tarik karena banyak perempuan mau menjadi isterinya, dan
anggapan-anggapan lain yang sangat patriarkhis. b). Perempuan sebagai pihak
yang seharusnya dilindungi, justru dirugikan dari berbagai aspek. Secara hukum perempuan
sudah tidak diakui, ditambah dengan beban phikhis opini masyarakat yang
memposisikannya secara tidak adil. Belum lagi kalau suami memperlakukannya
secara tidak adil, beban itu akan menjerat terus sampai suami bersedia
menceraikan, atau justru mengitsbatkan pernikahannya. c). Beban sosial tersebut
pastinya juga akan berpengaruh kepada jiwa anak. Seorang anak akan merasa
tersisih dari pergaulan bila statusnya sebagai anak kandung mulai
dipertanyakan. Apalagi di saat-saat usia sekolah. Ketidakjelasan statusnya secara
hukum tersebut, mengakibatkan hubungan antar ayah dan anak tidak kuat, sehingga
bisa saja sewaktu-waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak
kandungnya.
5. 4. Nikah Sirri Sah
dan Meresahkan Kaum Perempuan.
Kaum perempuan seharusnya menolak
dengan tegas dilangsungkannya pernikahan sirri, karena nyata-nyata sekali
pernikahan membawa kerugian mendasar bagi kaum perempuan, sementara pihak
laki-laki justru diuntungkan dengan kondisi itu. Pada
awalnya mungkin dianggap sebagai bentuk pertanggunjawaban laki-laki yang
bersedia menjalin hubungan lebih serius lagi. Akan tetapi selanjutnya tidak
bisa dihindari, permasalahan-permasalahan khususnya yang berkaitan dengan
hukum, akan selalu menyertai perjalanan para pelaku nikah siri.
Bapak Hardi (31), seorang warga
masyarakat di salah satu wilayah di Kecamatan Banguntapan, Bantul mengatakan,
bahwa salah sendiri perempuan mau dinikah secara siri. Mestinya dia tahu
resiko-resiko yang akan terjadi. Kalau resiko sudah dihadapi, baru teriak minta
perlindungan atas ketidakadilan yang terjadi. Mendengar komentarnya, enak
sekali dia mengklaim perempuan seakan-akan sebagai makhluk yang mau dibodohi.
Tapi secara nyata, kaum perempuan memang harus pandai membaca peristiwa yang
sekiranya bisa merendahkan martabat perempuan. Bapak Hardi tidak salah, memang
ada beberapa wanita yang justru menyediakan dirinya dinikahi meski secara siri.
Namun pernyataannya adalah memojokkan kaum perempuan yang seharusnya
dilindungi, dipikirkan jalan keluarnya bukan malah dipandang dengan –lagi lagi-
stereotipe negatif yang sepertinya tidak bisa lepas dari kaum perempuan.
Padahal perempuan tidak mungkin melakukan pernikahan tanpa ada laki-laki.
Pernikahan
yang dianggap sah secara agama tersebut justru memunculkan banyak sekali kemadlaratan.
Misalnya kasus Syekh Puji, meski pada akhirnya pernikahan tersebut ditunda
sampai usia Ulfa memenuhi syarat batasan umur dalam sebuah pernikahan, namun
bisa dibayangkan, gadis berumur 12 tahun harus menanggung beban psikhis seberat
itu, disaat seharusnya dia menikmati masa remaja seperti anak-anak seusianya. Untuk kembali ke bangku
sekolah tentu membutuhkan waktu yang cukup lama akibat trauma psikhis atas
kasus yang dialami. Bisa dikatakan bahwa dia sudah menyandang status janda
untuk usia yang masih sangat belia. Begitu juga dengan pernikahan siri pada
kasus poligami yang lain, hampir dipastikan tidak terlepas dari beban hukum dan
beban psikhis bagi kaum perempuan. Pernikahan siri yang dilakukan
oleh Tono dan Tini adalah pernikahan yang masih beruntung karena status pernikahannya segera disahkan
di Pengadilan Agama setempat (Itsbat nikah), sebulan sebelum anaknya
lahir. Dengan membawa bukti-bukti fisik tentang pernikahannya di Pengadilan
Agama, kemudian Pengadilan Agama mengeluarkan surat keterangan bahwa
pernikahannya adalah sah, selanjutnya dimintakan akta nikah di KUA setempat.
Menurut
Ketua Pengadilan Agama Kab. Gunung Kidul, salah satu faktor yang
melatarbelakangi seorang pria melakukan nikah siri adalah alasan ingin
berpoigami. Bagi pria yang sudah menikah, dan ingin memiliki istri lagi (poligami), nikah sirri
merupakan jalan pintas yang relatif tidak memerlukan proses yang panjang (
karena harus ada ijin dari Pengadilan Agama). Pengadilan Agama hanya akan
mengijinkan pernikahan jika terdapat ijin dari isteri sebelumnya. Namun jalan
tersebut dianggap terlalu berbelit-belit, dan pernikahan siri dianggap sebagai
solusi yang cepat.
