Selasa, 29 Desember 2015

Perpajakan bagi Aparatur Desa

Pemahaman tentang pajak harus lebih ditingkatkan seiring dengan perkembangan transaksi ekonomi yang terjadi di berbagai daerah di seluruh penjuru wilayah tanah air. Transaksi ekonomi selalu dapat dikaitkan memiliki aspek pengenaan pajak baik yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun dilakukan oleh perangkat instansi pemerintah yang dana nya bersumber dari APBN/APBD. Tak kalah pentingnya bahwa di desa-desa pelosok seperti di Wilayah Kabupaten Malinau pada tahun 2013 ini mendapatkan dana bantuan dari Pemerintah Kabupaten dengan jumlah yang lumayan besar dibandingkan desa-desa yang ada di pulau jawa. Adanya belanja barang dan jasa dari perangkat desa, menggiatkan sektor ekonomi di pedesaan dan meningkatkan omzet para pelaku usaha, otomatis meningkatkan jumlah wajib pajak dan penerimaan pajak.
Seperti diketahui bahwa pihak yang berperan dalam melaksanakan fungsi perbendaharaan dan fungsi pemungutan pajak dalam pengeloaan APBN/APBD adalah Bendahara satuan kerjanya. Demikian pula di Desa, Bendahara Desa lah yang melaksanakan pengeluaran anggaran yang dana nya bersumber dari APBD memiliki kewajiban memungut/memotong, menyetor dan melaporkan pajak pusat yang diantaranya meliputi Pajak Penghasilan (PPh) terdiri dari PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2), juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Diketahui bahwa sebelum tahun 2013, ternyata banyak sekali aparatur desa yang belum memahami peraturan perpajakan, demikian pula dengan para pelaku usaha yang menjadi rekanan.
Di wilayah Kabupaten Malinau terdapat pola pembangunan desa yang dikenal dengan nama program Gerdema (Gerakan Desa Membangun), dimana dana pembangunan desa nya bersumber dari APBD kabupaten Malinau. Dalam program Gerdema ini ditujukan untuk membangun desa (dengan alokasi dana sebesar Rp 1,2 miliar setiap desa) meliputi pembangunan infrastruktur, SDM, pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan dan pertanian. Dalam menjalankan program ini, masyarakat dan aparatur pemerintah desa memiliki peranan penting dalam mengelola keuangan dari dana bantuan tersebut.
Tentunya diantara tanggung jawab pemanfaatan/pengeluaran dana untuk pembangunan desa, aparatur desa memiliki tanggung jawab juga untuk mengamankan penerimaan negara melalui pemungutan/pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Potensi perpajakan yang terkait dengan alokasi dana desa ini sangat bervariasi, tergantung dari jenis transaksi yang merupakan obyek pajak, atau transaksi atas pengadaan barang/jasa yang dapat dikenakan pajak.
Bayangkan saja apabila dalam hitungan kasar umpamanya setiap desa di wilayah Kab. Malinau potensi pajaknya kurang lebih Rp 100 juta per desa per tahun, maka jika dikalikan dengan jumlah seluruh desa yang ada di wilayah kabupaten Malinau sebanyak 109 desa, akan diperoleh angka potensi pajak yang dipungut oleh bendaharawan desa ini cukup signifikan.
Memang masih disadari bahwa banyak desa yang melaksanakan pembangunan fisik/konstruksi masih menggunakan sistem swakelola, sehingga ada saja terdapat pembelian material-material yang merupakan non-BKP, sedangkan pembayaran tenaga kerja nya menggunakan cara upah harian maupun borongan. Hal demikian merepotkan mereka dalam menghitung PPh 21 maupun mengidentifikasi jenis barang yang merupakan obyek PPN atau bukan. Namun di beberapa wilayah sudah melibatkan kontraktor sebagai penyedia jasa konstruksi, sehingga potensi PPN maupun PPh Jasa konstruksi nya dapat dihitung dengan mudah dan pasti.
Berdasarkan hal-hal diatas dipandang perlu bagi aparatur desa bahkan masyarakat desa mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang perpajakan. Sehubungan dengan alokasi dana desa, kepatuhan pemungutan pajak harus dilaksanakan secara melekat terhadap Bendahara Desa dengan pengawasan oleh Kepala Desa nya masing-masing. Bendahara desa diwajibkan mempunyai NPWP sebagai sarana untuk melaksanakan ketentuan perpajakan.
