Rabu, 19 Juni 2013

PENINGKATAN PELINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL



Pelindungan dan kesejahteraan sosial diperlukan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Meskipun telah banyak dicatat beberapa keberhasilan, beberapa masalah masih harus mendapat perhatian. Rendahnya kualitas penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dan belum terpenuhinya kebutuhan dasar manusia khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengakses berbagai sumber pelayanan sosial dasar. Kerawanan sosial ekonomi, ketunasosialan, keterlantaran, kecacatan, penyimpangan perilaku, keterpencilan, eksploitasi, dan diskriminasi, serta kerentanan sosial warga masyarakat yang berpotensi menjadi PMKS, juga merupakan masalah-masalah yang masih harus diatasi. Selain itu, bencana alam dan sosial, merupakan masalah yang kejadiannya sulit diperkirakan secara cepat dan tepat. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, langkah kebijakan yang telah dilakukan selama ini terus dilanjutkan guna menjaga kesinambungan program dan pelayanan bagi masyarakat, serta lebih meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan sosial. Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial ke depan diperkuat dengan lebih mengedepankan peran aktif masyarakat, diikuti dengan penggalian dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial dan gotong royong.

I.       Permasalahan yang Dihadapi
Rendahnya Kualitas Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Berbagai permasalahan pembangunan kesejahteraan sosial, yang bersifat konvensional, diperkirakan masih terus dihadapi dalam kurun waktu lima tahun ke depan, yang ditandai dengan masih rendahnya kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial, dan belum serasinya kebijakan kesejahteraan sosial di tingkat nasional dan daerah.
Belum terpenuhinya Kebutuhan Dasar Manusia. Kebutuhan dasar manusia seperti pangan, sandang, perumahan, dan interaksi sosial, khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengakses berbagai sumber pelayanan sosial dasar belum terpenuhi. Di samping itu, juga terjadi kerawanan sosial ekonomi, ketunasosialan, keterlantaran, kecacatan, penyimpangan perilaku, keterpencilan, eksploitasi, diskriminasi, dan kerentanan sosial warga masyarakat.
Permasalahan sosial yang sulit diperkirakan secara cepat dan tepat adalah bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, dan kekeringan, ataupun bencana sosial, seperti kerusuhan sosial. Kejadian bencana umumnya sulit diprediksi waktu kejadian dan lokasinya. Beragamnya kehidupan sosial budaya, etnik dan kepentingan sering memicu konflik yang dapat mengancam integrasi. Bencana alam dan sosial tersebut sering menimbulkan banyak korban yang menyebabkan terjadinya pengungsian di beberapa wilayah.
Masih Kurangnya Jumlah Tenaga Lapangan. Jumlah tenaga lapangan yang terdidik, terlatih, dan berkemampuan di bidang kesejahteraan sosial, dan jaringan kerja antara tenaga kerja sosial masyarakat masih lemah. Permasalahan tersebut, antara lain, disebabkan oleh masih lemahnya koordinasi kerja antarinstansi di tingkat nasional dan daerah, dan belum tertatanya sistem dan standar pelayanan minimal bidang kesejahteraan sosial. Terbatasnya jangkauan dan kemampuan pelaku pembangunan kesejahteraan sosial dari unsur masyarakat sebagai sumber dan potensi kesejahteraan sosial.
Sarana dan Prasarana bagi Penyelenggaraan Kegiatan Pelayanan, Rehabilitasi, dan Reintegrasi masih jauh dari memadai. Hal itu, antara lain, ditandai dengan masih terbatasnya jumlah SDM di bidang kesejahteraan sosial yang profesional. Selain itu, belum adanya indikator kesejahteraan sosial yang mapan dan beragamnya kriteria PMKS juga menghambat pelaksanaan program kesejahteraan sosial, terutama dalam penentuan sasaran.