Bapak Bejo (60), seorang anggota masyarakat yang pernah menjabat sebagai
ketua RT salah satu desa di Kab. Banguntapan Bantul mengatakan, pada akhirnya
pernikahan siri merepotkan masyarakat sekitar. Misalnya saja ada satu pasang
suami yang menikah secara siri, dan tinggal satu rumah. Akan kesulitan bagi
pengurus kampung untuk mendata status pernikahannya. Belum kalau dipergunjingkan
masyarakat, kenapa kok menikah siri, ada apa ya, kok tidak langsung diresmikan
saja dan sebagainya dan sebagainya. Hal itu tentu akan memancing keingintahuan
masyarakat sekitar yang pada awalnya aman tidak ada prasangka, harus terganggu
dengan adanya pernikahan siri tersebut. Memang perlu digarisbawahi bahwa
pernikahan siri sudah menjadi bagian dari problem sosial yang harus segera
diantisipasi secara tegas.
Seperti yang terjadi di daerah Pontianak yang peneliti akses dari harian
Pontianak Post tanggal 30 Januari 2008, bahwa Departemen Agama Kabupaten
Sambas menerapkan Tim Siaga Toga yang
khusus memberantas para pelaku nikah sirri dan penganut aliran sesat. Pembentukan tim ini merupakan hasil
pertemuan tokoh agama, unsur P3N (Penghulu Desa), Petugas BP-4 Desa, penyuluh
agama Islam desa, tokoh agama desa dan kecamatan, di KUA Kecamatan Pemangkat,
Kabupaten Sambas." kata Azhari, S.Ag, selaku Kepala KUA Kecamatan
Pemangkat. Langkah tersebut sudah merupakan upaya positif dari daerah setempat,
mengingat maraknya pernikahan siri yang terjadi sangat mengganggu ketentraman warganya. Karena pernikahan
tersebut tidak tercatat secara hukum dan merupakan bentuk pelanggaran terhadap
Undang-undang, bahkan terhadap Syariah Islam.
Menurut bapak Andy Dermawan (38),
seorang akademisi di salah satu Perguruan Tinggi Agama di Yogyakarta,
pernikahan sirri adalah pernikahan yang sebenarnya tidak rasional, menurutnya
pernikahan adalah rahmat dan kebahagiaan, kenapa harus ditutup-tutupi, layaknya
seseorang yang mendapatkan rahmat adalah membagi rasa syukur itu kepada orang
lain, bukan malah disembunyikan. Kalau memang harus disembunyikan, yang
kemudian justru memunculkan konflik, apa bisa disebut rahmat ? Masih menurut
beliau, bahwa pernikahan sirri jelas sangat merugikan pihak perempuan. Karena
tidak ada payung hukum yang melindungi. Seorang suami tentu akan menuntut
hak-hak perempuan yang sudah menjadi isterinya, sementara perempuan tidak bisa
menuntut hak-hak yang seharusnya sebagai isteri ia dapatkan, apalagi kalau sudah
menyangkut masalah hukum, perempuan akan sangat terpojok. Mengantisipasi hal
itu, dibutuhkan peran tokoh-tokoh agama untuk memberi penjelasan tentang makna
dan tujuan pernikahan dalam Islam, serta meninjau kembali, benarkah pernikahan
siri seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini sudah sesuai dengan tujuan
pernikahan dalam Islam ?
Perlu
dicermati kembali, bahwa Rasul menganjurkan untuk menikah bagi yang sudah
mampu. Dalam konteks pernikahan sirri tersebut, benarkah kriteria “mampu” bisa
diterapkan. Bukankah
para pelaku nikah siri hanya ”mampu” memenuhi syarat rukun pernikahan dalam
Islam, tetapi ”belum mampu” untuk memenuhi persyaratan dalam Undang-undang ?
Apakah ketidakmampuan memenuhi persyaratan Undang-undang yang justru akan
memunculkan serentetan permasalahan bisa
ditolerir begitu saja, sementara
keabsahan nikah siri dalam Islam lebih banyak dijadikan sebagai
alternatif untuk melegalkan hubungan seksual yang praktis dan murah. Dalam hal
ini kaum perempuanlah yang paling dirugikan. Menurut hemat peneliti , kriteria
”mampu” disini perlu diperjelas bahwa mampu melaksanakan pernikahan sesuai
rukun dan syarat Islam, juga mampu memenuhi persyaratan dalam Undang-undang
Perkawinan.
