UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
11 TAHUN 2009
TENTANG
KESEJAHTERAAN SOSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik I ndonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;
b.
bahwa
untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar
warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan
pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan;
c.
bahwa
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu diganti;
d.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial;
Mengingat : Pasal 18A, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan:
1.
Kesejahteraan
Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
2.
Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial.
3.
Tenaga
Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara
profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah
sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun
swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.
4.
Pekerja
Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah
maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan
kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,
dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas
pelayanan dan penanganan masalah sosial.
5.
Relawan
Sosial adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar
belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial,
tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
6.
Pelaku
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga
kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
7.
Lembaga
Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
8.
Rehabilitasi
Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat.
9.
Perlindungan
Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko
dari guncangan dan kerentanan sosial.
10. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan
untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
11. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
12. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
15. Menteri
adalah menteri yang membidangi urusan sosial.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan berdasarkan asas:
a.
kesetiakawanan;
b.
keadilan;
c.
kemanfaatan;
d.
keterpaduan;
e.
kemitraan;
f.
keterbukaan;
g.
akuntabilitas;
h.
partisipasi;
i.
profesionalitas; dan
j.
keberlanjutan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kesejahteraan
sosial bertujuan:
a. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kelangsungan hidup;
b. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai
kemandirian;
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani masalah kesejahteraan sosial;
d. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab
sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga
dan berkelanjutan;
e. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan
f. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
BAB III
PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada:
a.
perseorangan;
b.
keluarga;
c.
kelompok; dan/atau
d.
masyarakat.
(2) Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada
mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial:
a.
kemiskinan;
b.
ketelantaran;
c.
kecacatan;
d.
keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f.
korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Pasal 6
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a.
rehabilitasi sosial;
b.
jaminan sosial;
c.
pemberdayaan sosial; dan
d.
perlindungan sosial.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Sosial
Pasal 7
(1) Rehabilitasi
sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar.
(2) Rehabilitasi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif,
motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
(3) Rehabilitasi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b.
perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d.
bimbingan mental spiritual;
e.
bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g.
pelayanan aksesibilitas;
h.
bantuan dan asistensi sosial;
i.
bimbingan resosialisasi;
j.
bimbingan lanjut; dan/atau
k.
rujukan.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi sosial diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Jaminan Sosial
Pasal 9
(1) Jaminan
sosial dimaksudkan untuk:
a.
menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut
usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental,
eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan
sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.
b.
menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga
pahlawan atas jasa-jasanya.
(2) Jaminan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk
asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan.
(3) Jaminan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dalam bentuk
tunjangan berkelanjutan.
Pasal 10
(1) Asuransi
kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negara yang tidak mampu
membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf kesejahteraan
sosialnya.
(2) Asuransi
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
bantuan iuran oleh Pemerintah.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan jaminan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemberdayaan Sosial
Pasal 12
(1) Pemberdayaan
sosial dimaksudkan untuk:
a.
memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat
yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya
secara mandiri.
b.
meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan
sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(2) Pemberdayaan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. peningkatan kemauan dan kemampuan;
b.
penggalian potensi dan sumber daya;
c.
penggalian nilai-nilai dasar;
d. pemberian akses; dan/atau
e.
pemberian bantuan usaha.
(3) Pemberdayaan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b.
pelatihan keterampilan;
c.
pendampingan;
d. pemberian stimulan modal, peralatan usaha, dan tempat
usaha;
e.
peningkatan akses pemasaran hasil usaha;
f.
supervisi dan advokasi sosial;
g.
penguatan keserasian sosial;
h.
penataan lingkungan; dan/atau
i.
bimbingan lanjut.
(4) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b.
penguatan kelembagaan masyarakat;
c. kemitraan dan penggalangan dana; dan/atau
d.
pemberian stimulan.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pemberdayaan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perlindungan Sosial
Pasal 14
(1) Perlindungan
sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan
kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.
(2) Perlindungan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a.
bantuan sosial;
b.
advokasi sosial; dan/atau
c.
bantuan hukum.