II.     Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Di dalam pengembangan sistem pelindungan sosial, langkah kebijakan yang dilakukan, antara lain (1) menyerasikan dan menyusun peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan sistem pelindungan sosial; (2) mengembangkan kebijakan dan strategi pelayanan pelindungan sosial, termasuk sistem pendanaan; (3) menyempurnakan kebijakan yang berkaitan dengan pelindungan sosial bagi penduduk miskin dan rentan; dan (4) mengembangkan model kelembagaan bentuk-bentuk kearifan lokal pelindungan sosial.
Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pelindungan sosial, antara lain, adalah terselenggaranya bantuan kesejahteraan sosial permanen di 30 provinsi, yang dilaksanakan oleh sebanyak 229 organisasi sosial (Orsos)/LSM/yayasan/ lembaga-lembaga sosial yang melibatkan 2.640 orang.
Untuk melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, antara lain dilakukan dengan (1) menyusun kebijakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS; (2) meningkatkan kualitas pelayanan, sarana dan prasarana rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi PMKS; (3) meningkatkan pembinaan, pelayanan dan pelindungan sosial dan hukum bagi anak terlantar, lanjut usia, penyandang cacat, dan tuna sosial; (4) menyelenggarakan pelatihan keterampilan dan praktik belajar kerja bagi PMKS; (5) meningkatkan pelayanan psikososial dan pembangunan pusat pelayanan krisis (trauma center) bagi PMKS, termasuk korban bencana alam dan sosial; dan (6) melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai anti-eksploitasi, kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, reintegrasi eks-PMKS, dan pencegahan HIV/AIDS, serta penyalahgunaan Napza.
Sampai saat ini, hasil-hasil yang telah dicapai dalam penanganan kecacatan, keterlantaran, dan ketunasosialan yang ditangani selama sepuluh bulan terakhir ini, dilakukan, baik melalui panti maupun luar panti, yaitu (1) pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada 38.841 orang penyandang cacat, 5.900 anak cacat, 5.630 orang tunasosial yang terdiri dari pengemis, gelandangan, wanita tunasusila, dan 4.990 orang korban penyalahgunaan Napza; (2) pembinaan kepada 70.774 anak terlantar, 55.930 anak jalanan, dan 11.175 anak nakal; (3) pembinaan kepada 16.590 orang lanjut usia terlantar; (4) pelaksanaan program kompensasi pengurangan subsidi BBM bidang kesejahteraan sosial untuk panti pemerintah dan masyarakat di tiga puluh provinsi dengan target 149.022 orang dan 885 usaha ekonomis produktif (UEP); (5) pelaksanaan kegiatan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Sosial pada tiga Balai Besar Rehabilitasi dan tiga puluh Panti Sosial.
Dalam rangka pemberdayaan kelompok fakir miskin, KAT dan PMKS yang lain, dilakukan dengan (1) meningkatkan pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil dan PMKS lain, melalui peningkatan usaha ekonomi produktif (UEP) dan usaha kesejahteraan sosial (UKS) serta kelompok usaha bersama (KUBE); (2) meningkatkan kerja sama kemitraan pengusaha dengan KUBE dan LKM; (3) mengembangkan Geographic Information System (GIS) bagi pemetaan dan pemberdayaan KAT dan PMKS; dan (4) meningkatkan kemampuan bagi petugas dan pendamping pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, KAT, dan PMKS yang lain.
Hasil-hasil yang telah dicapai adalah (1) pemberian bantuan mesin jahit dan peralatan packing/sablon kepada 8.300 KK di sepuluh provinsi yang merupakan program kemitraan usaha antara kelompok usaha bersama fakir miskin (KUBE FM) dan swasta; (2) penyerahan bantuan sarana bakulan, berupa gerobak bakulan (bakso) kepada KUBE keluarga fakir miskin di lima provinsi sebanyak 1.000 KK; (3) pemberian modal usaha ekonomi produktif (UEP) dan modal usaha bergulir untuk KUBE fakir miskin yang diberikan melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan pendekatan bagi hasil (syari’ah) kepada 5.500 KK di sepuluh provinsi, dan dalam melaksanakan bimbingan teknis dilakukan bekerja sama dengan pusat inkubasi bisnis usaha kecil (PINBUK); (4) pemberian bantuan UEP melalui Surat Kuasa Uang (SKU) telah diberikan kepada 9.500 KK ekskorban kerusuhan di delapan provinsi dalam bentuk peralatan produksi, pemberian bahan usaha dan sarana prasarana; (5) penyerahan bantuan modal bagi KUBE di desa pesisir pantai, berupa bantuan usaha UEP untuk 8.450 KK masyarakat miskin di desa pesisir pantai di tujuh belas provinsi (dua puluh kabupaten/kota) diberikan dalam bentuk peralatan produksi, pemberian bahan usaha dan sarana prasarana ekonomi bidang pertanian, peternakan, perikanan, jasa perdagangan dan industri kecil dikelola melalui pola KUBE; (6) pemberian bantuan fakir miskin untuk penggemukan sapi kepada 2.700 KK fakir miskin di tujuh provinsi (sembilan kabupaten/kota) dengan fasilitas pemasaran dan bimbingan teknis oleh pihak swasta; (7) pemberdayaan fakir miskin di desa miskin dan sub-urban di sembilan provinsi sebanyak 5.500 KK; (8) pemberdayaan fakir miskin di daerah pesisir pantai di sepuluh provinsi sebanyak 5.450 KK; dan (9) penyusunan rencana pengembangan Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System/GIS) bagi pemetaan dan pemberdayaan KAT.
Pelaksanaan bantuan sosial, akan dilakukan dengan (1) menyusun berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial; (2) menyediakan bantuan dasar pangan, sandang, papan dan fasilitas bantuan tanggap darurat dan bantuan pemulangan/terminasi, serta stimulan bahan bangunan rumah bagi korban bencana alam, bencana sosial dan PMKS yang lain; (3) memberikan bantuan bagi daerah penerima ekskorban kerusuhan dan pekerja migran bermasalah; (4) memberikan bantuan bagi korban tindak kekerasan melalui pelindungan dan advokasi sosial; dan (5) menyelenggarakan bantuan dan jaminan sosial bagi fakir miskin, penduduk daerah kumuh, dan PMKS yang lain.
Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan bantuan sosial selama sepuluh bulan terakhir adalah (1) pemberian bantuan bagi korban bencana alam, yaitu bantuan tanggap darurat bagi 404.704 KK/2.023.571 jiwa korban bencana alam; (2) pemberian bantuan perangkat evakuasi (evacuation kit) berupa tenda peleton, tenda regu, perahu karet bermesin, genset, alat dapur umum lapangan (dumlap), velbed, rompi pelampung, alat komunikasi dan mobil dapur umum lapangan bagi daerah rawan bencana alam; (3) pemberian bantuan mobil dumlap sebanyak 13 unit yang berfungsi sebagai sarana dapur umum untuk menyiapkan masakan siap saji; (4) pemberian bantuan bahan bangunan rumah bagi korban bencana alam sebanyak 31.928 KK di tiga puluh provinsi; (5) pelaksanaan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional dalam bentuk temu Satgasos PB tingkat nasional (Jambore) di Cibubur, yang diikuti 310 peserta dari tiga puluh satu provinsi; (6) pembuatan gudang penanggulangan bencana di tiga puluh provinsi; (7) pemberian bantuan bahan bangunan rumah (BBR) bagi korban yang mengalami kerusakan rumah penduduk sebanyak 14.364 KK yang tersebar di tiga puluh provinsi; dan (8) pemberian bantuan lauk-pauk dan pemberdayaan korban bencana alam di tiga puluh provinsi, pemantapan instruktur, Satgasos PB, tim reaksi cepat dan penyelenggaraan dumlap di tiga puluh provinsi.
Bagi korban yang terjadi akibat konflik sosial di Ambon, Aceh, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan wilayah lain, antara lain adalah (1) pemberian bantuan pemulangan pengungsi ke daerah asal sebanyak 26.791 KK; (2) pemberian bantuan jaminan hidup bagi pengungsi Kalimantan Tengah etnik Madura yang berada di Madura Jawa Timur sebanyak 26.326 KK; (3) pemberian bantuan bahan bangunan rumah bagi pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.179 KK; (4) pemberian bantuan operasional kemanusiaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terkait dengan Operasi Militer; dan (5) pemberdayaan kearifan lokal pada daerah rawan konflik guna menyelesaikan konflik sosial di delapan provinsi seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, dilakukan dengan (1) meningkatkan kualitas SDM kesejahteraan sosial dan masyarakat (TKSM/relawan sosial, Karang Taruna, organisasi sosial, termasuk kelembagaan sosial di tingkat lokal); (2) meningkatkan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung upaya-upaya penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS; (3) membentuk jejaring kerja sama pelaku-pelaku Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS), masyarakat dan dunia usaha, termasuk organisasi sosial tingkat lokal; dan (4) meningkatkan pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan.
Hasil-hasil yang dicapai, antara lain, adalah (1) pembentukan kelompok wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat melalui pertemuan-pertemuan lembaga sosial komunitas lokal di tiga ratus desa yang tersebar di tiga puluh provinsi; (2) pelaksanaan uji coba model pemberdayaan di tiga puluh provinsi; (3) pelatihan petugas/fasilitator dan pendamping masyarakat sebanyak sembilan ratus orang (masing-masing tiga orang di setiap desa); (4) pemberdayaan 7.164 organisasi sosial masyarakat di seluruh Indonesia, 9.037 karang taruna, dan 26.364 pekerja sosial masyarakat; (5) pengadaan kerja sama kemitraan dengan dunia usaha di beberapa lokasi industri, termasuk pengembangan usahanya; dan (6) pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kejuangan, serta terpugarnya 58 taman makam pahlawan (TMP), 11 makam pahlawan nasional (MPN), dan 9 rumah perintis kemerdekaan.
Peningkatan penyuluhan kesejahteraan sosial, dilakukan dengan (1) meningkatkan penyuluhan kesejahteraan sosial, khususnya di daerah kumuh, perbatasan, terpencil, rawan konflik, rawan bencana, dan gugus pulau; (2) peningkatan kualitas dan kuantitas penyuluhan sosial melalui media massa cetak dan elektronik; dan (3) peningkatan kualitas penyuluhan kesejahteraan sosial melalui pelatihan teknik komunikasi.
Sampai saat ini, dalam peningkatan penyuluhan kesejahteraan sosial telah dicapai hasil, antara lain (1) sosialisasi pedoman penyuluhan sosial di tiga puluh provinsi; (2) pemantapan tim jembatan persahabatan bagi seratus orang; (3) penyuluhan sosial di daerah terpencil, rawan/pascakonflik rawan bencana dan gugus pulau kepada dua ratus orang; (4) penyuluhan sosial di daerah lintas batas negara di dua provinsi; dan (5) penyuluhan sosial melalui film, media masa cetak (majalah, koran, pamflet), dan melalui media elektronik (televisi dan radio).
Pengembangan dan keserasian kebijakan kesejahteraan rakyat, dilakukan dengan (1) melakukan sinkronisasi kebijakan dan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan; (2) menyerasikan penanganan masalah-masalah strategis yang menyangkut kesejahteraan rakyat, antara lain pengungsi dan korban bencana alam dan konflik sosial; dan (3) menyelaraskan kebijakan bidang kesehatan, termasuk penanggulangan HIV/AIDS, bidang lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan, pendidikan, budaya, pemuda, olah raga, aparatur negara, pariwisata, dan agama.
Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, adalah (1) koordinasi penyusunan dan sinkronisasi kebijakan serta upaya-upaya penanggulangan kemiskinan; (2) koordinasi pemberian bantuan bencana yang selama ini terjadi di berbagai wilayah; dan (3) penyerasian penanganan masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan rakyat, antara lain pengungsi dan korban bencana alam dan konflik sosial.