Tinjauan
dari segi hukum Islam juga perlu dipertanyakan kembali. Pendapat yang
mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, harus dikaitkan
dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan
jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan,
apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan
melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan persemendaan, pengasuhan anak,
dan hak waris. Kalau pada zaman Rasul perkawinan tidak dicatatkan adalah karena
alasan belum membudayanya budaya tulis. Namun pada prinsipnya konsep diterapkan
hukum Islam adalah kemaslahatan untuk umatnya. Jika akibat dari pernikahan sirri
justru merugikan pihak perempuan, bahkan merugikan masyarakat dan agama, apakah
hal itu bisa disebut bagian dari hukum Islam yang mengandung kemaslahatan untuk
umatnya.
5.4. SOLUSI BAGI
PELAKU PERNIKAHAN SIRRI
Sebagaimana
dalam teknis analisis SWOT, bahwa dalam pernikahan sirri memunculkan banyak sekali
kelemahan ( Weekness ) dan ancaman ( Threats). Kekuatan (Strength ) yang ada tidak bisa
menghindarkan diri dari kelemahan dan ancaman-ancaman yang akan muncul.
Satu-satunya cara untuk mengatasi problem yang sudah terjadi adalah dengan memanfaatkan
peluang (Oppurtunity) yang ada untuk
menghilangkan hampir semua kelemahan dan ancaman yang akan timbul. Ada 2
peluang yang ditawarkan sesuai dengan kadar kekuatannya yaitu : 1) Itsbat
Nikah, 2). Walimah Al-Ursy.
1. Mencatatkan Perkawinan dengan Itsbat nikah.
Bagi
yang beragama Islam yang perkawinannya
tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat Nikah ke
Pengadilan Agama (KHI, pasal 7 ayat 2). Itsbat Nikah dimungkinkan bila
berkenaan dengan hal-hal : a). Dalam rangka Penyelesaian Perceraiana,
b).Hilangnya Akta Nikah, c). Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawinan, d). Perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU no 1
Tahun 1974, e). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut UU no 1 Tahun 1974 (KHI, pasal 7 ayat 3). Artinya,
bila ada salah satu dari kelima alasan tersebut dapat dipergunakan, maka
permohonan pengesahan perkawinan bisa diajukan ke Pengadilan Agama. Tetapi
untuk perkawinan bawah tangan ( pernikahan siri) yang dilakukan setelah
berlakunya UU no 1 tahun 1974, hanya dimungkinkan itsbat nikah dalam rangka
proses perceraian. Hal ini akan sulit sekali bagi pasangan nikah siri yang
justru ingin melanggengkan pernikahannya secara resmi. Bila permohonan ditolak,
jalan keluar yang dilakukan adalah menikah (lagi ) secara resmi dan tentunya
dengan prosedur awal lagi.
Menurut wawancara penulis dengan
bapak Ahsan Dawi, M.Ag., selaku Hakim di Pengadilan Agama Wonosari, pasal 7 KHI
terutama pada butir a dan butir e masih rancu. Pasal –pasal tersebut berdiri
sendiri atau merupakan satu kesatuan masih sulit untuk diidentifikasi. Kasus
pengesahan pernikahan siri secara resmi, meski tidak dalam rangka perceraian
otomatis sudah masuk dalam alasan pengajuan itsbat point e, yaitu bahwa
perkawinan mereka tidak mempunyai
halangan perkawinan. Fakta yang terjadi di lapangan, menurut Ahsan, bahwa
proses itsbat yang sering diajukan adalah perkawinan yang dilakukan sebelum
berlakunya UU no.1 Tahun 1974. Adapun yang berkaitan dengan pernikahan siri,
sejauh ini sangat tergantung pada kebijaksanaan Hakim. Misalnya pasangan nikah
siri yang sudah mempunyai anak dan ingin
pengesahan secara resmi, biasanya Hakim lebih memandang kepada sisi
kemaslahatan pasangan. Meski ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 7 KHI, pertimbangan maqashid asy-syari’ah lebih
dikedepankan. Contoh kasus yang sudah terjadi adalah pengajuan itsbat nikah
oleh Ayu Azhari, yang menuntut keabsahan pernikahannya dengan Mike Tramp. Meski
pernikahan sirinya dilakukan pasca berlakunya UU No 1 tahun 1974, permohonan
itsbatnya dikabulkan. Dan sekarang pasangan tersebut sudah terikat dalam
perkawinan yang sah secara hukum.
Syarat-syarat pengajuan permohonan itsbat nikah antara lain
1). KTP pihak-pihak yang berkepentingan, 2). Surat Penolakan dari KUA setempat, ( surat
keterangan ini menegaskan penolakan pihak KUA untuk mengeluarkan surat Nikah,
sampai mendapatkan surat pengesahan dari Pengadilan Agama setempat).