Bahwa dalam rangka memberikan pemahaman perpajakan secara teknis terhadap aparat desa dimaksud, maka di Kab. Malinau telah terjadi kerja sama antara Bagian Keuangan Setkab Malinau dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Malinau, untuk mengadakan bimbingan teknis (Bimtek) perpajakan yang terkait dengan aspek pengelolaan dana desa, yaitu Bimtek PPh dan PPN. Pelaksanaan nya akan direncanakan secara bertahap sesuai jadwal yang ditentukan, sebisa mungkin meliputi semua aparatur desa.
Kegiatan Bimtek Perpajakan tahap awal telah dilaksanakan sebanyak 4 kali. Setiap kali kegiatan bimtek dilakukan selama sehari penuh mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WITA. Pelaksanaan kegiatan difokuskan  di Kantor Kecamatan, dengan mengundang semua aparat desa, terutama Kepala Desa dan Bendahara nya, termasuk juga Tim Satgas pendamping yang bertugas mengawasi pelaksanaan anggaran masing-masing desa. Selama ini telah dilakukan bimtek perpajakan di berbagai lokasi sebanyak 4 Wilayah Kecamatan, yang meliputi Kecamatan Malinau Kota (tgl 16 September 2013), Kec. Malinau Utara (tgl 17 September 2013), Kecamatan Malinau Barat (tgl 25 September 2013) dan Kecamatan Mentarang (tgl 26 September 2013).
Jadi total peserta yang hadir adalah berasal dari Tim Bagian Keuangan Pemkab Malinau, staf kecamatan, para Kepala Desa, Bendahara Desa dan staf desa, serta Tim Satgas Gerdema. Acara bertempat di Aula setiap kecamatan dan dibuka oleh Asisten III Setkab Malinau, Drs. Hendris Damus, M.Si. Dalam pengarahannya, Hendris mengatakan tentang penting nya pajak sebagai sumber pembiayaan negara yang manfaatnya juga akan dapat dirasakan bagi seluruh masyarakat, terutama desa-desa yang mendapat bantuan dana yang berasal dari APBD kabupaten, yang tentunya dana tersebut sebagian berasal dari APBN.
Dalam kegiatan Bimtek ini, pihak KP2KP Malinau menurunkan Tim Narasumber sebanyak 4 orang dimana pelaksanaannya di lapangan dipimpin langsung oleh Kepala KP2KP Malinau – Ferry A. Triyantoro, S.E., M.Si. didampingi 2 orang staf KP2KP yaitu Earth Jude Pieter Sitinjak dan Rudi Nurhadi, serta bantuan dari 1 orang Account Representative KPP Pratama Tanjung Redeb, Haris Wibowo, S.E., MM. Ada hal yang membanggakan dari kegiatan ini adalah bahwa mereka yang di desa-desa (bahkan termasuk kategori pelosok) sangat menginginkan adanya pengetahuan perpajakan, karena mereka beranggapan bahwa uang pajak yang berasal dari masyarakat telah kembali kepada masyarakat untuk pembangunan desa mereka. Disamping itu juga karena adanya kontrol yang ketat terkait kelengkapan bukti-bukti pemungutan/pembayaran pajak atas setiap pencairan dana desa yang pengawasan dan pengelolaan nya di bawah tanggung jawab Bagian Keuangan Pemkab.
Para peserta mengikuti secara antusias dan tertib pemberian materi tentang tata cara perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak. Dalam empat tahap kegiatan bimtek perpajakan yang sudah berlangsung empat kali di tempat yang berbeda, pada intinya para aparatur desa merespon positif dan menyatakan dukungannya terhadap pemungutan dan pembayaran pajak atas transaksi keuangan sehubungan dengan pengelolaan dana desa, dan siap melaksanakan tertib administrasi perpajakan.
Kedepannya diharapkan aparat desa juga dapat menjadi agen pajak, karena mereka lah yang sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat wajib pajak di desanya, kemudian dapat menularkan pengetahuan perpajakan bagi masyarakat di wilayah nya masing-masing. Mari kita dukung ‘Pajak Masuk Desa’ melalui pemberdayaan aparatur desa. Uang pajak untuk membangun desa.
Sumber : Derektorat Jenderal Pajak