III.    Tindak Lanjut yang Diperlukan

Untuk mengatasi permasalahan yang masih akan dihadapi di masa datang, tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pembangunan pelindungan dan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut (1) mengembangkan alternatif kebijakan subsidi bagi penduduk miskin, termasuk sistem pendanaan dan kelembagaan; (2) melanjutkan berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS; (3) meningkatkan pembinaan, pelayanan dan pelindungan sosial dan hukum bagi korban eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak, dan korban kekerasan; (4) melakukan pelatihan keterampilan dan praktik belajar kerja bagi anak terlantar termasuk anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal; (5) membangun kerja sama kemitraan antara pengusaha dan kelompok usaha fakir miskin serta meningkatkan kemampuan (capacity building) bagi petugas dan pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS lain; (6) mengkaji dan meneliti kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial; (7) menyusun dan menetapkan standardisasi dan akreditasi pelayanan kesejahteraan sosial; (8) mengembangkan sistem informasi dan publikasi mengenai pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS; (9) meningkatkan kualitas SDM kesejahteraan sosial masyarakat, antara lain TKSM/relawan sosial, karang taruna, organisasi sosial, dan kelembagaan sosial di tingkat lokal; (10) meningkatkan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung upaya penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS; (11) meningkatkan kualitas penyuluhan kesejahteraan sosial, khususnya di daerah kumuh, perbatasan, rawan konflik dan gugus pulau, melalui media masa cetak dan elektronik; (12) menyediakan bantuan dasar pangan, sandang, papan, dan fasilitas bantuan tanggap darurat bagi korban bencana alam, bencana sosial dan PMKS lain, dan pemulangan/terminasi bagi korban bencana alam, bencana sosial, pekerja migran bermasalah, dan orang terlantar; dan (13) menyelenggarakan sistem jaminan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin, penduduk daerah kumuh, dan PMKS lain.

Selasa, 18 Juni 2013

Proses Pembuatan Kebijakan Undang-Undang Pelayanan Publik



BAB I
Pendahuluan

I.                   1 Latar belakang
Keberadaan demokrasi dan birokrasi dalam suatu negara merupakan sebuah keniscayaan. Hubungan maupun peranan antara keduanya sangat dekat dan runut. Secara sederhana hubungan antara birokrasi dan demokrasi bisa digambarkan sebagai berikut: Sistem politik dengan alur input-proses-output merupakan ranah demokrasi sebagai legislatif. Setelah melalui proses politik dihasilkanlah sebuah kebijakan, kemudian birokrasi sebagai lembaga eksekutif bertugas menjalankan kebijakan tersebut. 
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat pemisahan tegas antara birokrasi dan demokrasi. Demokrasi sebagai pembuat kebijakan dan birokrasi sebagai pelaksana kebijakan tersebut.
Meskipun terdapat pemisahan tegas, kenyataan di lapangan memperlihatkan lain. Terjadi kekaburan fungsi dan peran antara birokrasi dan demokrasi. Dalam Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma Eva Etzioni membahas mengenai dikotomi birokrasi demokrasi. Eva Etzioni (1983: 85-98) menawarkan tiga tesis mengenai hubungan antara kekuasaan birokrasi dan dilema demokrasi. Tesis pertama mengatakan bahwa bureaucracy generates a dilemma for democracy. Dalam tulisan tersebut Etzioni meyakini bahwa demokrasi akan efektif jika birokrasi dibuat kuat dan independen, tetapi dia mengingatkan bahwa kebutuhan tersebut akan berakibat birokrasi terlepas dari kontrol para politikus jika tidak didahului oleh reform yang memadai dan serius. Tesis kedua Etzioni tidak kalah penting untuk, yakni democracy generates a dilema for bureaucracy. Etzioni menyatakan bahwa dalam demokrasi, birokrasi diikat oleh dua hal. Pertama, dikendalikan oleh eksekutif meskipun dia harus bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukannya sendiri. Kedua, dia harus menjalankan kebijakan yang diambil para politikus meskipun dia harus berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Tesis ketiga yakni “These dielmmas exacerbate strains and power struggles on the political scene”. Reformasi administrasi harus mengimbangi besarnya kekuatan birokrasi.

Lebih lanjut dapat dijelaskan pada hubungan pemerintah dan DPR dalam proses pembuatan sebuah kebijakan. Birokrasi diartikan sebagai pemerintah, demokrasi diartikan sebagai parlemen yang mewakili rakyat yaitu DPR. DPR  bersama presiden sebagai lembaga yang berwenang membuat undang-undang. Kemudian pemerintah dengan jajaran kementerian dan departemennya menjalankan setiap kebijakan (UU) yang dihasilkan oleh DPR.
Namun pentingnya tugas dan fungsi DPR ini tidak diimbangi dengan sumber daya yang memadai, terutama sumber daya manusia. Masing-masing orang yang duduk di DPR tidak bisa dipastikan sebagai orang yang berkompeten pada bidang-bidang yang diwakilinya. Latar belakang ‘orang partai’ mewarnai bursa kursi yang ada di DPR. Kurangnya keahlian dan pengetahuan akan keadaan lapangan menyebabkan perumusan sebuah kebijakan terkesan lamban dan ‘asal jadi’.
Materi (draft) undang-undang itu sendiri seringkali diserahkan secara penuh kepada departemen terkait. Hal seperti ini akan mengakibatkan birokrasi yang terlalu mendominasi. Baik pembuatan kebijakan ataupun pelaksanaanya menjadi tanggungjawab satu lembaga saja yaitu pemerintah-birokrasi. Birokrasi yang sangat kuat akan mengakibatkan birokrasi tidak terkontrol oleh demokrasi. Walaupun demokrasi itu sendiri akan efektif jika birokrasi kuat dan independen. [1] Kondisi seperti ini akan menyebabkan ambiguitas birokrasi demokrasi dan dapat mengakibatkan ketegangan antara keduanya.
Mitra kerja DPR memanglah pemerintah, tetapi kondisi dimana wakil rakyat tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten harus segera ditindaklanjuti.


I.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan kebijakan undang-undang pelayanan publik ?
2. Bagaimana proses pembuatan  kebijakan undang-undang pelayanan  publik ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku ?
3. Bagaimana peran birokrasi, dalam hal ini kementerian pemberdayaan aparatur negara, dalam proses pembuatan kebijakan ?

I.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui proses pembuatan kebijakan
2. Mengetahui proses pembuatan undang-undang pelayanan publik ditinjau dari  peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Mengetahui peran birokrasi dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik
4. Sebagai prasayarat kelulusan mata kuliah

 

BAB  II  
Kerangka Teori

II.1. Batasan Mengenai Birokrasi
Teori Birokrasi menurut Weber
Weber sendiri tidak pernah mendefinisikan birokasi. Yang dilakukan Weber ialah melakukan konseptualisasi sejarah dan menyajikan teori-teori umum dalam bidang sosiologi. Diantaranya yang paling menonjol ialah teori mengenai birokrasi sehingga apabila kita membahas birokrasi, maka kita tidak lepas dari teori Weber mengenai birokrasi. 
Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi patrimonial merupakan tipe birokrasi yang tergantung pada pejabat-pejabat tidak bebas dari pada orang-orang yang diangkat berdasarkan kontrak. Jelas sekali bahwa instrik dalam pengertian birokrasi patrimoni ialah adanya sekelompok pejabat.