Proses itsbat nikah tersebut tidak
terlalu rumit sebagaimana persidangan- persidangan yang lain. Bila bukti fisik
pernikahan sirinya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, maka itsbat diterima
dan akta nikah bisa dikeluarkan sesuai dengan tanggal pernikahan siri. Dengan
status tersebut, otomatis status anak akan bisa diurus dan anak bisa memperoleh
akta yang sah. Namun jika pernikahan siri tidak bisa dibuktikan, atau itsbatnya
ditolak oleh Pengadilan Agama, maka
langhkah berikutnya adalah menikah ulang dengan perkawinan baru. Hukum tidak
berlaku surut, dengan demikian status anak yang lahir sebelum perkawinan ulang
tetap sebagai anak di luar nikah, kecuali bila anak lahir setelah perkawinan
ulangnya, maka status anak tersebut adalah anak
sah secara hukum.
Dengan permohonan Itsbat nikah, maka segala sesuatu yang berhubungan
dengan hukum dalam perkawinan sirinya akan bisa diatasi. Dalam hal pernikahan
siri yang sudah terjadi, segeralah pihak perempuan aktif mempertanyakan kembali
statusnya lewat itsbat nikah. Supaya segera ada perlindungan hukum terhadapnya.
Dan pada dasarnya, tujuan pernikahan adalah menciptakan ketenangan batain lahir
dan batin, dunia dan akhirat. Bukan hanya keabsahan secara agama, tapi juga
harus ada keabsahan hukum.
2. Mengadakan Walimatul Ursy
Walimatul Ursy atau resepsi
pernikahan ini hanya sebagai bentuk rasa syukur dengan cara memberitahukan
kepada masyarakat sekitar bahwa telah terjadi pernikahan yang resmi antara
sepasang laki-laki dan perempuan. Hal ini akan mengurangi problem sosial, dan
mengurangi opini masyarakat tentang prasangka negatif atas perkawinan yang
terjadi. Dengan walimatul ursy ini diharapkan mempelai bisa bersosialisasi
dengan masyarakat secara baik tanpa khawatir ada gunjingan yang membebani batinnya. Jadi tidak ada
alasan mengapa pernikahan harus dirahasiakan bila memang sudah mampu dan siap
secara lahir dan batin. Karena pernikahan adalah perbuatan hukum, yang harus
ditegaskan dalam surat nikah, demikian juga pernikahan adalah rahmat, yang
harus disebarkan kepada sesama supaya tidak menimbulkan fitnah.
Mencerna kembali problematika yang
menyertai pernikahan siri, sebenarnya sangat tergantung bagaimana perempuan
memposisikan statusnya dalam pernikahan. Bila perempuan tetap berpegang pada
keabsahan pernikahan siri dengan mengesampingkan hak-hak yang seharusnya ia
peroleh, maka kaum lelaki akan merasa semakin nyaman memposisikan sebagai suami
tanpa sedikitpin ada beban hukum. Tapi bila perempuan menyadari bahwa ada
prinsip kesetaraan dalam relasi perkawinan, ada prinsip keseimbangan antara
suami dengan isteri, ada hak dan kewajiban, maka seharusnya payung hukum yang
sudah dibuat oleh Pemerintah melalui UU Perkawinan di manfaatkan.
Pada
prinsipnya, konsep pernikahan sesuai maqasid al-syariah sudah jelas
diperuntukkan kelanggengan pernikahan
yang mawaddah wa rahmah sampai akhir zaman. Proses pernikahan siri
mungkin bisa dikatakan sah secara agama, membawa ketenangan batin, terhindar
dari zina dan sebagainya. Tapi hanya untuk beberapa saat saja, karena sederet
permasalahan yang menyertaipun sudah terbaca bahkan sebelum perkawinan
berlangsung. Seharusnya kaidah fiqhiyah ” dar’ul mafasid muqoddamu ala jalbi
al-mashalih ” lebih sesuai
diterapkan, karena menghindari kemafsadatan harus didahulukan daripada menutup
kemaslahatan. Hal ini nampak sekali dalam pernikahan siri, yang meski sah
secara agama, namun orang sengaja menutup mata atas resiko-resiko dan
kemadlaratan yang akan terjadi. Bila sudah seperti ini, haruskan nikah siri
dibiarkan merebak dengan membiarkan kaum perempuan sebagai korban. Hukum Islam
sangat menjunjung tinggi derajat kaum perempuan, jadi kasus pernikahan siri
tersebut perlu ditinjau ulang keabsahannya.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berkut :
1.
Pada dasarnya pernikahan sirri dilakukan karena ada hal-hal
yang dirasa tidak memungkinkan bagi pasangan untuk menikah secara formal. Ada
banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan sirri, yang menurut
peneliti, semua alasan tersebut mengarah
kepada posisi perkawinan sirri dipandang sebagai jalan pintas yang lebih mudah
untuk menghalalkan hubungan suami isteri.
2.
Problem yang menyertai pernikahan sirri yang paling nyata
adalah problem hukum khususnya bagi perempuan, tapi juga problem intern dalam
keluarga, problem sosial dan phiskologis yang menyangkut opini publik yang
menimbulkan tekanan batin bagi pelaku, problem agama yang perlu mempertanyakan
lagi keabsahan nikah sirri yang
akhir-akhir marak terjadi di Indonesia..
