Tampilkan postingan dengan label DESA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DESA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Januari 2016

MEMAHAMI PAJAK BENDAHARA GAMPONG



  
Dana desa yang bergulir ke kas desa tentu harus ada pengelolanya dan perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa harus mampu memahami fungsinya dan ada fungsi pajak disitu, yaitu sebagai wajib pungut. Apa bedanya Wajib Pajak & Wajib Pungut, kalau disingkat toh sama-sama WP. Secara sederhana Wajib Pungut itu mempunyai kewajiban memungut pajak dan ada peraturan khusus yang menunjuk bahwa Wajib Pajak itu mempunyai kewajiban memungut, contoh lain wajib pungut seperti bendahara SKPD, APBN, BUMN. Kalau Wajib Pajak biasa ya hanya setor pajak atau dipotong pajak, misal seperti saya sebagai PNS, kalau ada penghasilan atas usaha ya saya setor 1% sementara atas gaji yg saya terima dipotong PPh 21 oleh bendahara.
Cara Daftar NPWP Bendahara Desa
Sebelum melakukan penyetoran pajak atas dana desa, perorangan yang ditunjuk sebagai bendahara desa tentunya harus sudah mempunyai NPWP pribadi sendiri. Jika belum punya maka silahkan ke KPP terdekat dengan membawa fotokopi KTP dan mendaftar NPWP pribadi. Jika sudah mempunyai NPWP pribadi maka syarat untuk daftar NPWP bendahara desa adalah:
1.    fotokopi surat penunjukan sebagai Bendahara; dan
2.    fotokopi Kartu Tanda Penduduk.
Dan isilah formulir pendaftaran NPWP bendahara, jika masih ada kesulitan mintalah bantuan petugas helpdesk.
Jenis-Jenis Pajak terkait Penggunaan Dana Desa
Sama seperti kewajiban bendahara dinas pada umumnya, jenis pajak yang harus dipungut antara lain.
PPh Pasal 21
Pajak yang dipotong atas pembayaran berupa gaji, upah, honorarium, dan pembayaran lain yang diterima oleh Orang Pribadi. Termasuk jika penghasilan orang yang menjadi bendahara desa sudah melebihi PTKP maka dia dalam kapasitas sebagai bendahara desa memotong PPh 21-nya atas penghasilan sendiri.
PPh Pasal 22
Pajak yang dipungut dari Pengusaha/Toko atas pembayaran atas pembelian barang dengan nilai pembelian diatas Rp. 2.000.000,- tidak terpecah-pecah. Tarifnya adalah 1,5% jika rekanan ber-NPWP, jika belum punya NPWP dipungut 3% atau 100% lebih tinggi.
PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima rekanan atas sewa (tidak termasuk sewa tanah dan atau bangunan), serta imbalan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan dan jasa lain. Tarifnya untuk penghasilan atas jasa adalah 2%jika rekanan ber-NPWP, jika belum punya NPWP dipungut 4% atau 100% lebih tinggi.
PPh Pasal 4 ayat (2)
Pajak yang dipotong atas pembayaran :
·         Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (Tarif 5%)
·         Persewaan tanah dan atau bangunan (tarif 10%)
·         Jasa Konstruksi (perencana, pelaksana, pengawas konstruksi)