Karakteristik Birokrasi Weberian
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.  Maka dari itu, terkenal sekali Weber dalam konsepnya mengenai birokrasi yang ideal (ideal thypus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu struktur yang akan menjadi contoh semua sifat utama dari suatu tata administrasi yang diperhitungkan  untuk memenuhi sebaik mungkin fungsi-fungsi struktur semacam itu dalam suatu organisasi. Karakteristik structural tersebut ialah:
1.       Aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.
2.       Spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
3.      Hierarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
4.      Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
5.      Mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
6.      impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.
7.      Uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
8.      Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, dimana pemimpin mempraktekan kontrol atas bawahan. Sistem birokrasi menekankan pada aspek “dispilin”. Sebab itu,Weber juga memasukan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Dikatakan legal karena tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapapun juga. Rasional, karena dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya. Weber memandang birokrasi rasional sebagai suatu unsur utama didalam rasionalisasi modern, yang baginya merupakan proses sosial yang terpenting diantara semua proses sosial. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada dalam birokrasi, yang melputi:
1.   Kolegialitas, ialah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip ini dapat diterapkan untuk mencegah korupsi kekuasaan.
2.   Pemisahan kekuasaan. Berasti pembagian tanggung jwab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya saja, untuk menyepakati naggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
3.   Administrasi Amatir, dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mempu membayar untuk mengerjakan tugas birokrasi.  Misalnya, KPU “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, maka ibu-ibu rumah tangga dapat diberi kesempatan untuk membantu menghitung dan diberi honor.
4.   Demokrasi langsung. Hal ini berguna dalam mebuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indoneia, meskipun prerogative diangkat oleh Presiden, tetapi terlebih dahulu harus ada fit and proper test oleh DPR guna ada rasa tanggunga jawab kepada rakyat.
5.   Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kineja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengarui oleh pandangan-pandangan Max Weber. Dengan modifikasi dan penolakan atas pandangan Weber, anaisis birokrasi mereka lakukan.
            Dalam pembahasan makalah ini akan digunakan batasan birokrasi yaitu berdasarkan sisi pelaksana Birokrasi sektor publik juga berdasarkan dalam arti sempit yaitu birokrasi eksekutif

II. 2. Teori demokrasi
Cara pandang tentang demokrasi dari waktu ke waktu mengalami perkembangan sejalan dengan semakin kompleksnya hubungan antar warga. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “demos” dan “kratein”.

Definisi yang paling singkat tentang demokrasi adalah apa yang diucapkan oleh Abraham Lincoln diGettysburg, Pensylvania, Arnerika Serikat tahun 1863 yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Hingga saai ini, definisi ini terus digunakan dan berujung kepada dua pola makna, yaitu konsep bentuk negara (pemerintahan) dan konsep sistem nilai dari penyelenggaraan negara atau pemerintahan.[2]
Demokrasi dianggap sebagai suatu nilai yang tidak bisa dilepaskan dari bentuk Negara ( pemerintahan). Nilai- nilai dalam demokrasi harus dapat dikedepankan, agar Negara dapat berjalan efektif. Pada dasarnya sasaran dari demokrasi adalah kepentingan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dapat terjamin  dalam kehidupan Negara.

Menurut Juan J linz, ada beberapa kriteria demokrasi atau nilai-nilai yang  ada dalam demokrasi, yaitu
1.      Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai, bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang, diwujudkan dengan adanya kebebasan mendirikan partai-partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat.
2.      Persaingan yang bebas dan anti kekerasan di antara para pemimpin dengan kebebasan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan, diwujudkan dengan menyelenggarakan pemilu yang bebas dan jujur pada jangka waktu tertentu.
3.      Dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokratis; dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan politik mereka.
Menurut linz, nilai-nilai demokrasi diatas dapat dicapai atau suatu Negara dapat menuju suatu kondisi demokrasi dengan syarat kekuatan-kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sama-sama tunduk pada undang-undang dan terbiasa dengan upaya pemecahan konflik di dalam batas-batas undang-undang, prosedur, dan institusi tertentu yang ditetapkan melalui proses yang demokratis.[3]

Selain nilai-nilai diatas demokrasi juga diartikan sebagai adanya kontrol yang efekti oleh warga Negara terhadap kebijakan pemerintah. Menurut David Held ada tujuh prinsip utama penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi yaitu:
1. Masyarakat harus memerintah dalam arti semua harus terlibat dalam membuat undang-undang, memutuskan kebijaksanaan umum dan melaksanakan hukum.
2. Masyarakat secara perseorangan harus terlibat dalam pembuatan keputusan yang penting dalam arti memutuskan hukum-hukum publik dan masalah-masalah kebijaksanaan umum.
3.Para penguasa berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakanya kepada masyarakat.
4. Para penguasa harus bertanggung jawab kepada perwakilan dari masyarakat.
5. Para penguasa harus dipilih oleh masyarakat.
6. Para penguasa dipilih melalui representatif/perwakilan dari masyarakat.
7. Para penguasa harus bertindak sesuai dengan kepentingan masyarakat.[4]
Oleh karena itu, dalam suatu Negara hukum yang demokratis, penyelenggaraan pemerintahan harus senantiasa berprinsip kepada tujuh prinsip diatas. Salah satunya adalah harus terciptanya kebebasan berpartisipasi yang luas bagi masyarakat dalam hal politik,dimana didengarnya aspirasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan yang dilakukan oleh penguasa.

Tesis Dilema Kekuasaan Birokrasi dalam Demokrasi
(Eva Etzioni)
   Tesis pertama mengatakan bahwa “Bureaucracy generates a dilemma for democracy”.
Demokrasi akan efektif jika birokrasi dibuat kuat dan independen, tetapi dia mengingatkan bahwa kebutuhan tersebut akan berakibat birokrasi terlepas dari kontrol para politisi jika tidak didahului oleh reform yang memadai dan serius.
Birokrasi dapat memiliki kehendak sendiri di tengah gencarnya demokratisasi yang dilakukan oleh sebuah negara bangsa. “Bureaucracy also poses a threat to democracy in that it has increasingly gained the potential to exempt itself from the control of elected politicians and to infringe on their domain.”