3.
Dampak pernikahan sirri bagi perempuan adalah secara hukum, isteri tidak dianggap sebagai
isteri sah, tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, tidak berhak
mendapat harta gono-gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku
bagi anak kandung hasil pernikahan siri. Adapun dampak sosial lebih kepada
benturan-benturan dengan pandangan
negatif masyarakat tentang status pernikahan siri, yang bisa menimbulkan
tekanan batin bagi pelaku terutama perempuan, juga kemungkinan terisolir dari
lingkungan masyarakat.
Saran :
1.
Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, dari pemerintah
maupun pemuka agama akan dampak-dampak negatif dari pernikahan sirri.
2.
Perlu ditinjau kembali tentang keabsahan nikah sirri secara
Islam.
3.
Bagi perempuan, perlu mempertimbangkan kembali untuk
melakukan pernikahan sirri, karena dampak hukum sangat merugikan pihak
perempuan dan anaknya kelak.
4.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan lebih detil
tentang pelaku pernikahan sirri dari berbagai kalangan.
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan
Terjemahan (1999), Departemen Agama RI,
Jakarta
Arivia,
Gadis (2003) Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta,Yayasan Jurnal
Perempuan
Anderson, J.N.D,
Hukum Islam di Dunia Moder, (1994) Yogyakarta,Tiara Wacana
Assad, Mohammad (1980) , The
Message of the Alqu’an, Giblartar
Bisyri , Mohammad Hasan (2004) , Problematika Nikah Sirri dalam Negara Hukum
Jurnal Hukum Islam, STAIN Pekalongan,
Vol. 2, No.1, April 2004
Bogdan, Robert dan Steven
J. Taylor(1992), Pengantar Metoda
Penelitian Kualitatif; Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial,
terj. Arief Furchan, Surabaya,Usaha Nasional
Halim, Abdul (2003), Nikah
Bawah Tangan dalam Perspektif Fuqoha dan UU No.1 Tahun 1974, Jurnal Sosio-Religia,Vol.3 No. 1, November 2003
Handayani, Trisaksi dan Sugiarti(2006), Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, UMM Press, cet. 2., 2006.
Hidayati ,Titiek Rohanah(2002), Perempuan dan Pernikahan Siri di Kalangan
Mahasiswa STAIN Jember, Jurnal Fenomena, STAIN Jember, Vol.1 No.2,
Juli 2002
Hoy, Wayne K ( 1991), Educational Administration ,McGray-Hill, USA
Keddie, R Nikki ( 1991),
Women in Middle Eastern History, Shifting Boundaries in Sex and Gender, New Heaven, Yale University
Press.
Khallaf, Abdul Wahhab (1994), Ilmu
Ushul Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994.
Maleong, L.J (1991) Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung,
Remaja Rosdakarya
Nurun, Najwah (2004), “Benarkah Nikah Sirri dibolehkan”, dalam Mohammad Sodik, (ed.), “Telaah Ulang Wacana Seksualitas” kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga,
Depag dan CIDA, Yogyakarta,Januari, 2004
Schein , H. Edgar (1992) , Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: Jose-Bass
Publishers
Strauss, Anselm dan
Juliet Corbin (1997), Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif; Prosedur, Teknik, dan Teori Grounded, terj. H.M.
Djunaidi Ghony, Bina Ilmu,Surabaya
Thontowi, Jawahir (2002), Islam, Politik dan Hukum, Yogyakarta, Madyan Press
Varma,
S.P.(1982) , Teori Politik Modern (1982), Jakarta, Rajawali Press
Yunus, Mahmud (1996), Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab
Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali ,Jakarta ,Hidakarya Agung
Zuhaili , Wahbah ( 1989), All-Fiqh
al-Islam wa adillatuhu, Beirut,
Dar-al-Fikr
LAMPIRAN 1
Instrument Guide
( Panduan
Wawancara )
- Suami dan Isteri
- Sudah berapa lama anda melangsungkan pernikahan dengan suami ?
- Apakah anda punya akta nikah ?
- Apakah anda tahu bahwa pernikahan anda hanya sah secara agama tapi tidak secara hukum negara ?
- Siapakah yang pertama mengungkapkan keinginan untuk menikah siri, (anda, isteri anda, kesepakatan anda dengan isteri, pihak keluarga atau pihak-pihak lain )?
- Faktor apa yang mendorong anda melangsungkan pernikahan siri ?
( ekonomi, agama/ ketenangan batin, masyarakat, kesiapan
mental, kesiapan materi, menghindari konflik, dan lain-lain ).
- Selama anda menikah, pernahkah terjadi konflik dalam rumah tangga yang berkaitan dengan status pernikahan anda?
( misal : akta nikah yang berhubungan dengan
mencari pekerjaan, akta kelahiran anak yang berhubungan dengan pendidikan, dan
lain-lain).