PPN ( Pajak Pertambahan Nilai )

Pada saat anda membeli sebuah produk berupa properti pemerintah mengenakan sejumlah pajak pada kita salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada umumnya bila kita membeli properti tersebut dari developer, biasanya pajak-pajak yang harus kita bayar tersebut telah termasuk dalam harga jual. Besarnya pajak tersebut akan sangat tergantung pada jenis, nilai, luas, dan lokasi properti yang akan kita beli.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, impor Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha,  pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya besarnya adalah 10% dari nilai transaksi. Minimal nilai transaksi yang dipungut PPN adalah di atas Rp. 36 juta. PPN hanya dikenakan satu kali saja pada saat membeli properti, baik dari developer maupun perorangan.  Jika kita membeli dari developer, maka pembayaran dan pelaporan dilakukan melalui developer. Namun demikian jika kita membeli dari perorangan, maka pembayaran dilakukan sendiri setelah transaksi, selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan ke kantor pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
PPN Kegiatan Membangun Sendiri
PPN kegiatan membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan”. 
Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila bangunan yang dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 atau lebih dan bersifat permanen. Artinya, bangunan dibawah 200m2 tidak terutang PPN. Perbedaan antara kegiatan membangun sendiri dengan jasa pelaksana konstruksi adalah adanya kontrak antara pemilik bangunan dengan perusahaan kontruksi. Dalam hal ini kontraktor konstruksi harus memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi. Jika tidak memiliki sertifikat, maka tetap dianggap sebagai kegiatan membangun sendiri.
Dasar Hukum
Dasar hukum dari pemberlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pasal 16C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan terkait lainnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN apabila:
  1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain,
  2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha. Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau konstruksi yang semata-mata diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain). Bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau konstruksi yang diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada,
  3. Luas bangunan 200 m² atau lebih dan bersifat permanen yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya terdiri dari beton dan/atau kayu tahan lama dan/atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun.
Tarif dan Pengenaan Pajak
Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.
Saat dan Tempat Terutang
Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan lain-lain). Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan
PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal 20 pada bulan dilakukannya penyetoran.
Surat Teguran dan Pemeriksaan
Surat Teguran diberikan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri akan tetapi tidak memenuhi kewajibannya. Pemeriksaan pajak dilakukan jika dalam jangka waktu 14 hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri di Kawasan Real Estate
Membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sesudah 31 Desember 1994, tidak dikategorikan sebagai membangun sendiri, tetapi dianggap dibangun oleh Real Estat. Karena pada dasarnya Real Estat tidak boleh menjual tanah. Dengan demikian kegiatan membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah yang diperoleh sebelum 1 Januari 1995 masih dapat dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam hal ini perlakuan PPN-nya sama dengan kegiatan membangun sendiri bukan di dalam kawasan Real Estat.
Dalam hal perolehan tanah kavling pada kawasan Real Estat terjadi sesudah tanggal 1 Januari 1995, maka:
  • Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling, dianggap dibangun oleh PKP Real Estat,
  • Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga tanah) yang dihitung oleh PKP Real Estat seandainya rumah tersebut dibangun oleh PKP Real Estat,
  • Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling sehubungan dengan pembangunan rumah tersebut, dilaporkan kepada PKP Real Estat setiap bulan dan dianggap sebagai pembayaran termin. Berdasarkan laporan pemilik kavling, PKP Real Estat harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik kavling, kemudian menyetor dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN pada bulan yang bersangkutan,
  • Apabila rumah tersebut telah selesai dibangun, PKP Real Estat harus menentukan nilai bangunan rumah tersebut sesuai dengan patokan harga yang berlaku. Dalam hal nilai bangunan yang dihitung oleh PKP Real Estat lebih besar dari jumlah biaya yang telah dilaporkan oleh pemilik kavling, maka atas selisih tersebut harus dipungut PPN, disetordan dilaporkan oleh PKP Real Estat dalam SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan. Apabila patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil daripada jumlah biaya yang dilaporkan maka DPP yang dipakai adalah jumlah biaya yang dilaporkan oleh pemilik kavling tersebut, dan atas selisih tersebut tidak dapat direstitusi,
  • Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk membangun rumah tersebut tidak dapat dikreditkan.
PPN BM Atas Rumah Mewah, Apartemen, Kondominium, dan Town House
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Hal ini merupakan usaha nyata  untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak dan sekaligus merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif didalam masyarakat.
PPnBM juga hanya dipungut satu kali pada tingkat pabrikan atau pada saat impor barang mewah tersebut.
Dasar Hukum
Peraturan yang mendasari pengenaan PPnBM atas rumah mewah, apartemen, kondominium, dan town house adalah:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 145 tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 12 tahun 2006,
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah Harga Jual, dimana berdasarkan  Pasal 1 angka 18 UU PPN, Harga Jualdidefinisikan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya dikenakan satu kali, yaitu terhadap penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut. Sepanjang bangunan Unit Komersial untuk Perkantoran dan Perdagangan yang peruntukannya sesuai Surat Keputusan  Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hanya semata-mata untuk kepentingan komersial, seperti cafe, restaurant, sekolah/kursus/pendidikan, showroom, dan tidak untuk hunian atau tempat tinggal, maka atas penyerahannya tidak terutang PPn BM. Namun demikian, apabila bangunan tersebut terbukti dimanfaatkan sebagai hunian dan memenuhi kriteria, maka atas penyerahannya terutang PPn BM.
Objek dan Tarif
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor No. 103/PMK.03/2009 yang memuat Daftar Mewah Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dengan Tarif sebesar 20%, antara lain :
  1. Rumah dan town house dari jenis non strata title, termasuk rumah kantor atau rumah toko, yang luas bangunannya 350 m2 atau lebih ,
  2. Apartemen, kondominimum, town house, dan sejenisnya dari jenis strata title dengan luas bangunan 150 m2.
Saat Terutang
Saat terutangnya PPnBM ialah saat barang tersebut dialihkan atau dijual kepada pihak lain, jadi apabila dipakai sendiri maka belum terutang PPnBM.
Kesimpulan:
  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas:
  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha,
  • Impor Barang Kena Pajak,
  • Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha,
  • Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
  • Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau,
  • Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak,
  1. Besarnya PPN atas properti pada umumnya adalah 10% dari nilai transaksi,
  2. PPN juga dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
  3. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah apabila bangunan yang dibangun diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 300 m2 atau lebih dan bersifat permanen.
  4. Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % dari Dasar Pengenaan Pajak.
  5. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Atas barang mewah, disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM yang hanya dikenakan satu kali yaitu terhadap penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP Yang Tergolong Mewah tersebut. Dasar Pengenaan Pajakadalah jumlah harga jual dengan tarif sebesar 20%.