         Tesis kedua Etzioni tidak kalah penting perlu dicermati terkait dengan penyelsaian tesis pertama yakni, “Democracy generates a dilemma for bureaucracy”.
Etzioni menyatakan bahwa dalam demokrasi, birokrasi diikat oleh dua hal: pertama, dikendalikan oleh eksekutif meskipun dia harus bertanggungjawab terhadap hal-hal yang dilakukannya sendiri; kedua, dia harus menjalankan kebijakan yang diambil para politisi meskipun dia harus berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan tersebut.
Intinya birokrasi adalah alat yang diharapkan harus mampu menempatkan diri dengan baik dan berkualitas sesuai kebijakan yang diambil para politisi. “The dilemma of bureaucracy in a democracy, as expressed in the ambiguities and contradictions built into bureaucracy’s role definition.”
         Tesis ketiga Etzioni menjadi pembuka pentingnya reformasi administrasi yakni “These dilemmas exacerbate strains and power struggles on the political scene.”
Etzioni meyakini bahwa demokrasi akan efektif jika birokrasi dibuat kuat dan independen, tetapi dia mengingatkan bahwa kebutuhan tersebut akan berakibat birokrasi terlepas dari kontrol para politisi jika tidak didahului oleh reform yang memadai dan serius.
Birokrasi dapat memiliki kehendak sendiri di tengah gencarnya demokratisasi yang dilakukan oleh sebuah negara bangsa. [5]

II.3. Kebijakan publik

Penyelenggaran pemerintahan yang mana dalam hal ini dilakukan oleh birokrasi eksekutif senantiasa dilakukan melalui kebijakan publik. Proses pembuatan kebijakan publik dalam Negara demokrasi yang konstitusional harus dapat melibatkan masyarakat luas ( public ) sebagai pihak yang sangat dipengaruhi dan menjadi objek kebijakan ini.[6]
Kebijakan publik merupakan suatu yang kompleks dan dinamis. Suatu kebijakan akan dibuat oleh pemerintah apabila muncul suatu permasalahan yang harus diselesaikan. Kebijakan sangat memperngaruhi kehidupan publik.


Definisi mengenai kebijakan public menurut sejumlah ilmuwan politik sebagai berikut (Winarno, 1989):
1. Carl J. Friedrick : “Public Policy is a proposed course of action af a person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities wich the policy was proposed to utilized and overcome in a effort to reach a goal or relized an objective or a purposed”. Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu
2. Thomas R. Dye : “Public Policy is whatever governments chose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah apa saja yang dpilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan
3. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky : Kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah
4. James W. Anderson : “Public Policy is a purposive course of action, followed by an actor or a set of actors in daling with a problem or metter of concern”. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Meninjau pendapat sejumlah pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan yang diambil pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal berkaitan dengan masalah-masalah public di negaranya berdasarkan pertimbangan atas dampak yang akan muncul dari pelaksanaan keputusan tersebut.
Kebijakan publik tersebut nantinya akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan serta petunjuk teknis yang berlaku. Kebijakan publik yang ada pada negara modern menjadikan pelayanan publik sebagai fokus utamanya, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak (Wikipedia, 2008).

Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Kebijakan Publik dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
  1. Agenda Setting è Identifikasi permasalahan, menelaah lebih jauh isu yang ada di masyarakat
Tahap ini dipengaruhi oleh dua hal yakni persepsi serta kemampuan diagnosis stakeholders, semakin tepat persepsi serta semakin tinggi kemampuan mendiagnosis para pengambil keputusan, maka akan semakin efektif solusi yang dapat dihasilkan. Hal yang dapat dilakukan untuk menghasilkan solusi yang lebih efektif antara lain[7] :
o        Mengidentifikasi faktor-faktor yang digunakan untuk mengevaluasi alternatif
o        Menggunakan bantuan decision support system (DSS)
o        Menggunakan intuisi sebagai refleksi dari tacit knowledge mereka

  1. Skala prioritas è menetapkan prioritas atas masalah-masalah publik (isu) tersebut berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki
  2. Formulasi kebijakan è merumuskan rekomendasi para stakeholder. Rancangan-rancangan kebijakan yang telah diajukan selanjutnya diseleksi dan diolah menjadi suatu rumusan kebijakan. Proses ini merupakan tahap yang paling menentukan keberhasilan kebijakan karena jika perumusan tersebut kurang tepat dan atau kurang komprehensif, maka kebijakan yang dihasilkan nantinya akan sulit diimplementasikan.
  3. Legitimasi kebijakan è pengesahan atas rancangan kebijakan yang telah disusun
  4. Pelaksanaan/implementasi kebijakan è Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2007) menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Tahapan ini sangat lah krusial karena sebaik apa pun kebijakan yang dibuat, jika tidak dilaksanakan secara maksimal, maka tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut akan sulit tercapai. Kebijakan yang ada hanya sebatas peraturan dalam kertas yang tidak terealisasi.
  5. Evaluasi kebijakan è pada tahap ini, dilakukan penilaian secara menyeluruh atas kebijakan yang telah dilaksanakan apa kah telah sesuai dengan sasaran yang dituju atau tidak. Evaluasi dilakukan untuk melihat kesenjangan yang ada antara harapan dengan kenyataan, kemudian diupayakan perbaikan atas kekurangan tersebut. Penilaian ini dilakukan oleh pemerintah, konsultan luar, pers, serta masyarakat secara umum.
Menurut Moore, terdapat 3 klasifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan public, yakni:
1.      Actor Publik
Actor public mencakup lembaga eksekutif  serta lembaga legislative. Pada lembaga eksekutif, para menteri yang berada di bawah presiden memiliki peran yang penting berkaitan dengan proposal kebijakan, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislative memiliki fungsi pokok melegitimasi sebuah rancangan kebijakan yang diajukan lembaga eksekutif.
2.       Actor Privat
Elemen yang menjadi actor privat ialah pressure and interest group ( kelompok penekan dan kelompok kepentingan), seperti halnya asosiasi ekonomi, himpunan tani, atau bank swasta. Mereka yang ada pada sector ini terlibat dan terkorelasi dalam upaya memengaruhi proses pembuatan kebijakan

3.      Actor masyarakat (civil society)
Actor pada komunitas sipil meliputi banyak pihak baik yang berupa asosiasi maupun masyarakat secara umum, contohnya LSM, RT, RW.


Aspek-aspek yang memengaruhi birokrasi Indonesia dalam proses pembuatan kebijakan (policy making):

1.      Pengaruh kebijakan lama
Adanya kecenderungan pada para birokrat untuk melihat kebijakan yang lama dan mengambil point-point pada kebijakan lama tersebut.
2.      Pengaruh sifat personal para birokrat
Tiap individu memiliki sifat yang berbeda-beda, demikian hal nya dengan para birokrat sebagai pelaku aktivitas birokrasi. Mereka memiliki watak yang berbeda satu sama lain dan watak tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan  memengaruhi cara bertindak mereka
3.      Pengaruh kelompok luar
Adanya pengaruh dari kelompok-kelompok di luar birokrasi seperti halnya elite politik dalam Negara tersebut hingga badan keuangan dunia yang turut memengaruhi input dari kebijakan yang hendak dibuat.
4.      Pengalaman masa lalu
Hal-hal  yang terjadi dalam birokrasi turut menjadi bahan pertimbangan stakeholders dalam mengambil suatu keputusan sehingga pengalaman buruk yang pernah dialami jangan sampai terulang kembali.