- Apakah konflik tersebut sangat mengganggu stabilitas rumah tangga ?
- Bagaimana anda mengatasi konflik tersebut ?
- Apakah anda pernah berpikir untuk mencari solusi untuk melegalkan pernikahan anda, misal dengan itsbat nikah ?
- Apakah anda sering mendiskusikan ini dengan pasangan anda ?
- Isteri
- Apakah anda sering mengalami kekerasan dari suami baik secara fisik maupun psihis ? ( misal : bentakan, perlakuan kasar, kekerasan fisik dsb)
- Apakah anda sering mengalami konflik batin yang berkepanjangan dalam kasus ini ?
- Apakah anak anda sering menjadi sasaran dalam konflik rumah tangga anda?
- Apakah anda sering mendengar pandangan masyarakat tentang status pernikahan anda ?
- Dengan status pernikahan anda, apakah anda pernah berpikir tentang hak-hak anda dan anak-anak anda bila nantinya terjadi perceraian ?
- Tokoh Masyarakat
- Bagaimana pendapat anda tentang fenomena nikah siri yang marak terjadi di kalangan masyarakat ?
- Menurut anda, lebih banyak dampak negatif atau dampak positifnya ?
- Apakah perlu diadakan antisipasi khusus untuk mengatasi hal itu?
- Apakah perlu ada penyuluhan hukum untuk mengatasi terjadinya fenomena tersebut ?
- Bagaimana pengamatan anda tentang pasangan yang melangsungkan pernikahan siri, terutama dilihat dari stabilitas rumah tangganya ?
- (Untuk Praktisi Hukum ), : Selaku praktisi hukum di PA, pernahkah anda menjumpai kasus itsbat nikah ? Apa yang dikemukakan oleh pasangan sehingga dia mempunyai niat untuk itsbat nikah ?
LAMPIRAN 2
Riwayat Hidup :
v Biodata Ketua Peneliti
1. Syukri Fathudin Achmad Widodo
Lahir di Kab. Semarang, 12 Maret 1975, Pendidikan S
1 di Jurusan Tarbiyah Progdi Pendidikan Agama Islam STAIN Salatiga (1998), S2
Program Studi Manajemen Pendidikan Pasca Sarjana UNNES Semarang (2002), Dosen
Tetap pada Jurusan Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Teknik dan UPT MKU UNY (
mulai tahun 2003).
v Pengalaman Penelitian
-
Studi Korelasi Konsep Diri dan Motivasi Belajar
siswa SMP Muhammadiyah Ambarawa Kab. Semarang ( Skripsi, 1998)
-
Hubungan Konsep diri dan Motivasi Berprestasi dengan
Kinerja Guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kecamatan Ambarawa Kab.Semarang ( Tesis, 2002)
-
Upaya Dosen dalam Optimalisasi Pembelajaran ditinjau
dari heterogenitas karakterisik mahasiswa ( Penelitian Fakultas Tahun 2005, sebagai
Ketua)
-
Analisis Hasil Tugas Akhir Skripsi Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Teknik Mesin FT UNY Tahun
2006 (Penelitian Fakultas tahun
2006, sebagai Ketua )
v Publikasi
-
Peningkatan mutu Pendidikan Agama Islam ( PAI) melalui
Kurikulum berbasis kompetensi (
Jurnal Humanika UPT MKU UNY, Vol.5 Nomor 1 , Maret 2005)
-
Pendidikan Agama Islam
berbasis kompetensi ( Jurnal INKOMA UNDARIS, Tahun 17, Nomor 1, Februari 2006)
-
Menerapkan Metode
Cooperative Learning dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ( Jurnal
Humanika UPT MKU UNY,Vol.6 Nomor 1 , Maret 2006)
-
Reorientasi
Pembelajaran dalam era Ilmu Pengetahuan ( Jurnal Racmi, LPMP DIY, Vol.05. No.1
Mei, 2006)
-
Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Agama Islam (
Jurnal Humanika UP-MKU UNY Vol.8 Nomor 1, Maret 2008)
Demikian data yang kami
buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 2008
Yang
menyatakan,
Syukri Fathudin AW, M.Pd
NIP.132302946
v Biodata Anggota Peneliti
2. Vita Fitria.
Lahir di Kendal, 2 Agustus 1971, Pendidikan S1 di
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ( 1996), S2 Program Studi Hukum
Islam Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004), Dosen Tetap
Pendidikan Agama Islam di UPT MKU Universitas Negeri Yogyakarta
(mulai 2006).