Senin, 28 Desember 2015

SURFACE PRO 4 YANG MENGAGUMKAN


Pemungutan PPh Pasal 22 Bagi Bendahara

I. Kewajiban Bendaharawan

Bendaharawan yang telah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak wajib memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bendaharawan Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah sebagaimana diatur dalam Kepmenkeu nomor 254/KMK.03/2001 Ss.t.d.t.d. PMK no. 210/PMK.03/2008 atau wajib memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sehubungan pembayaran atas penyerahan barang.


II. Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 22

Pada prinsipnya, Bendaharawan wajib memungut PPh Pasal 22 atas semua penyerahan barang, namun demikian Bendaharawan tidak memungut PPh Pasal 22 diantaranya atas:

a.pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah

b.pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos

c. pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;

d.Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.

Pengecualian sebagaimana dimaksud dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).



III. Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 atas pengadaan barang, terutang dan dipungut pada saat pembayaran, sedangkan PPh Pasal 22 atas impor terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen PIB.

Besarnya tarif PPh Pasal 22 atas pengadaan barang yang dananya berasal dari APBN/D adalah 1,5%. PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan adalah:

1,5% x harga/nilai pembelian barang tidak termasuk PPN
Bendaharawan Pemungut PPh Pasal 22:

- menyetor ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang,

- menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi identitas rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan pemungut pajak

- Dalam hal pembayaran dilakukan langsung oleh KPPN, PPh Pasal 22 dipungut langsung oleh KPPN dan SSP diisi identas rekanan serta ditandatangani oleh KPPN



IV. Bukti Pemungutan PPh Pasal 22

Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 bagi penerima penghasilan/rekanan adalah SSP lembar ke-1 yang telah ditandatangani dan disetor oleh Bendaharawan atau SSP lembar ke-1 yang telah ditandatangani oleh KPPN dalam hal dilakukan pemungutan oleh KPPN.



V. Pelaporan PPh Pasal 22

Bendaharawan Pemungut PPh Pasal 22 harus melaporkan hasil pemungutannya paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22 (form F.1.1.32.02)

Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda (Pasal 7 UU KUP) sebesar Rp. 50.000,-



VI. Contoh Penghitungan PPh Pasal 22

a. Pengadaan barang yang dipungut PPh

Pengadaan barang berupa satu unit komputer dengan nilai barang sebesar Rp. 8.000.000 dan PPN sebesar Rp. 800.000.