Kegiatan
Kualifikasi
Tidak Mempunyai Kualifikasi
Kecil
Menengah/Besar
Pelaksana
2%
3%
4%
Perencana/Pengawas
4%
6%
Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi ditentukan oleh LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pemungutan atas pembelian Barang/ Jasa Kena Pajak yang jumlahnya diatas Rp. 1.000.000,- tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Ingat sangat dianjurkan agar rekanan bendahara desa harus sudah PKP dan sudah mempunyai nomor seri faktur pajak. Kenapa harus PKP? karena hanya PKP yang bisa menerbitkan faktur pajak. Jika ngeyel menggunakan rekanan non PKP maka PPN tetap dipungut bendahara tetapi untuk pertanggungjawaban administrasinya kurang lengkap karena tidak ada faktur pajak, dan ini kadang yang jadi temuan inspektorat terkait.
Contoh Kasus:
Belanja Barang
Pembelian Barang untuk Sarana dan Prasarana Desa senilai Rp 3.500.000,- 
a.    Jika atas nilai tersebut belum termasuk PPN, maka PPh 22=52.000 (3.500.000×1.5%), PPN=350.000 (3.500.000×10%). Kuitansi yang dibayarkan adalah 3.850.000
b.    Jika atas nilai tersebut sudah termasuk PPN, maka cari dulu nilai barang tanpa PPN yaitu 11/10×3.500.000=3.181.818. Sehingga PPh 22=47.727 & PPN=318.181
Pembayaran Atas Jasa
Bapak Rudi selaku bendahara Desa Sitardas menggunakan jasa penebangan hutan kepada rekanan yang tidak memiliki NPWP dengan nilai penyerahan Rp. 10.000.000,- Atas transaksi tersebut bendahara wajib memotong PPh 23 sebesar 4% (bukan 2%), karena rekanan tidak memiliki NPWP  dengan perhitungan sbb:
·         PPh 23 (4% x 10.000.000) = Rp.400.000
·         Wajib Pungut PPN (karena > Rp 1juta tapi tidak ada faktur karena juga belum PKP)
PPN = 10% x Rp 10.000.000 = Rp 1.000.000
Pembayaran Atas Jasa Pelaksana Konstruksi Fisik
Desa Sitardas melakukan tender pekerjaan konstruksi fisik (peningkatan kualitas jalan) yang dilakukan oleh CV. Bahtera (NPWP 02.554.013.3-104.000). Kontraktor tsb memiliki kualifikasi grade kecil dengan nilai paket pekerjaan sebesar Rp.200.000.000 dan PPN sebesar Rp.20.000.000. Maka pajak yang harus dipotong oleh Bendahara Desa atas paket pekerjaan fisik tersebut adalah:
Total tagihan dari rekanan (CV. Bahtera )   : Rp.220.000.000 (Nilai kontrak 200jt + PPN 20jt)
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong: 2% x 200.000.000 = 4.000.000
Total PPh dan PPN = Rp 20.000.000 + Rp 4.000.000 = Rp 24.000.000
Dibayar kepada rekanan CV. Andalan =(220 juta – 24 juta) = Rp 196.000.000