v Penelitian
-
Studi tentang Putusan Pengadilan Agama
Kendal mengenai penolakan permohonan cerai ( Skripsi,
1996)
-
Kekerasan terhadap isteri dalam perspektif
Al Qur’an ( studi surat An Nisa (4) ayat 34 ( Tesis , 2004)
v Publikasi
-
Penerapan
keluarga sakinah dalam Dinamisasi perkembangan zaman ( Jurnal Hisbah,
Vol.III No.1 2004)
-
Sebagai Asisten Peneliti dalam Andi Dermawan, “Marital Rape dalam Perspektif Al Qur’an” dalam Telaah ulang Wacana Seksualitas,
PSW UIN Sunan Kalijaga (2004)
-
Islam dan Hak Asasi Manusia ( Jurnal Humanika UP MKU
UNY, Vol.8 Nomor 1 Maret 2008, ISSN 1412-1271)
Demikian data yang kami buat dengan
sebenarnya
Yogyakarta,
2008
Yang
menyatakan
Vita Fitria, M.Ag
NIP. 150377488
B. DRAF ARTIKEL ILMIAH
Pernikahan
sirri, yang secara agama dianggap sah, pada kenyataannya justru memunculkan
banyak sekali permasalahan yang berimbas pada kerugian di pihak perempuan. Nikah
siri sering diambil sebagai jalan pintas pasangan untuk bisa melegalkan
hubungannya, meski tindakan tersebut pada dasarnya adalah pelanggaran
terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang
pencatatan perkawinan. Peneliti berusaha mengungkap faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi seseorang melakukan pernikahan siri, disamping problem-problem
dan dampak nya yang berimbas pada perempuan.
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan memperoleh pemahaman yang
mendalam dibalik fenomena yang terjadi seputar pernikahan sirri dan
problematikanya. Analisis data menggunakan SWOT gender analisis.
Dengan
meneliti tiga orang responden yang tinggal di wilayah D.I.Yogyakarta, dan
beberapa kasus pembanding, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa yang
melatarbelakangi dilakukannya pernikahan siri secara kasus per kasus memang
berbeda, namun secara umum pernikahan siri dilakukan karena alasan ingin
memperoleh keabsahan secara agama, sehingga tercipta ketenangan batin, minimal
terhindar dari perbuatan maksiat.. Dengan menggunakan wawancara mendalam,
peneliti berhasil mengungkap problem-problem yang dialami para responden dalam
pernikahan sirinya. Problem mendasar yang dirasakan oleh para perempuan pelaku
nikah siri justru problem psihis dan tekanan batin sebagai akibat dari
ketidakpastian hukum tentang status pernikahannya. Beban psikhis tersebut juga
terjadi karena stereotipe masyarakat terhadap perempuan pelaku nikah siri yang
dianggap sebagai isteri simpanan, hamil di luar nikah, selingkuhan dan
sebagainya.
Melihat
lebih banyak kelemahan dan ancaman yang terjadi dalam pernikahan sirri, maka
kelebihan yang ada tidak akan bisa mengatasi problem yang dihadapi kecuali
memanfaatkan peluang yang ada yaitu itsbat nikah. Berbagai kemadlaratan
yang muncul dalam pernikahan sirri, nampaknya juga perlu dikaji lebih serius
lagi tentang keabsahan nikah sirri yang selama ini dijadikan jalan pintas untuk
menghalalkan hubungan suami isteri.
Berdasar dari penelitian yang
berperspektif perempuan, penelitian ini diharapkan dapat membuka ruang fikir
perempuan, bahwa dalam negara hukum seperti di Indonesia, nikah sirri bukanlah alternatif terbaik untuk mengatasi
problem prosedur perkawinan.
Hasil Penelitian ini akan kami
kirimlan pada Jurnal Hasil Penelitian Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
terakreditasi A (ISSN : 0854-2732) pada awal Januari 2009.
C. SINOPSIS
PENELITIAN LANJUTAN
Mengingat keterbatasan masalah penelitian ini yaitu tentang faktor-faktor
yang melatarbelakangi nikah sirri, problema apa saja yang menyertai nikah sirri
dan dampak hukum nikah sirri bagi perempuan maka kami merencanakan untuk meneliti
lebih lanjut tentang Pemukulan terhadap
istri kajian tafsir pada ayat 34 dalam
Al Qur’an surat
An Nisa ditinjau dari aspek paedagogis.
Adapun yang menjadi rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana
latar belakang turunnya Surat
an- Nisa'(4): 34.
b. Bagaimana
relevansi penafsiran ayat tersebut dengan tindak kekerasan terhadap isteri yang
terjadi dewasa ini.
c. Bagaimana
penerapan ayat tersebut ditinjau dari aspek paedagogis.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara
mendalam bagaimana penafsiran terhadap surat an-Nisa' (4): 34 terutama yang
berkaitan dengan kekerasan terhadap isteri. Dari sini bisa diketahui bagaimana
sebenarnya Alquran sebagai kesatuan yang kohern memperlakukan dan memposisikan
perempuan. Disamping itu juga mengkaji lebih jauh tentang aspek-aspek
paedagogis dalam penerapan ayat tersebut.