Harga barang Rp8.000.000
PPN Rp.800.000

Total tagihan dari rekanan Rp 8.800.000

PPh Pasal 22 yg dipungut
1,5% x Rp. 8.000.000=(Rp.120.000)
PPN dipungut

10% x Rp.8.000.000 =(Rp.800.000)

Total PPN dan PPh dipungut (Rp.920.000)

Dibayar kepada rekanan Rp.7.880.000

b. Pengadaan barang yang dipungut PPh

Pengadaan barang berupa meja rapat yang tercantum dalam kontrak dengan nilai sebesar Rp. 11.000.000 termasuk PPN, perhitungan pemungutan PPN dan PPh Pasal 22 adalah:

Nilai Kontrak (termasuk PPN)Rp11.000.000

PPN = 10/110 x Rp. 11.000.000(Rp.1.000.000)

Dasar Pengenaan Pajak Rp.10.000.000

Total tagihan dari rekanan Rp11.000.000

PPh Pasal 22 yg dipungut
1,5% x Rp. 10.000.000= (Rp.150.000)

PPN dipungut
10% x Rp.10.000.000 = (Rp. 1.000.000)

Total PPN dan PPh dipungut (Rp.1.150.000)

Dibayar kepada rekanan Rp. 9.850.000

c. Pengadaan barang yang tidak dipungut PPh

Atas pengadaan alat tulis kantor dengan nilai barang sebesar Rp. 800.000 dan PPN sebesar Rp. 80.000.
Harga barang Rp800.000
PPNRp.80.000

Total tagihan dari rekanan Rp880.000

PPh Pasal 22 yg dipungut -
PPN dipungut-
Total PPN dan PPh dipungut (Rp.-)
Dibayar kepada rekanan Rp.880.000

Catatan:

Karena pengadaan barang tersebut nilai totalnya (termasuk PPN) adalah Rp. 880.000, masih dibawah 1 juta rupiah, maka tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendaharawan. Atas transaksi tersebut tetap terutang PPN yang dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan.

Pengelolaan Keuangan Desa Dalam



Keuangan desa adalah barang publik (public goods) yang sangat langka dan terbatas, tetapi uang sangat dibutuhkan untuk membiayai banyak kebutuhan dan kegiatan. Pemerintah desa dan BPD pasti “pusing” memikirkan begitu banyaknya kebutuhan dan kegiatan desa, padahal uang yang tersedia sangat terbatas. Karena itu, pemerintah desa dan BPD ditantang untuk mengelola keuangan secara baik dengan dasar penentuan skala prioritas.

Pengelolaan keuangan desa mencakup:
·        Perencanaan (penyusunan) APBDES: pendapatan dan belanja.
·        Pengumpulan pendapatan (atau sering disebut ekstraksi) dari berbagai sumber: pendapatan asli desa, swadaya masyarakat, bantuan dari pemerintah atasan, dan lain-lain.
·        Pembelanjaan atau alokasi.

Beberapa prinsip pengelolaan keuangan desa yang baik:
1.      Rancangan APBDES yang berbasis program.
2.      Rancangan APBDES yang berdasarkan pada partisipasi unsur-unsur masyarakat dari bawah.
3.      Keuangan yang dikelola secara bertanggungjawab (akuntabilitas), keterbukaan (transparansi) dan daya tanggap (responsivitas) terhadap priotitas kebutuhan masyarakat.
4.      Memelihara dan mengembangkan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan (pelayanan dan pemberdayaan).


Ada tiga bidang utama yang dibiayai dengan keuangan desa:

No
Bidang
Unsur-unsur
1
Pemerintahan
Gaji pamong desa; perlengkapan dan operasional kantor; perawatan kantor desa; pajak listrik; perjalanan dinas; jamuan tamu; musyawarah; sidang BPD; gaji BPD (kalau ada); langganan media; dll. Yang perlu dipikirkan: biaya peningkatan SDM, pendataan desa; publikasi desa; papan informasi; dll.
2
Pembangunan
Prasarana fisik desa; perawatan, ekonomi produktif; pertanian, dll.
3
Kemasyarakatan
Kegiatan LKMD, pemberdayaan PKK, pembinaan muda-mudi, kelompok tani, keagamaan, pananganan kenakalan remaja, dll.


A. APBDES Berbasis Program

Perencanaan dan penyusunan APBDES bukan semata pekerjaan administrasi, dengan cara mengisi blangko APBDES beserta juklak dan juknis yang sudah diberikan dari pemerintah atasan. Ini memang kekeliruan pemerintah selama ini yang tidak memberdayakan dan meningkatkan otonomi desa.
Perencanaan APBDES adalah persoalan politik (mengelola aspirasi dan kebutuhan masyarakat) dan bagian dari agenda pengelolaan program kerja desa. Dengan kata lain, menyusun ABPDES harus diawali dengan menyusun rencana program kerja tahunan. Dana yang akan digali (pendapatan) kemudian digunakan untuk membiayai pelaksanaan program itu. 