Berdasarkan Teori George C. Edwards III (1980), pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh empat variable yakni :
1.      Komunikasi
Keefektifan pelaksanaan suatu kebijakan sangat lah ditentukan oleh komunikasi yang terjadi antara aparat pemerintah dengan masyarakat yang menjadi sasarannya, apa kah penyampaian informasi mengenai tujuan serta dampak pelaksanaan kebijakan tersebut berjalan dengan baik atau tidak. Media massa selaku penyampai informasi, turut berpengaruh terhadap aspek ini. Media massa yang netral dan berimbang akan mampu menyampaikan isi kebijakan tersebut dengan jelas dan konsisten.
2.       Sumber daya
Selain komunikasi, sumber daya juga sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan, baik dari segi sumber daya finansialnya, maupun sumber daya manusianya. Diperlukan sumber daya-sumber daya yang berkualitas dan dalam jumlah yang memadai untuk menjalankan kebijakan tersebut.
3.      Disposisi
Disposisi merupakan watak atau karakteristik yang dimiliki oleh sesorang, dalam hal ini para pelaksana kebijakan. Suatu kebijakan dapat berjalan efektif jika pelaksananya memiliki watak yang baik; bertanggung jawab, disiplin, jujur , dan mengutamakan kepentingan rakyat sehingga mereka dapat menjalankan amanat tersebut dengan sebaik-baiknya.
4.      Struktur birokrasi
Dalam dimensi struktur terdapat tiga aspek yang berpengaruh yaitu aspek kompleksitas , formalitas serta sentralitas. Birokrasi sebagai organisasi pencipta sekaligus pelaksana kebijakan harus lah memiliki struktur yang jelas dan diupayakan sesederhana mungkin. Struktur birokrasi yang kompleks, memiliki banyak cabang secara vertical dan horizontal akan membuat penerapan kebijakan tersebut berlangsung lama dan berbelit-belit (kurang efisien), selain itu struktur yang panjang juga dapat memperlemah pengawasan dari pusat kepada unit pelaksana di bagian bawah. Terkait aspek formalitas, birokrasi harus lah memiliki standard operating procedurs (SOP) yang jelas dan terarah agar para pelaksana kebijakan dapat memahami apa yang harus mereka lakukan dan batasan-batasan mana yang menjadi cakupan yurisdiksinya.



Bab III
Pembahasan

III.1. Gambaran umum UU Pelayanan Publik
Setiap Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduknya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Termasuk Negara Indonesia yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pelayanan public merupakan pelayanan barang atau jasa public yang menjadi tanggung jawab dan dilakukan oleh instansi pemerintah guna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan peratutan perundang-undangan. Membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tentang Pelayanan Publik).
Untuk itu pemerintah membuat sebuah Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang bertujuan untuk menciptakan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Selama melalui proses 4 tahun, RUU Pelayanan Publik disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada siding paripusna,23 Juni 2009, dengan melibatkan seluruh anggota Fraksi DPR. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, pelayanan Publik adalah kegiatan  atau  rangkaian kegiatan  dalam  rangka  pemenuhan  kebutuhan pelayanan sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan bagi  setiap warga negara  dan penduduk atas barang,  jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan  oleh  penyelenggara pelayanan publik.
Pada dasarnya, pembentukan Undang-Undang Pelayanan Publik bukan untuk kepentingan pemerintah sendiri, tetapi untuk mendorong pemerintah agar selalu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan menerima sanksi apabila terjadi pelanggaran. Hal tersebut yang menjadi tujuan dari pengesahan Undang-Undang ini yakni, guna menciptakan kualiatas pelayanan masyarakat yang baik dan menyeluruh sehingga apabila terjadi pelanggaran terkait dengan pelayanan publik ini akan dikenai sanksi, seperti ganti rugi, sanksi administratife, perdata, bahkan sanksi pidana. 
Pelayanan publik dalam Undang-Undang ini meliputi barang dan jasa serta pelayanan yang bersifat administratif, seperti pendidikan, pekerjaan, usaha, tempat tinggal, pariwisata dll. Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
            Dengan diberlakukannya UU ini, penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik yang tidak melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar,dapat dikenai sanksi. Mulai dari ganti rugi, sanksi perdata, administratif, dan sanksi pidana.UU Pelayanan Publik juga mempertegas dan memperluas peranan Komisi Ombudsman sehingga tidak saja memberikan rekomendasi, tetapi juga bisa melakukan ajudifikasi.Dengan demikian, komisi ini dapat mendorong terciptanya pelayanan yang memuaskan.[8]
                              
III.2. Proses pembuatan kebijakan UU Pelayanan Publik
Terdapat beberapa tahapan dalam pembentukan suatu undang-undang pelayanan publik. Ada pun tahapan yang dimaksud tersebut adalah :

Materi (draft) awal dihasilkan dari rapat dengar pendapat yang melibatkan beberapa stakeholder seperti:
1. LSM, masyarakat peduli pelayanan publik
2. Mahasiswa
3. Masyarakat umum

Follow up dari draft tersebut adalah rapat kerja yang melibatkan kementerian pemberdayaan aparatur negara dan komisi II DPR. Dalam rapat kerja tersebut dibahas kesesuaian bahasa dan kebutuhan masyarakat tiap pasalnya.
Proses kemunculan Undang-undang Pelayanan Publik ini menghabiskan waktu sekitar 4 tahun. Lambannya perumusan undang-undang pelayanan publik disebabkan oleh beberapa hal:
1. Perubahan materi draft yang berlangsung terus menerus pada pasal-pasal yang sudah final. Materi undang-undang seringkali diubah dari pihak pemerintah yaitu Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara.
2. Komposisi anggota DPR yang membahas undang-undang tiap kali rapat kerja selalu berubah-ubah. Waktu seringkali terserap pada pengulangan penjelasan pasal-pasal.
3. Hanya sedikit anggota yang berpartisipasi aktif dalam pembahasan undang-undang pelayanan publik.
4. Pembahasan yang normatif mewarnai rapat kerja membahas RUU Pelayanan Publik. Pembahasan mengenai subtantif isi RUU jarang terjadi. Seringkali pembahasan hanya mengenai kesesuaian bahasa, ide-ide baru jarang muncul. Pembahasan benar-benar didasarkan pada draft pemerintah, bukannya hasil pemikiran bersama.
Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan pasal-pasal baru yang seharusnya dapat dihasilkan setiap kali rapat kerja tidak muncul sesuai dengan waktunya. Pada akhirnya undang-undang itu sendiri secara tidak langsung merupakan hasil pemikiran dari pemerintah saja.
Disinilah thesis pertama Eva Etzioni terlihat, dimana birokrasi memiliki pengaruh yang sangat besar. Pengaruh tersebut terlihat dari mulai proses pembuatan kebijakan sampai pada materi undang-undang itu sendiri.
Adapun untuk teknis menuju disahkannya RUU pelayanan publik mengikuti alur dari tata cara pembuatan undang-undang dalam Undang-undang no 10 2004.

.


III.3. Tata cara pembuatan Undang-undang sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku

Negara kita adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk Negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran serta masyarakat yang luas, serta proses pembuatan kebijakan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pula. Setiap proses pembuatan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan secara lebih khusus dan rinci mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan program Legislasi Nasional, serta Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikatakan bahwa  terdapat beberapa tahapan dalam pembentukan suatu undang-undang. Ada pun tahapan yang dimaksud tersebut adalah :

  1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan tahap awal dalam pembentukan suatu undang-undang. Dalam tahap perencanaan ini lazimnya ditandai dengan adanya, penyusunan konsepsi rancangan undang-undang, atau penyusunan naskah akademik, pengharmonisan konsepsi, dan sertifikasi konsepsi baik melalui program legislasi nasional, maupun melalui  persetujuan izin prakarsa.  Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan bahwa konsepsi dan materi pengaturan rancangan undang-undang yang disusun harus selaras dengan falsafah negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang lain, dan kebijakan yang terkait dengan materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut.
Keselarasan yang demikian ini merupakan inti sari dari pengharmonisan suatu rancangan undang-undang. Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan bahwa konsepsi suatu rancangan undang-undang berisikan latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan. Sama halnya dengan konsepsi, naskah akademik merupakan konsepsi rancangan undang-undang juga, tetapi konsepsi tersebut  dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pensertifikasian suatu rancangan undang-undang dalam program legislasi nasional hanya dapat dilakukan apabila rancangan undang-undang tersebut telah dilengkapi dengan konsepsi atau naskah akademiknya, sebagai alasan teknis rancangan undang-undang untuk bisa dimasukan ke dalam program legislasi nasional. Di samping itu terdapat sejumlah kriteria yang dijadikan syarat bagi suatu rancangan undang-undang untuk  dapat dimasukan ke dalam program legislasi nasional.
Persyaratan tersebut adalah bahwa rancangan undang-undang yang akan disusun merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perintah dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, perintah dari undang-undang, terdapat dalam daftar program legislasi nasional tahun 2005-2009, dan urgensi rancangan undang-undang. Selain itu dalam keadaan tertentu pemrakarsa dapat melakukan penyusunan rancangan undang-undang setelah memperoleh sertifikasi melalui persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Penyusunan rancangan undang-undang berdasarkan sertifikasi persetujuan izin prakarsa hanya dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut :
·               1.1. menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
·               1.2. meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
·               1.3. melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
·               1.4. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam; atau
·               1.5. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri.