Pasal 15
(1) Bantuan
sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang
mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
(2) Bantuan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan/atau
berkelanjutan dalam bentuk:
a.
bantuan langsung;
b.
penyediaan aksesibilitas; dan/atau
c.
penguatan kelembagaan.
Pasal 16
(1) Advokasi
sosial dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok,
dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya.
(2) Advokasi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk penyadaran hak
dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak.
Pasal 17
(1) Bantuan
hukum diselenggarakan untuk mewakili kepentingan warga negara yang menghadapi
masalah hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
(2) Bantuan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pembelaan dan
konsultasi hukum.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan perlindungan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Pasal 19
Penanggulangan kemiskinan
merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang,
keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai
sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal 20
Penanggulangan kemiskinan
ditujukan untuk:
a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar
serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan
keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar;
c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan
sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan
seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara
berkelanjutan; dan
d.
memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan
rentan.
Pasal 21
Penanggulangan kemiskinan
dilaksanakan dalam bentuk:
a.
penyuluhan dan bimbingan sosial;
b.
pelayanan sosial;
c. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
d. penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
e.
penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;
f.
penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman; dan/atau
g.
penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil
usaha.
Pasal 22
Pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 menjadi tanggung jawab Menteri.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kemiskinan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
(1) Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab:
a.Pemerintah;
dan
b.Pemerintah
daerah.
(2) Tanggung
jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Tanggung
jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan:
a.
untuk tingkat provinsi oleh gubernur;
b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
Bagian Kedua
Pemerintah
Pasal 25
Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial
meliputi:
a. merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
b. menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
c. melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
e. mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha
dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya;
f. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia di bidang kesejahteraan sosial;
g.
menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan
sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;
h.
melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap
kebijakan dan aktivitas pembangunan;
i. menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan
sosial;
j. melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
k. mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat nasional dan internasional dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
l. memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan
nasional;
m. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial; dan
n.
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 26
Wewenang Pemerintah dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a.
penetapan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan
sosial selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. penetapan standar pelayanan minimum, registrasi,
akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;
c. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
d. pelaksanaan kerja sama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan negara lain, dan lembaga kesejahteraan sosial, baik
nasional maupun internasional;
e.
pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial;
f. pendayagunaan dana yang berasal dari dunia usaha dan
masyarakat;
g. pemeliharaan taman makam pahlawan dan makam pahlawan
nasional; dan
h. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah
Pasal 27
Tanggung jawab pemerintah provinsi dalam menyelenggarakan kesejahteraan
sosial meliputi:
a.
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas
kabupaten/kota, termasuk dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Pasal 28
Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lintas kabupaten/kota selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional di bidang kesejahteraan sosial;
b. penetapan kebijakan kerja sama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan lembaga kesejahteraan sosial nasional;
c.
pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran
bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
e. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
f. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Pasal 29
Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial meliputi:
a.
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b.
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;
c.
memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat
yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan
sosial.
Pasal 30
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan nasional dan provinsi
di bidang kesejahteraan sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di wilayahnya;
c.
pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Pasal 31
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
BAB VI
SUMBER DAYA PENYELENGGARAAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 32
Sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a.
sumber daya manusia;
b.
sarana dan prasarana; serta
c.
sumber pendanaan.
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia
Pasal 33
(1) Sumber
daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a terdiri atas:
a.
tenaga kesejahteraan sosial;
b.
pekerja sosial profesional;
c.
relawan sosial; dan
d.
penyuluh sosial.
(2) Tenaga
kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d
sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi:
a.
pendidikan di bidang kesejahteraan sosial;
b.
pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan/atau
c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.
Pasal 34
(1) Tenaga
kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d
dapat memperoleh:
a.
pendidikan;
b.
pelatihan;
c.
promosi;
d.
tunjangan; dan/atau
e.
penghargaan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 35
(1) Sarana
dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b meliputi:
a.
panti sosial;
b.
pusat rehabilitasi sosial;
c.
pusat pendidikan dan pelatihan;
d.
pusat kesejahteraan sosial;
e.
rumah singgah;
f.
rumah perlindungan sosial.
(2) Sarana
dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki standar minimum yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Sumber Pendanaan
Pasal 36
(1) Sumber
pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c meliputi:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c.
sumbangan masyarakat;
d.
dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai kewajiban dan
tanggung jawab sosial dan lingkungan;
e. bantuan asing sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan
peraturan perundang-undangan; serta
f. sumber pendanaan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengalokasian sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Usaha pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan yang berasal dari
masyarakat bagi kepentingan kesejahteraan sosial selain sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
BAB VII
PERAN MASYARAKAT
Pasal 38
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh:
a.
perseorangan;
b.
keluarga;
c.
organisasi keagamaan;
d.
organisasi sosial kemasyarakatan;
e.
lembaga swadaya masyarakat;
f.
organisasi profesi;
g.
badan usaha;
h.
lembaga kesejahteraan sosial; dan
i. lembaga kesejahteraan sosial asing.
(3) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk
mendukung keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 39
(1) Organisasi
profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf f, terdiri atas :
a. ikatan pekerja sosial profesional;
b. lembaga pendidikan pekerjaan sosial; dan
c.
lembaga kesejahteraan sosial.
(2) Untuk
menjaga dan menegakkan profesionalisme, organisasi profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menetapkan kode etik.
Pasal 40
Peran badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf g dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dilakukan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 41
Pemerintah memberikan
penghargaan dan dukungan kepada masyarakat yang berperan dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Pasal 42
(1) Untuk melaksanakan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dapat dilakukan koordinasi antar lembaga/organisasi
sosial.
(2) Pelaksanaan koordinasi peyelenggaraan kesejahteraan
sosial oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan
membentuk suatu lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah dan
bersifat terbuka, independen, serta mandiri.
(3) Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk pada tingkat nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota.
(4) Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial baik pada tingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bersifat otonom, dan bukan merupakan lembaga yang mempunyai hubungan hierarki.
Pasal 43
Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan organisasi/lembaga sosial;
b. membina organisasi/lembaga sosial;
c. mengembangkan model pelayanan kesejahteraan sosial;
d. menyelenggarakan forum komunikasi dan konsultasi
penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
e. melakukan advokasi sosial dan advokasi anggaran terhadap
lembaga/organisasi sosial.
Pasal 44
Pembentukan lembaga koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN LEMBAGA
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 46
(1) Setiap
lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial wajib mendaftar kepada
kementerian atau instansi di bidang sosial sesuai dengan wilayah kewenangannya.
(2) Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cepat, mudah, dan tanpa
biaya.
Pasal 47
Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mendata lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
Pasal 48
Lembaga kesejahteraan sosial
asing dalam melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) huruf i wajib memperoleh izin dan melaporkan
kegiatannya kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 49
Pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 dikenai
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara dari kegiatan;
c.
pencabutan izin; dan/atau
d.
denda administratif.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pendaftaran bagi lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan
sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dan pemberian izin penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi lembaga kesejahteraan sosial asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48, serta mekanisme pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
AKREDITASI DAN SERTIFIKASI
Pasal 51
(1) Akreditasi dilakukan terhadap lembaga di bidang
kesejahteraan sosial.
(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk menentukan tingkat kelayakan dan standardisasi
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 52
(1) Sertifikasi
dilakukan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai di bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(2) Sertifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk sertifikat.
(3) Sertifikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial profesional
dan tenaga kesejahteraan sosial yang telah menyelesaikan suatu pendidikan
dan/atau pelatihan.
(4) Sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial
profesional dan tenaga kesejahteraan sosial oleh lembaga sertifikasi.
(5) Pemberian
sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan atas rekomendasi
organisasi profesi sesuai dengan kewenangannya sebagai pengakuan terhadap
kompetensi melakukan praktek pekerjaan sosial.
(6) Sertifikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah lulus uji kompetensi
sebagai pengakuan terhadap kompetensi dalam melakukan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial tertentu.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut
mengenai akreditasi dan sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN SERTA PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 54
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas
pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.
(2) Masyarakat
dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas pelaku
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 55
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemantauan
dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai bentuk
akuntabilitas dan pengendalian mutu penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 56
Pembinaan dan pengawasan,
serta pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 57
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3039) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 58
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang
ini.
Pasal 59
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 60
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 12