Tahap Penyusunan APBDES

1. Perencanaan program Desa
·        Perencanaan program desa ini melibatkan partisipasi masyarakat, dengan mengoptimalkan masyawarah desa.
·        Perencanaan program mencakup bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
·        Program berangkat dari aspirasi, kebutuhan, potensi dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
·        Perlu penentuan prioritas kebutuhan dalam perencanaan program. Penentuan prioritas ini harus bersama-sama.
·        Program operasional bisa mencakup pemerintahan, pelayanan, pembangunan dan kemasyarakatan.
·        Menyusun sasaran atau hasil-hasil yang akan dicapai dari masing-masing program operasional desa.
·        Merancang agenda kegiatan untuk mencapai hasil-hasil dan rencana program tersebut.
·        Merancang jadwal kegiatan program dalam satu tahun.



Manfaat Partisipasi Masyarakat


Perencanaan program yang partisipatif dari bawah dan menyeluruh di atas memang membutuhkan tenaga besar, waktu panjang dan melelahkan. Banyak orang yang jengkel dan tidak sabar dengan partisipasi karena terlalu banyak bicara, lambat, dan katanya tidak membuahkan hasil. Tetapi, partisipasi sebenarnya akan memberikan manfaat yang sangat besar pada pemerintah dan masyarakat desa:
·        Partisipasi adalah perwujudan kedaulatan rakyat, yang menempatkan mereka sebagai awal dan tujuan pembangunan.
·        Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk turut serta dalam menentukan keputusan yang menyangkut masyarakat. Dengan kalimat lain, partisipasi adalah bentuk “memanusiakan manusia” (nguwongake).
·        Partisipasi adalah proses saling belajar bersama antara pemerintah dan masyarakat, sehingga bisa saling menghargai, mempercayai, dan menumbuhkan sikap yang arif.
·        Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik informasi tentang aspirasi, kebutuhan dan kondisi masyarakat.
·        Partisipasi merupakan kunci pemberdayaan dan kemandirian masyarakat.
·        Partisipasi merupakan cara yang paling efektif untuk mengembangkan kemam­puan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan.
·        Partisipasi bisa mencegah timbulnya pertentangan, konflik dan sikap-sikap waton suloyo.
·        Partisipasi bisa membangun rasa memiliki masyarakat terhadap agenda pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan.
·        Partisipasi dipandang sebagai pencerminan demokrasi



2. Penganggaran
            Pada prinsipnya penganggaran adalah merancang kebutuhan dana yang digunakan untuk membiayai program dan kegiatan desa di bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan.
·        Menentukan besaran dana yang digunakan untuk membiayai program dan kegiatan atau sering disebut dengan pos pengeluaran (belanja).
·        Mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan (baik pendapatan asli desa maupun bantuan pemerintah) untuk membiayai pos pengeluaran yang sudah disusun di atas.
·        Dengan demikian tentukan dulu pos pengeluaran (belanja), baru pos pendapatan.

3. Pelaksanaan Program
            Pelaksanaan program adalah kegiatan mengelola dan menggerakan sumberdaya manusia dan dana untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang sudah dirumuskan dalam perencanaan sesuai dengan jadwal (waktu) yang ditentukan.
·        Pemerintah desa bertanggungjawab melaksanakan program kegiatan.
·        Pemerintah desa yang dibantu oleh dusun, RT, RW mengumpulkan dana (pendapatan) untuk membiayai pengeluaran.
·        Pemerintah desa mengalokasikan dana untuk membiayai pelaksanaan kegiatan.
·        Kepala Desa (Lurah) melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap jalannya kegiatan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan.
·        Masyarakat ikut menyumbangkan tenaga, dana, dan ikut berpartisipasi mengawasi jalannya pelaksanaan kegiatan.