Sedangkan kegunaan penelitian ini , mampu memunculkan
pemahaman baru yang bisa memberikan kegunaan sebagai sumbangan ilmu
pengetahuan, dalam bidang pengembangan metode penafsiran dan pemahaman terhadap
Alquran, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan posisi perempuan. Pada gilirannya dapat
berguna untuk menghilangkan kesalahpahaman atas penafsiran Surat an-Nisa' (4):
34 yang sering dijadikan sebagai legitimasi atas terjadinya tindak kekerasan
terhadap isteri, baik di kalangan ulama maupun masyarakat muslim pada umumnya.
Metode Penelitian
· Sumber Penelitian
Penelitian
ini adalah library research (penelitian literer), yakni mendasarkan pada
data - data sebagai berikut :
1.
Sumber Primer yaitu Alquran al-Karim terutama
Surat An-Nisa' (4): 34 dan Alquran dan Terjemahnya oleh Departeman Agama RI.
2.
Sumber Sekunder yaitu penafsiran-penafsiran dari ayat
tersebut baik yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir konvensional maupun
penafsiran-penafsiran kontemporer. Yang penulis maksud dengan penafsiran
kontemporer adalah pemaknaan terhadap ayat dengan tidak hanya terpaku pada
aspek literalnya saja, melainkan sudah menerapkan unsur-unsur tematik dan
hermeneutik dalam pendekatannya. Sedang penafsiran konvensional lebih
memfokuskan pada kajian tekstual ayat.
3.
Sumber selanjutnya adalah tulisan-tulisan lain yang
secara spesifik menelaah tentang kekerasan dalam rumah tangga terutama
kekerasan terhadap isteri yang tersebar di dalam buku, jurnal, artikel maupun
laporan hasil penelitian lapangan dari berbagai instansi yang konsen di
bidang itu.
4.
Berikutnya peneliti juga merujuk pada buku, tulisan,
jurnal ataupun artikel yang berhubungan dengan aspek psikologis maupun
paedagogis yang berkaitan dengan tema kekerasan terhadap isteri.
5.
Di samping itu juga tulisan/artikel maupun buku-buku
yang berhubungan dengan ketertindasan kaum perempuan secara umum baik yang pro
dan kontra, juga penafsiran terhadap ayat-ayat lain dalam Alquran (termasuk
juga hadist) yang cenderung menimbulkan perdebatan seputar prinsip kesetaraan
perempuan dan laki-laki, utamanya aspek tindak kekerasan terhadap isteri.
· Rancangan Penelitian
1.
Penelitian ini bersifat diskriptif analisis. Langkah
awal penelitian ini adalah mengumpulkan semua bahan yang diperlukan, baik
primer, sekunder maupun bahan penunjangnya.
2.
Data yang terkumpul dipilah-pilah dan diseleksi.
Selanjutnya mendeskripsikan dan mensistemasikan data tersebut agar mempermudah
melakukan analisis.
3.
Data tersebut
kemudian dianalisis. Agar analisis dapat dilakukan dengan baik, dan
kesimpulan yang ditarik juga tepat, maka diperlukan konsep-konsep untuk
analisis dengan makna yang jelas dan konsisten.
· Analisis Hasil Penelitian
Metode-metode yang peneliti gunakan dalam menganalisis hasil penelitian ini adalah:
1.
Metode analisis sejarah (historical analysis),
untuk memahami kondisi objektif bangsa Arab sebelum Al Quran diturunkan. Metode
ini juga sangat berguna untuk memahami fluktuasi peran laki-laki dan perempuan
dalam sejarah panjang umat Islam. Metode ini dihubungkan dengan asbabun
nuzul, sebagai upaya pemahaman terhadap sebuah teks berdasar latar belakang
turunnya, karena keduanya bisa saling melengkapi. Metode tematik, yaitu menganalisis secara tuntas
dan kritis makna ayat.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: pertama, disamping
ayat 34 Surat an-Nisa’, peneliti juga mengumpulkan ayat-ayat lain yang
berhubungan dengan posisi perempuan/ isteri dalam Al Quran, kedua,
seluruh ayat-ayat ini didiskusikan dengan metode tematik, ketiga, hasil
rumusan kedua langkah tersebut apakah sudah sesuai belum dengan prinsip Al Quran,
dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam hubungan rumah
tangga, yaitu prinsip kesetaraan.
2.
Metode
hermeunetik, mengingat objek dari penelitian ini adalah teks masa silam yang
menuntut pemahaman dan penghayatan di masa sekarang dan masa yang akan datang.
3.
Teori
Belajar tingkah laku ( behavioristik), dan teori belajar humanistik.
4.
Karena
penelitian ini sangat berhubungan dengan perempuan, maka di sini peneliti menggunakan analisis gender sebagai
pisau bedahnya. Konsep gender di sini adalah sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural. Jadi bukan merupakan sesuatu yang bersifat
kodrati, seperti perbedaan secara biologis.
0 comments:
Posting Komentar