  1. Tahap Penyusunan

Penyusunan rancangan undang-undang hanya dapat dilakukan apabila rancangan undang-undang tersebut telah disertifikasi baik melalui program legislasi nasional, maupun melalui persetujuan izin prakarsa oleh Presiden. 
Setelah rancangan undang-undang disertifikasi langkah awal yang harus dilakukan oleh pemrakarsa adalah mebentuk pantia antardepartemen. Keanggotaan panitia antardepartemen ini merupakan representasi dari instansi pemerintah yang secara langsung terkait dengan materi yang akan disusun dalam rancangan undang-undang.
Pemrakarsa dapat mengundang para ahli baik dari lingkungan akademisi, organisasi profesi, maupun organisasi sosial kemasyarakatan lainnya untuk turut serta dalam penyusunan rancangan undang-undang. Keikutsertaan wakil dari departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk   melakukan pengharmonisasian rancangan undang-undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam rangka penyempurnaan rancangan undang-undang pemrakarsa dapat menyebarluaskan rancangan undang-undang kepada masyarakat.
Hasil peyebarluasan rancangan undang-undang kepada masyarakat selanjutnya dijadikan bahan oleh panitia antardepartemen untuk menyempurnakan materi rancangan undang-undang yang sedang disusunnya.  Pemrakarsa selanjutnya menyampaikan rancangan undang-undang yang telah disusun oleh panitia antardepartemen kepada masing-masing menteri atau pimpinan lembaga terkait  yang menjadi anggota panitia antardepartemen untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. 
Dalam hal pemrakarsa melihat adanya perbedaan di antara pertimbangan yang disampaikan oleh menteri/pimpinan lembaga, pemrakarsa bersama dengan Menteri menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait yang bersangkutan. Apabila upaya tersebut tidak membuahkan hasil Menteri melaporkan secara tertulis permasalahan tersebut kepada Presiden  untuk memperoleh keputusan. Perumusan ulang rancangan undang-undang dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama Menteri. 
RUU yang sudah tidak memiliki permasalahan lagi baik dari substansi maupun dari segi teknik oleh pemrakarsa diajukan  kepada Presiden untuk   disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna dilakukan pembahasannya.
  1. Tahap Pembahasan

Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan dalam duat tingkat pembicaraan.
Pembicaraan tingkat kesatu berisikan agenda penyampaian keterangan pemerintah atas rancangan undang-undang, penyampaian pandangan dan pendapat fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap rancangan undang-undang, pembahasan materi rancangan undang-undang berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM), baik dalam forum panitia khusus (PANSUS), pantia kerja (PANJA), tim perumus (TIMUS), tim sinkronisasi (TIMSIN), maupun tim kecil (TMCIL).
 Sedangkan pembicaraan tingkat kedua berisi agenda rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, berupa pengambilan keputusan atas persetujuan rancangan undang-undang untuk dapat disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden.

  1. Tahap Pengesahan

Ketua  Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan rancangan undang-undang kepada Presiden untuk dapat disahkan menjadi undang-undang. Penyampaian rancangan undang-undang oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu tujuh hari, terhitung sejak tanggal dicapainya persetujuan rancangan undang-undang dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya Presiden wajib mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang dengan membubuhi tandan tangannya.
Pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang tersebut dilakukan dalam jangka waktu tiga puluh hari terhitung sejak disampaikannya  Rancangan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
Jika jangka waktu yang telah ditentukan tersebut terlampaui dan ternyata Presiden belum juga membubuhkan tanda tangannya sebagai indikasi disahkannya rancangan undang-undang menjadi undang-undang maka rancangan undang-undang tersebut dianggap sah menjadi undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  1. Tahap Pengundangan

Menteri mengundangkan rancangan undang-undang yang telah disahkan menjadi undang-undang dengan menempatkannya dalam lembaran negara Republik Indonesia. Sedangkan penjelasan undang-undang ditempatkan dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mengetahui kelahiran atau kehadiran suatu undang-undang,  sekaligus menandai saat mulai berlakunya undang-undang tersebut beserta kekuatan mengikatnya.
  1. Tahap Penyebarluasan
  
Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004  ada kewajiban bagi pemerintah untuk menyebarluaskan undang-undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui dan memahami maksud yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Penyebarluasan ini dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau media elektronik

Dalam tahap-tahapan diatas tidak bisa dipungkiri bahwa dapat terjadi masalah-masalah dalam pembuatan undang-undang tersebut, diantaranya yaitu :
-                   Masalah tujuan è Tujuan pembuatan kebijakan tersebut terkadang kurang jelas atau bahkan bertentangan satu sama lain.
-                   Masalah dalam pemrosesan informasi è Adanya kecenderungan memfilter  informasi yang masuk sehingga kebijakan yang dihasilkan kurang komprehensif.
-                   Pengaruh tekanan dari elite tertentu è Adanya tekanan dari suatu pihak sehingga kebijakan yang dihasilkan cenderung disesuaikan dengan kepentingan pihak/elite tersebut
-                   Masalah dengan maksimalisasi è Adanya kecenderungan untuk memilih solusi yang cukup memuaskan sejumlah pihak dibandingkan dengan menghasilkan solusi yang terbaik

III.4. Kesesuaian Proses Pembentukan UU Pelayanan Publik dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Tercantum dalam Bab I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundangundangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
(2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[9]

Dalam pasal ini terlihat bahwa tahapan pembuatan kebijakan sama dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam pembentukan UU pelayanan publik telah dilakukan tahap-tahap seperti yang tercantum dalam UU No. 10 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
UU Pelayanan publik adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh Komisi II DPR bekerja sama dengan birokrasi eksekutif ( Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ), lalu selanjutnya disetujui oleh Presiden.
Dasar hukum yang memperbolehkan adanya peran birokrasi atau dalam hal ini kementerian terkait dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tercantum dalam
Bab IV PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG

Pasal 16
(1)   Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.

Dalam hal ini terlihat, perlu adanya koordinasi yang baik antara DPR dan Pemerintah ( Birokrasi ) dalam proses penyusunan UU, agar tidak tercipta kebijakan ( Undang-undang ) yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.

Fungsi DPR sebagai penampung dan penyalur aspirasi publik, seharusnya berinisiatif terlebih dahulu membuat suatu kebijakan baru. Namun dalam kenyataannya, birokrasi sebagai aparat pemerintah dan gardu pertama dalam pelayanan publik kepada masyarakat lebih mengetahui kondisi, keinginan dan kepentingan masyarakat, sehingga lebih berinisiatif dalam membentuk kebijakan baru guna segera menyelesaikan masalah terkait penyediaan pelayanan publik. Oleh karena itu, sangat terlihat jelas begitu pentingnya peran birokrasi dalam pembentukan suatu kebijakan.