4. Pengawasan dan Evaluasi
           Pengawasan dan evaluasi sangat penting untuk menilai apakah pelaksanaan program sesuai dengan rencana, apakah dana digunakan sebagai mestinya, apakah kegiatan mencapai hasil sesuai dengan rencana, serta merumuskan agenda bersama untuk perbaikan pada tahun berikutnya.
·        Badan Perwakilan Desa (BPD) bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan yang ditangani oleh pemerintah desa.
·        Pemerintah desa, BPD dan masyarakat bersama-sama meninjau kembali apakah pelaksanaan kegiatan sudah sesuai dengan perencanaan.
·        Pemerintah desa, BPD dan masyarakat bersama-sama menilai capaian hasil pelaksanaan kegiatan serta masalah dan kendala yang muncul.
·        Pemerintah desa, BPD dan masyarakat bersama-sama mencari faktor-faktor penyebab masalah dan solusi untuk perbaikan pada perencanaan berikutnya.
·        BPD dan masyarakat menilai apakah dana digunakan sebagaimana mestinya secara efisien dan efektif.
·        Kepala Desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban program dan keuangan kepada BPD, masyarakat dan kabupaten.


B. Akuntabilitas, Transparansi dan Responsivitas
            Akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pemerintah desa dalam mengelola keuangan desa sesuai dengan “amanah” dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Bertanggungjawab berarti mengelola keuangan dengan baik, jujur, tidak melakukan penyelewengan dengan semangat “tidak makan uang rakyat”. Semangat ini perlu dipelihara di desa, jangan sampai di desa dipimpin oleh para tersangka seperti republik Indonesia. Kalau pemerintah desa bertanggungjawab, maka akan selalu dihormati dan dipercaya oleh masyarakat. Sebaliknya kalau pemerintah tidak bertanggungjawab alias tidak jujur, maka masyarakat akan tidak percaya, bisa-bisa kalau ketidakjujuran itu parah sekali atau sering makan uang rakyat, maka rakyat akan bergerak “mereformasi” pemerintah desa.
            Transparansi berarti pemerintah desa mengelola keuangan secara terbuka, sebab keuangan itu adalah milik rakyat atau barang publik yang harus diketahui oleh masyarakat. Pemerintah desa wajib menyampaikan informasi secara terbuka APBDES kepada masyarakat. Keterbukaan sama dengan akuntabilitas. Keterbukaan akan meningkatkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat kepada pemerintah desa. Demikian sebaliknya.
            Responsivitas pengelolaan keuangan berarti daya tanggap pemerintah desa dan BPD terhadap kebutuhan masyarakat yang  perlu didukung dengan pendanaan. Tentu saja tidak semua kebutuhan masyarakat akan didanai karena begitu banyaknya kebutuhan masyarakat. Paling ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kerangka daya tanggap ini.
·        Pemerintah desa dan BPD perlu tanggap terhadap prioritas kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak.
·        Prioritas itu akan tampak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat bila dirumuskan bersama-sama dalam perencanaan program secara partisipatif yang melibatkan masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat yang memadai, maka prioritas itu tidak bisa menjangkau kebutuhan masyarakat, kecuali hanya prioritas yang dirumuskan oleh pemerintah desa beserta tokoh-tokoh masyarakat. 


Tiga prinsip daya tanggap:
  1. Prioritas kebutuhan yang mendesak.
  2. Perencanaan partisipatif
  3. Keseimbangan dan pemerataan.

        Perlu diperhatikan aspek keseimbangan dan pemerataan alokasi dana untuk pembangunan. Dalam mengalokasikan dana APBDES, Pemerintah desa dan BPD perlu memperhatikan keseimbangan dan pemerataan pada sektor-sektor pembangunan, kelompok-kelompok sosial dan seluruh wilayah desa. Dalam praktiknya, masalah keseimbangan dan pemerataan ini jarang diperhatikan di banyak desa. Sebagai contoh, sebuah desa (sebut saja desa Karangrejo), mengalokasikan sebesar 85% dana pembangunan untuk perbaikan sarana fisik (jalan dan penerangan), sisanya 15% untuk ekonomi produktif dan kegiatan kemasyarakatan. Padahal di desa ini banyak sekali pengrajin dan pedagang kecil yang sangat kekurangan modal, alias butuh bantuan modal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Lebih dari 200 pengrajin dan pedagang kecil di desa ini hanya memperoleh kucuran modal Rp 50.000,- per rumah tangga, yang ternyata tidak berarti bagi mereka. Sementara, jalan-jalan di desa ini sangat mulus dan terang benderang. Para pengrajin dan pedagang kecil itu hanya pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa untuk memupuk modal mereka. Kenyataan ini sebenarnya menunjukkan bahwa keseimbangan dan pemerataan pembangunan belum ditanggapi secara responsif oleh pemerintah desa dan BPD.