Selasa, 29 Desember 2015

Perpajakan bagi Aparatur Desa

Pemahaman tentang pajak harus lebih ditingkatkan seiring dengan perkembangan transaksi ekonomi yang terjadi di berbagai daerah di seluruh penjuru wilayah tanah air. Transaksi ekonomi selalu dapat dikaitkan memiliki aspek pengenaan pajak baik yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun dilakukan oleh perangkat instansi pemerintah yang dana nya bersumber dari APBN/APBD. Tak kalah pentingnya bahwa di desa-desa pelosok seperti di Wilayah Kabupaten Malinau pada tahun 2013 ini mendapatkan dana bantuan dari Pemerintah Kabupaten dengan jumlah yang lumayan besar dibandingkan desa-desa yang ada di pulau jawa. Adanya belanja barang dan jasa dari perangkat desa, menggiatkan sektor ekonomi di pedesaan dan meningkatkan omzet para pelaku usaha, otomatis meningkatkan jumlah wajib pajak dan penerimaan pajak.
Seperti diketahui bahwa pihak yang berperan dalam melaksanakan fungsi perbendaharaan dan fungsi pemungutan pajak dalam pengeloaan APBN/APBD adalah Bendahara satuan kerjanya. Demikian pula di Desa, Bendahara Desa lah yang melaksanakan pengeluaran anggaran yang dana nya bersumber dari APBD memiliki kewajiban memungut/memotong, menyetor dan melaporkan pajak pusat yang diantaranya meliputi Pajak Penghasilan (PPh) terdiri dari PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2), juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Diketahui bahwa sebelum tahun 2013, ternyata banyak sekali aparatur desa yang belum memahami peraturan perpajakan, demikian pula dengan para pelaku usaha yang menjadi rekanan.
Di wilayah Kabupaten Malinau terdapat pola pembangunan desa yang dikenal dengan nama program Gerdema (Gerakan Desa Membangun), dimana dana pembangunan desa nya bersumber dari APBD kabupaten Malinau. Dalam program Gerdema ini ditujukan untuk membangun desa (dengan alokasi dana sebesar Rp 1,2 miliar setiap desa) meliputi pembangunan infrastruktur, SDM, pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan dan pertanian. Dalam menjalankan program ini, masyarakat dan aparatur pemerintah desa memiliki peranan penting dalam mengelola keuangan dari dana bantuan tersebut.
Tentunya diantara tanggung jawab pemanfaatan/pengeluaran dana untuk pembangunan desa, aparatur desa memiliki tanggung jawab juga untuk mengamankan penerimaan negara melalui pemungutan/pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Potensi perpajakan yang terkait dengan alokasi dana desa ini sangat bervariasi, tergantung dari jenis transaksi yang merupakan obyek pajak, atau transaksi atas pengadaan barang/jasa yang dapat dikenakan pajak.
Bayangkan saja apabila dalam hitungan kasar umpamanya setiap desa di wilayah Kab. Malinau potensi pajaknya kurang lebih Rp 100 juta per desa per tahun, maka jika dikalikan dengan jumlah seluruh desa yang ada di wilayah kabupaten Malinau sebanyak 109 desa, akan diperoleh angka potensi pajak yang dipungut oleh bendaharawan desa ini cukup signifikan.
Memang masih disadari bahwa banyak desa yang melaksanakan pembangunan fisik/konstruksi masih menggunakan sistem swakelola, sehingga ada saja terdapat pembelian material-material yang merupakan non-BKP, sedangkan pembayaran tenaga kerja nya menggunakan cara upah harian maupun borongan. Hal demikian merepotkan mereka dalam menghitung PPh 21 maupun mengidentifikasi jenis barang yang merupakan obyek PPN atau bukan. Namun di beberapa wilayah sudah melibatkan kontraktor sebagai penyedia jasa konstruksi, sehingga potensi PPN maupun PPh Jasa konstruksi nya dapat dihitung dengan mudah dan pasti.
Berdasarkan hal-hal diatas dipandang perlu bagi aparatur desa bahkan masyarakat desa mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang perpajakan. Sehubungan dengan alokasi dana desa, kepatuhan pemungutan pajak harus dilaksanakan secara melekat terhadap Bendahara Desa dengan pengawasan oleh Kepala Desa nya masing-masing. Bendahara desa diwajibkan mempunyai NPWP sebagai sarana untuk melaksanakan ketentuan perpajakan.