III.5.  Pentingnya Peran Birokrasi dalam Pembentukan Kebijakan

Dalam menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan dan amanat rakyat dalam kehidupan bernegara, birokrasi dalam hal ini pemerintah harus dapat  mengakomodasi setiap kepentingan masyarakat. Hal ini tentu saja memerlukan suatu aturan mengenai apa yang harus pemerintah lakukan dan yang tidak harus dilakukan, sesuai dengan pendapat dye. Oleh karena itu, perlu adanya suatu proses pembentukan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, pentingnya peran birokrasi dalam pembentukan kebijakan, diantaranya :
  • Motivator – Birokrat mampu mendorong seluruh komponen masyarakat untuk turut serta dalam pembangunan.
  • Modernisator – Birokrat mampu menyeleksi norma-norma yang usang dan norma-norma yang baru.
  • Katalisator – Birokrat mampu memberi suri telandan dan contoh yang baik kepada bawahannya.
  • Dinamisator – Birokrat mampu menujukkan suatu dinamika yang merupakan peningkatan peran dan daya kerja pemerintah.
  • Stabilisator – Birokrat mampu menciptakan suasana stabil dalam pelaksanaan tugas2 karena merupakan syarat mutlak berhasilnya pembangunan nasional.

Peran diatas dapat dilakukan bila birokrasi secara sungguh-sungguh terlibat dalam pembuatan kebijakan. Sesungguhnya, Ada dua mekanisme dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu
Pertama, anggota lembaga legislative ( dewan ) mengajukan rancangan kebijakan , yang kemudian akan dibahas di sidang dewan. Metode ini hanya dapat mungkin dilaksanakan apabila anggota-anggota lembaga legislative ( anggota dewan ) tersebut mempunyai cukup keahlian dan pengalaman untuk menyusun rancangan kebijakan tersebut.
Kedua, birokrasi lembaga eksekutif mengawali proses rancangan undang-undang, yang kemudian menyerahkan hasil rancangan tersebut pada Dewan Perwakilan Rakyat ( Lembaga Legislatif ).[10]

Dalam kasus pembentukan UU pelayanan publik diatas, proses yang digunakan adalah cara yang kedua, karena kementerian pendayagunaan aparatur Negara dianggap lebih memahami isu-isu yang berkembang di bidang pelayanan publik, serta lebih memiliki pengetahuan yang cukup dan keahlian yang tinggi dalam memahami pelayanan publik, sehingga lebih bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan-peraturan ( undang-undang ) tersebut. Selain itu, kapasitas yang ada di Komisi II DPR belum memadai dan mencukupi untuk menyusun rancangan undang-undang tersebut sendirian.

Dalam pengambilan keputusan politik yang strategis dan kebijakan-kebijakan pokok lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, harus dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat, karena peran legislative sendiri tidak bisa pula diabaikan begitu saja. Peran Legislatif pun sangat diperlukan agar terbentuk kebijakan publik yang demokratis. Selanjutnya, pengembangan kebijakan selanjutnya seperti Propenas/Propeda dan APBN(D), Undang-undang  dilakukan bersama pemerintah, yang harus terjamin keserasiannya baik secara substantif maupun format perundang-undangannya.


Bab IV
Penutup

IV.1 Kesimpulan

1.      Proses pembuatan kebijakan tidak bisa terlepas dari birokrasi sebagai pelaksana yang mengetahui persis kondisi lapangan.
2.      Peran birokrasi sangat penting dalam pembuatan kebijakan karena para birokrat lebih memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup untuk membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan, dan agar masalah yang ada dapat terselesaikan.
3.      .3 Kebanyakan kebijakan yang dibuat diprakarsai oleh birokrasi dan selanjutnya dibahas di parlemen, namun terkadang tidak menutup kemungkinan rancangan kebijakan yang dibuat oleh birokrasi hanya mengakomodasi kepentingan sendiri, dan terjadi ketidaksinkronan atau perebutan kepentingan antara legislatif dan birokrasi dalam pembentukan kebijakan
4.       Tidak ada pemisahan tegas mengenai fungsi legislatif ( Dewan Perwakilan Rakyat ) sebagai pembuat kebijakan yang harus mengakomodasikan aspirasi masyarakat dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dan birokrasi sebagai pelaksana, yang menjadi gardu terdepan dalam melayani  masyarakat.


IV.2 Saran
Untuk dapat menghasilkan kebijakan yang demokratis, rasional, dan efektif, serta menghindarkan konflik kepentingan antara pihak legislative dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut
5.      Menggiatkan koordinasi antara pihak legislative-demokrasi dan pihak eksekutif-birokrasi agar dijalankan baik dan tegas.
6.      Perebutan kepentingan antara pihak legislatif dan birokrasi dalam pembentukan kebijakan telah membuat tidak terakomodasinya kepentingan masyarakat umum dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya suatu  mekanisme yang jelas dalam pembentukan kebijakan yang membagi tugas pihak legislatif dan birokrasi, serta adanya mekanisma yang jelas dalam meningkatkan partisipasi masyarakat agar terbentuk kebijakan public yang mengakomodasikan kepentingan public, sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang ada.
7.      Memperbaiki budaya kelembagaan yang ada dari budaya yang feodal (ingin dilayani) menjadi budaya melayani yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi utama. Juga dengan membangun kepemimpinan yang kuat, meningkatkan transparansi, profesionalitas serta akuntabilitas dalam birokrasi itu sendiri.
8.      Pemberdayaan legislatif, dengan memaksimalkan peran lembaga perwakilan, maka akan membuka peluang pembahasan yang berlapis (redundancy) untuk memperluas dan memperdalam proses pengambilan keputusan, serta meningkatkan keahlian dan pengetahuan para anggota dewan untuk memahami konteks kebijakan.

 

Daftar Pustaka


Aisyah, Dara.2003. Hubungan birokrasi dan demokrasi. library.usu.ac.id/download/fisip/admnegara-aisyah.pdf. diakses tanggal 20 November 2009, pukul 14.00 WIB
Etzioni, Eva dan Havley. 1983. Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma. London.
Hamka dan Burhanuddin .2009.Tingkat keterlibatan masyarakat dalm pembentukan kebijakan. 
Maksum, Irfan Ridwan.  2009. Demokrasi: Prinsip-prinsip dan Ruang lingkup, slide presentasi kelas Birokrasi demokrasi.
Sudirman, dkk. 2005. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan Kebijakan Daerah di daerah tanjung Jabung barat.www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/descbrief/DescBrief7.pdf, diakses tanggal 20 November 2009, pukul 15.30 WIB.
UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
http://www.slideshare.net/andiazka/04-teori-organisasi-adm-publik


[1] Eva Etzioni dan halevey. 1983. Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma. London.

[2] Maksum, Irfan Ridwan.  2009. Demokrasi: Prinsip-prinsip dan Ruang lingkup
[3] Idem
[4] Dara Aisyah. 2003. Hubungan birokrasi dan demokrasi, hlm : 2-3
[5] Eva Etzioni dan halevey. 1983. Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma. London
[6] Hamka dan Burhanuddin .2009.tingkat keterlibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan, hlm: 1
[7]Birokrasi & Pelayanan Publik.ppt  oleh Wasis Budiarto, lihat http://www.slideshare.net/andiazka/04-teori-organisasi-adm-publik

[8] Sindo, 30 Agustus 2009
[9] UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[10] Sudirman, dkk. 2005. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan Kebijakan Daerah di daerah tanjung Jabung barat, hlm 3