C. Keuangan Desa dan Pembangunan
          Sekali lagi, keuangan desa sangat terkait dengan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan. Beberapa prinsip penting perlu diperhatikan.
·        Pengelolaan keuangan bukan hanya menjadi kewenangan pemerintah desa, tetapi juga menjadi hak milik masyarakat. Karena itu, masyarakat perlu partisipasi dalam perencanaan ABPDES, perlu mengetahui secara transparan kondisi keuangan desa, dan pemerintah desa wajib bertanggungjawab mengelola keuangan.
·        Dalam sektor pemerintahan, keuangan desa seyogyanya tidak semata dialokasikan untuk gaji pamong (konsumsi), tetapi bagaimana alokasi itu juga bisa mendorong peningkatan kemampuan SDM pamong desa.
·        Bidang-bidang kemasyarakatan juga perlu dijadikan sebagai bagian dari program desa dan perlu memperoleh dukungan dana yang cukup. Sebagai contoh adalah pembinaan muda-mudi dan juga penanganan kenakalan remaja.



Dalam konteks pembangunan, APBDES yang baik perlu memperhatikan tiga  prinsip sebagai berikut.
1.       Memfasilitasi dan memacu pengembangan ekonomi produktif, termasuk kegiatan investasi di desa.
2.       Meningkatkan dan menjamin pemerataan pembangunan.
3.       Mendorong pemberdayaan masyarakat.



1. Memfasilitasi dan memacu pengembangan ekonomi produktif
·        Pungutan desa diusahakan harus memfasilitasi ekonomi produktif (pertumbuhan ekonomi) di desa. Pemerintah yang memaksimalkan pungutan pada kegiatan investasi (ekonomi produktif) dianggap tidak mendukung (kondusif) bagi pertumbuhan ekonomi. Seharusnya kegiatan konsumtif-lah yang cocok untuk dipungut lebih besar, terutama konsumsi barang-barang nonprimer seperti beli sepeda motor, beli mobil mewah, membangun rumah mewah, membeli logam mulia, dan lain-lain.
·        Pungutan perlu dilakukan pada output kegiatan ekonomi (bila sudah berhasil, baru dikenai pungutan), dan bukan melakukan pungutan yang menjadi beban bagi input dan proses kegiatan ekonomi (pungutan terhadap modal awal atau memungut pengusaha yang sedang mulai usaha).

Catatan:
Tetapi Desa harus hati-hati dalam melakukan pungutan, apalagi bentuk-bentuk pungutan baru, sebab desa hanya memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam hal pajak dan retribusi. Bisa jadi perdes tentang pungutan itu dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya atau merugikan kepentingan umum. 

·        Dari sisi belanja (pengeluaran), kebijakan alokasi anggaran dalam APBDES harus ditekankan pada kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung mendorong investasi (seperti mendorong berkembangnya usaha kecil), dan bukan memacu pertumbuhan konsumsi nonprimer. Sebagai contoh, desa perlu segera merubah alokasi APBDES yang dulu ditekankan pada prasarana fisik ke ekonomi produktif. Desa perlu memberi perhatian secara serius dan memfasilitasi kegiatan ekonomi produktif yang dikembangkan oleh warga masyarakatnya.

2. Meningkatkan dan menjamin pemerataan pembangunan
·        Dari sisi pendapatan, pungutan harus menekankan pada kelompok dan wilayah yang lebih kaya. Dalam konteks pajak sering dikenal adanya pajak progresif.
·        Kelompok dan wilayah yang miskin perlu memperoleh pelayanan khusus yang bisa memacu investasi.
·        Pengeluaran (belanja) dalam APBDES perlu dialokasi secara merata menurut sektor-sektor pembangunan. Misalnya bukan hanya prasarana fisik yang dibesar-besarkan tetapi pada sektor lain terutama ekonomi produktif.



3. Memberdayakan masyarakat
·        Tugas utama pemerintah (termasuk desa) adalah memfasilitas masyarakat untuk berkembang, mampu dan bisa meningkatkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah tidak mungkin bisa melayani dan memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat itu.
·        Pemerintah harus menghindari pungutan pada warga masyarakat yang sedang memberdayakan mereka sendiri, misalnya yang sudah mulai berbisnis atau yang akan bekerja.
·        Dalam kondisi keuangan yang terbatas, pemerintah perlu menekankan kegiatan “mengendalikan” daripada kegiatan yang “mengayuh sendiri”. Sebagai contoh, perhatian usaha kecil bisa dilakukan melalui kerjasama dengan pengusaha yang lebih besar atau lembaga perbankan.