Bahwa dalam rangka memberikan pemahaman perpajakan secara teknis terhadap aparat desa dimaksud, maka di Kab. Malinau telah terjadi kerja sama antara Bagian Keuangan Setkab Malinau dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Malinau, untuk mengadakan bimbingan teknis (Bimtek) perpajakan yang terkait dengan aspek pengelolaan dana desa, yaitu Bimtek PPh dan PPN. Pelaksanaan nya akan direncanakan secara bertahap sesuai jadwal yang ditentukan, sebisa mungkin meliputi semua aparatur desa.
Kegiatan Bimtek Perpajakan tahap awal telah dilaksanakan sebanyak 4 kali. Setiap kali kegiatan bimtek dilakukan selama sehari penuh mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WITA. Pelaksanaan kegiatan difokuskan  di Kantor Kecamatan, dengan mengundang semua aparat desa, terutama Kepala Desa dan Bendahara nya, termasuk juga Tim Satgas pendamping yang bertugas mengawasi pelaksanaan anggaran masing-masing desa. Selama ini telah dilakukan bimtek perpajakan di berbagai lokasi sebanyak 4 Wilayah Kecamatan, yang meliputi Kecamatan Malinau Kota (tgl 16 September 2013), Kec. Malinau Utara (tgl 17 September 2013), Kecamatan Malinau Barat (tgl 25 September 2013) dan Kecamatan Mentarang (tgl 26 September 2013).
Jadi total peserta yang hadir adalah berasal dari Tim Bagian Keuangan Pemkab Malinau, staf kecamatan, para Kepala Desa, Bendahara Desa dan staf desa, serta Tim Satgas Gerdema. Acara bertempat di Aula setiap kecamatan dan dibuka oleh Asisten III Setkab Malinau, Drs. Hendris Damus, M.Si. Dalam pengarahannya, Hendris mengatakan tentang penting nya pajak sebagai sumber pembiayaan negara yang manfaatnya juga akan dapat dirasakan bagi seluruh masyarakat, terutama desa-desa yang mendapat bantuan dana yang berasal dari APBD kabupaten, yang tentunya dana tersebut sebagian berasal dari APBN.
Dalam kegiatan Bimtek ini, pihak KP2KP Malinau menurunkan Tim Narasumber sebanyak 4 orang dimana pelaksanaannya di lapangan dipimpin langsung oleh Kepala KP2KP Malinau – Ferry A. Triyantoro, S.E., M.Si. didampingi 2 orang staf KP2KP yaitu Earth Jude Pieter Sitinjak dan Rudi Nurhadi, serta bantuan dari 1 orang Account Representative KPP Pratama Tanjung Redeb, Haris Wibowo, S.E., MM. Ada hal yang membanggakan dari kegiatan ini adalah bahwa mereka yang di desa-desa (bahkan termasuk kategori pelosok) sangat menginginkan adanya pengetahuan perpajakan, karena mereka beranggapan bahwa uang pajak yang berasal dari masyarakat telah kembali kepada masyarakat untuk pembangunan desa mereka. Disamping itu juga karena adanya kontrol yang ketat terkait kelengkapan bukti-bukti pemungutan/pembayaran pajak atas setiap pencairan dana desa yang pengawasan dan pengelolaan nya di bawah tanggung jawab Bagian Keuangan Pemkab.
Para peserta mengikuti secara antusias dan tertib pemberian materi tentang tata cara perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak. Dalam empat tahap kegiatan bimtek perpajakan yang sudah berlangsung empat kali di tempat yang berbeda, pada intinya para aparatur desa merespon positif dan menyatakan dukungannya terhadap pemungutan dan pembayaran pajak atas transaksi keuangan sehubungan dengan pengelolaan dana desa, dan siap melaksanakan tertib administrasi perpajakan.
Kedepannya diharapkan aparat desa juga dapat menjadi agen pajak, karena mereka lah yang sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat wajib pajak di desanya, kemudian dapat menularkan pengetahuan perpajakan bagi masyarakat di wilayah nya masing-masing. Mari kita dukung ‘Pajak Masuk Desa’ melalui pemberdayaan aparatur desa. Uang pajak untuk membangun desa.
Sumber : Derektorat Jenderal Pajak

Senin, 28 Desember 2015

Pemungutan PPh Pasal 22 Bagi Bendahara

I. Kewajiban Bendaharawan

Bendaharawan yang telah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak wajib memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bendaharawan Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah sebagaimana diatur dalam Kepmenkeu nomor 254/KMK.03/2001 Ss.t.d.t.d. PMK no. 210/PMK.03/2008 atau wajib memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sehubungan pembayaran atas penyerahan barang.


II. Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 22

Pada prinsipnya, Bendaharawan wajib memungut PPh Pasal 22 atas semua penyerahan barang, namun demikian Bendaharawan tidak memungut PPh Pasal 22 diantaranya atas:

a.pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah

b.pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos

c. pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;

d.Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.

Pengecualian sebagaimana dimaksud dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).



III. Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 atas pengadaan barang, terutang dan dipungut pada saat pembayaran, sedangkan PPh Pasal 22 atas impor terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen PIB.

Besarnya tarif PPh Pasal 22 atas pengadaan barang yang dananya berasal dari APBN/D adalah 1,5%. PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan adalah:

1,5% x harga/nilai pembelian barang tidak termasuk PPN
Bendaharawan Pemungut PPh Pasal 22:

- menyetor ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang,

- menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi identitas rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan pemungut pajak

- Dalam hal pembayaran dilakukan langsung oleh KPPN, PPh Pasal 22 dipungut langsung oleh KPPN dan SSP diisi identas rekanan serta ditandatangani oleh KPPN



IV. Bukti Pemungutan PPh Pasal 22

Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 bagi penerima penghasilan/rekanan adalah SSP lembar ke-1 yang telah ditandatangani dan disetor oleh Bendaharawan atau SSP lembar ke-1 yang telah ditandatangani oleh KPPN dalam hal dilakukan pemungutan oleh KPPN.



V. Pelaporan PPh Pasal 22

Bendaharawan Pemungut PPh Pasal 22 harus melaporkan hasil pemungutannya paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22 (form F.1.1.32.02)

Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda (Pasal 7 UU KUP) sebesar Rp. 50.000,-



VI. Contoh Penghitungan PPh Pasal 22

a. Pengadaan barang yang dipungut PPh

Pengadaan barang berupa satu unit komputer dengan nilai barang sebesar Rp. 8.000.000 dan PPN sebesar Rp. 800.000.

Harga barang Rp8.000.000
PPN Rp.800.000

Total tagihan dari rekanan Rp 8.800.000

PPh Pasal 22 yg dipungut
1,5% x Rp. 8.000.000=(Rp.120.000)
PPN dipungut

10% x Rp.8.000.000 =(Rp.800.000)

Total PPN dan PPh dipungut (Rp.920.000)

Dibayar kepada rekanan Rp.7.880.000

b. Pengadaan barang yang dipungut PPh

Pengadaan barang berupa meja rapat yang tercantum dalam kontrak dengan nilai sebesar Rp. 11.000.000 termasuk PPN, perhitungan pemungutan PPN dan PPh Pasal 22 adalah:

Nilai Kontrak (termasuk PPN)Rp11.000.000

PPN = 10/110 x Rp. 11.000.000(Rp.1.000.000)

Dasar Pengenaan Pajak Rp.10.000.000

Total tagihan dari rekanan Rp11.000.000

PPh Pasal 22 yg dipungut
1,5% x Rp. 10.000.000= (Rp.150.000)

PPN dipungut
10% x Rp.10.000.000 = (Rp. 1.000.000)

Total PPN dan PPh dipungut (Rp.1.150.000)

Dibayar kepada rekanan Rp. 9.850.000

c. Pengadaan barang yang tidak dipungut PPh

Atas pengadaan alat tulis kantor dengan nilai barang sebesar Rp. 800.000 dan PPN sebesar Rp. 80.000.
Harga barang Rp800.000
PPNRp.80.000

Total tagihan dari rekanan Rp880.000

PPh Pasal 22 yg dipungut -
PPN dipungut-
Total PPN dan PPh dipungut (Rp.-)
Dibayar kepada rekanan Rp.880.000

Catatan:

Karena pengadaan barang tersebut nilai totalnya (termasuk PPN) adalah Rp. 880.000, masih dibawah 1 juta rupiah, maka tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendaharawan. Atas transaksi tersebut tetap terutang PPN yang dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan.